Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Belajar dari Lukisan Bung Karno dan Kang Aen Karya Sudiyanto Pandji Wiryoatmodjo

SOEKARNO muda sekitar tahun 1920-1930-an pernah bertemu Marhaen di Bandung Selatan. Nama petani kemudian menjadi dasar ideologis Bung Karno dalam memimpin negara, yang kemudian dikenal sebagai Marhaenisme.

Di Surabaya, ilustrasi pertemuan Marhaen dengan Bung Karno direkaulang melalui sebuah lukisan. Kepala Institut Marhaen, Jacobus K Mayong Padang sebagai penggagas lukisan mengungkapkan, bangsa Indonesia selalu memperingati peristiwa 17 Agustus 1945 secara meriah.

Penting karena Hari Kemerdekaan tapi itu deklarasi, pengumuman lahirnya negara secara hukum. Jacobus menjelaskan pentingnya lukisan, karena dari pertemuan itu, muncul ide Bung Karno untuk memerdekakan Indonesia.

"Tak banyak yang paham secara spirit, Indonesia lahir saat Bung Karno berdialog dengan Marhaen. Dialog di bawah terik matahari ini menyadarkan Bunga Karno sebagai kaum terpelajar, betapa menderita kaumnya saat itu," katanya di  Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Selasa (6/4/2021).

Lukisan menggambarkan titik awal pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan dimulai dari tengah sawah. Ketika pertemuan (dengan Kang Marhaen) itu, Bung Karno memutuskan Indonesia harus merdeka.

Esensi kemerdekaan Indonesia adalah meningkatkan taraf hidup orang Indonesia. "Bung Karno tidak tahan melihat nasib orang di sawah, membantu Marhaen untuk meningkatkan taraf hidupnya. Inilah esensi kemerdekaan," lanjutnya.

Guna mengenang, akhirnya digoreskan oleh pelukis asal Surabaya, Sudiyanto Pandji Wiryoatmodjo. Butuh waktu panjang untuk merekonstruksi peristiwa ke dalam lukisan yang berjudul 'Dialog Bung Karno Vs Kang Aen (Marhaen)'.

"Proses pencarian referensi sendirian. Googling, lihat media, dan bertanya kepada sejarawan. Harus bisa mewakili kondisi orisinal face Bung Karno muda, juga Marhaen," kata Sudiyanto.

Lukisan berukuran 100 cm x 130 cm dengan cat akrilik ini selesai pembuataan dalam waktu setahun. Pengerjaannya relatif lebih cepat dibanding risetnya. Wali Kota Eri Cahyadi dibuat bangga. "Ini kehormatan untuk Surabaya, dan semakin meneguhkan kami sebagai dapur nasionalisme," paparnya.

Di Surabayalah, Bung Karno lahir, tumbuh hingga remaja, mendapat gemblengan pemikiran dan bersentuhan dengan dinamika rakyat. Bagi Eri, Bung Karno adalah sosok panutan. Penuh keiklasan dan hanya memikirkan ide membebaskan rakyat kecil dari penderitaan akibat penjajahan.

"Jiwanya beliau yang tulus ikhlas itu semoga selalu menurun kepada jiwa warga Surabaya,” urai Cak Eri yang juga asli Surabaya ini.

Dia membayangkan, Bung Karno ketika itu bersepeda keliling desa hingga bertemu Marhaen. Di tengah terik matahari, di tengah sawah, terjadilah dialog di antara keduanya, yang menjadi inspirasi Marhaenisme pada pemikiran politiknya.

Eri membaca kisahnya di otobiografi Bung Karno. Kisah itu selalu menjadi pengingat dirinya untuk tidak pernah ingkar janji kepada rakyat kecil. Dia berkomitmen memperjuangkan hak-hak warga demi kesejahteraan bersama.

Mulai dari memberikan pelayanan terbaik, melanjutkan program permakanan, berobat gratis, sekolah gratis dan sebagainya. Pemikiran Bung Karno harus dibumikan di Surabaya. Semua itu tidak membuat berpuas diri.

Ketua DPRD Surabaya, Adi Sutarwijono ikut bangga. "Salah satu momen terpenting dalam perjalanan bangsa ini berhasil dilukiskan dengan sangat baik oleh Bapak Pandji. Ini akan menjadi penguat semangat bagi kita semua untuk meneruskan cita-cita Bung Karno,” tukasnya.

Selain wali kota dan ketua DPRD, hadir dalam syukuran peresmian lukisan, Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Tujuh Belas Agustus (YPTA) 1945, Bambang DH, Rektor Untag Surabaya Mulyanto Nugroho, dan budayawan Nunik Silalahi yang menjembatani lahirnya lukisan.

Adi Sutarwijono menambahkan, lukisan yang sarat nilai sejarah itu harus menjadi pendorong para pemangku kepentingan di Surabaya untuk terus memperkuat kerja-kerja kerakyatan. Lukisan itu menggambarkan mendalamnya pemikiran Bung Karno. Itulah yang harus diteladani. (bob)