Botol Bunda
menyaksikan tubuh kecilnya tersungkur lemah di atas tanah dengan balutan kaus yang telah berlubang di mana-mana.
Mendengar isak tangis dan tetes air mata yang terus mengucur dari pelupuk mata sembabnya, aku terisap dalam lorong panjang kesedihan yang kini tengah dihayatinya. Lorong panjang, sempit, dan berliku. Di setiap kelokannya aku menemukan jejak-jejak luka yang lelah, mengusung tawanya yang kian melemah.
Seperti biasanya, di awal hari yang masih terlalu gelap dan subuh ini, selalu ada kekuatan besar yang terus mendorongku untuk bangun saat si jago merah berkokok. Kulanjutkan dengan melemaskan semua anggota-anggota tubuhku, tak lupa sekalian kupastikan kelengkapannya. Kaki dan tangan dua, mata dua, jari-jari kaki dan tangan sempurna, yah, hanya lempeng kukuku saja yang sudah terlalu panjang dan kucal karena ulah koran-koran
itu.
Sama seperti anak-anak lain, aku memiliki badan yang lengkap dan sama bahagianya seperti anak-anak kota yang dempal itu. Paling-paling hanya tujuanku bangun tidur saja yang berbeda. Sementara para begundal itu lagi mandi untuk bersiap-siap ke gedung universitas
megah mereka, aku telah duluan merasakan terik matahari pagi yang membakar aspal jalanan dan juga sol sandal jepitku. Yah, apa saja akan kulakukan, asal hari ini aku bisa makan.
“Bang Abas! Ayo sikat jalanan sekarang yuk!” Ia adalah anak sekomplekku. Kami sama-sama tinggal di rumah yang sudah kami buat sendiri. Setidaknya, cukuplah untuk memberikan sedikit ruang teduh buat kami saat hujan dan dingin malam menghampiri. Nama anak perempuan manis itu Afika. Jika saja ia tak lahir dan hidup dengan nasib yang sama sepertiku, mungkin ia bakal tumbuh menjadi primadona paling digemari dimanapun ia beredar.
Kulit wajahnya yang putih itu tak pantas berada di jalanan seperti ini. Ia harusnya melindungi bola matanya atau bahkan melakukan perawatan kecantikan bulu mata beserta kelopak bak dewi-dewi cantik di Athena. Memang belum pernah, sih, aku melihat dewi sungguhan, tapi selama hidupku, Afika adalah penjelasan dan definisi dari semua istilah indah bagiku.
Berkali-kali sudah kulihat begitu banyak wanita cantik yang seliwar-seliwer di jalanan, entah yang membeli daganganku, maupun yang dengan sombongnya tak menganggap kehadiranku di sisi kaca mobil angkuh mereka. Lebih banyak lagi wanita tinggi, putih, nan cantik yang memamerkan keelokan wajah mereka di reklame-reklame besar ibu kota. Bahkan, seringkali kulihat mereka melenggak-lenggok dalam layar kaca di warung kopi murahan dekat pertigaan yang kulihat saat aku lagi menghisap candu nikotinku.
Tapi untuk yang satu ini, tiada tandingannya. Cantik. Hangat. “Afika, Abang pergi beli rokok dulu, kamu tunggu di sini saja. Nanti kita dagang bareng-bareng lagi,” ucapku. Beginilah memang keseharianku bersama Afika. Bersama-sama berusaha menafkahi diri dengan menjajakan koran. Apalagi yang bisa kami lakukan, sekolah pun kami tak mampu. Toh, bapak ibu kami juga tidak ada yang bersekolah, semuanya hidup bebas dan tanpa tujuan di jalanan kota Jakarta.
![]() |
foto : flickr |
Kami sudah biasa dengan kerasnya hidup. Kami sudah biasa untuk tidak mengeluh. Kami memang dilahirkan untuk begini, begini merasakan panasnya terik matahari menyalur ke aspal. Ada satu hal yang dari dulu kurasa tak pernah jelas. Aku masih ingat betul dalam simpanan memoriku. Ketika itu aku berumur 5 tahun, sudah cukup besar untuk mengingat
insiden-insiden penting yang sekiranya terjadi.
Aku ingat ketika itu hujan turun begitu lebat, petir menyala-nyala, dan guntur menyambar. Aku berada dalam dekapan ibuku, sedang menangis kalau tak salah. Aku lupa mengapa, yang kuingat hanyalah kehadiran seorang bayi perempuan mungil yang seenaknya saja
ditinggalkan di depan rumah kardusku. Bayi merah itu kehujanan, menangis sejadi-jadinya. Mungkin karena ia kehilangan sesosok manusia yang seharusnya dipanggil ibu.
Sosok itu hilang bahkan sudah hilang sejak ia belum bisa melihat dunia. Bisa-bisanya rencana membuang bayinya yang begini cantik terbesit dalam benak wanita itu. Kebencianku pada kebiasan wanita yang tidak bertanggung jawab ini terus meracuni hati dan pikiranku hingga detik ini. Akhirnya, aku dan ibuku pun menampungnya, berusaha memberikan secuil celah di antara desakan ekonomi keluarga kami yang begitu sempit.
Tak lulus SD, aku pun bekerja apa saja untuk membantu ibuku yang saat itu telah dimakan usia dan penyakit. Umur ibuku juga tak begitu panjang, beliau pun menyusul Bapak. Sejak saat itulah aku menganggap Afika sebagai adik kecilku yang akan selalu kulindungi, meskipun tak jelas dari mana datangnya peri ini. “Bang, buset lama amat! Katanya tadi sebentar?” tepukan di punggungku membangunkanku dari lamunan yang tak jelas ini.
“Iya Fi, tadi Abang nglamun, nih. Kita mau dagang di mana?” tuturku sontak. “Kita dagang di tempat yang kemaren aja, kan kemaren belom selesai nyari botolnya, Bang,” “Siap. Tapi hari ini kamu nyari sendirian, yah, Abang mesti jualan waktu kamu nyari itu botol,” jawabku yang disusul dengan anggukan manis dari adikku ini.
Seperti keseharian kami, aku dan Afika pun menjajakan koran siang itu. Memang ada kebiasaan aneh yang dimiliki Afika. Sejak kecil ia selalu berusaha mencari botol kaca berwarna hijau tua yang tak jelas bagaimana kriterianya. Sejak kecil pula aku selalu berusaha membantunya mencari botol impiannya itu, tapi selalu saja ada yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ini panggilan, Bang! Ucapnya ketika kutanya mengapa.
Aneh memang, mungkin Afika punya semacam penyakit akan obsesinya menemukan botol hijau itu. Sempat aku bertanya padanya, apakah botol yang dimaksud sungguh-sungguh nyata? Percuma jika selama ini ia cari hanyalah halusinasi belaka. Namun, ditatapnya wajahku dan dengan sungguh-sungguh ia meyakinkanku bahwa botol itu adalah nyata. Selama ini aku hanya menurutinya tanpa sadar bahwa di balik semua itu benar ada suatu memori yang tersimpan. Suatu realita yang akan menjawab tanya.
Di siang hari yang teriknya dahsyat, aku kembali menghela napas, sembari menyapukan punggung tanganku ke dahiku yang penuh keringat. Aku melihat Afika, ditemani obsesinya yang begitu memuncak hari itu, sedang berkutat di sebuah tempat pembuangan yang tampaknya khusus berisi botol-botol dan gelas-gelas kaca yang sudah tak terpakai.
Mulai dari botol kecap, botol cuka, botol sirup, sampai botol bir. Tak hanya tempat pembuangan barang bekas saja, tetapi di daerah itu banyak sekali tempat pelelangan dan penyewaan kaum hawa yang mungkin sebenarnya sama melaratnya denganku. Hanya saja, aku kira cara mereka dalam menyambung hidup lah yang salah.
Aku dan Afika pun tak jarang saling bertegur sapa dengan para wanita perkasa itu, kami saling menghormati. Jadi, karena itu lah banyak sekali botol-botol bir murahan yang telah
habis disedot isinya kemudian dibuang ke tempat pembuangan itu. Sontak aku bangun, tak mau hanyut dalam pemikiran tak jelas ini.
Hari ini Afika lagi-lagi mencari dan terus mencari. Namun, hasilnya tetap sama saja seperti beribu-ribu hari lain yang telah lalu, nihil. Miris rasanya melihat wajahnya yang selalu saja muram begitu ia selesai mencari-cari botol bodoh itu. Esok harinya, Afika kembali mengumpulkan semangatnya untuk mencari dan terus mencari. Selalu saja seperti itu.
Kadang ketika keadaan kami terjepit, aku harus memohon kepadanya untuk berhenti sejenak mencari biasnya botol itu.
Berhenti mencari untuk membantuku menjajakan setumpuk koran ini. Untung saja hari ini
awal bulan, aku jadi bisa merelakan dia membuang waktunya sia-sia. Tak apalah, toh, sebelum petang dia juga masih membantuku. Tiba-tiba aku berpikir. Awal bulan! Ya ampun, bagaimana mungkin aku hampir melupakan salah satu hal terpenting dalam hidupku?
Dua hari lagi Afika akan genap berumur 12 tahun. Apa yang harus kuberikan padanya? Uang aku tak punya, keahlian pun tidak. Spontan, sebuah ide melintasi benakku.
“Fi, kamu ini sebenarnya dari dulu itu cari botol kayak bagaimana, sih? Perasaan kok nggak ketemu-ketemu. Kamu yakin ini botol beneran ada?” tanyaku berlagak penasaran.
“Duh, Abang selalu, deh, dari dulu juga nggak pernah percaya sama Fika. Aku tuh yakin, Bang. Pasti ada di suatu tempat! Aku cuman nggak tau gimana cara nemuinnya,” jawab Fika. Sebuah tanda tanya besar dalam pikiranku terus mendorong otak bodohku ini untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya botol itu. “Kalo gitu, emang bentuknya kayak bagaimana, sih, Fi? Palingan kamu sendiri aja juga nggak tau ya kan?”
“Ih enak aja! Aku tau kok gimana bentuknya, tapi aku nggak ingat apa tulisan yang ada di botol itu. Aku juga nggak tau itu botol minuman atau botol apa. Tapi satu yang pasti aku inget dan ini beda dari botol-botol lain! Botol itu langsing, tutupnya berbentuk mawar merah terus baunya harum, Bang. Pasti!” ujar Afika, matanya berbinar-binar.
Celoteh bawel adik kecilku ini akhirnya memunculkan ide dalam pikiranku. Tekadku sudah bulat, aku akan segera berbuat. Bagaimanapun caranya, aku harus menemukan botol impian itu. Aku ingin tahu apa yang akan Afika lakukan jika botol itu telah menjadi miliknya, apa yang akan manusia lakukan jika ia sudah menggapai mimpinya.
Senang? Sudah biasa. Apa mimpinya akan hilang begitu saja? Kalau begitu alurnya, lebih baik hidup dengan mimpi saja selagi masih bisa mengharapnya. Daripada asa itu hilang entah ke mana. Lebih baik tak mendapat, lebih baik terus mengharap.
Pagi-pagi benar, ketika gadisku masih terlelap, ketika langit masih benar-benar gelap, kuputuskan untuk mencari kado ulang tahunnya sekilat mungkin. Aku beranjak dari alas tidurku, berusaha sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara yang bisa membuatnya bangun. Setelah sembahyang, kulangkahkan kaki dekil dan tidak terawat ini keluar rumah kardus kami, berharap Yang Kuasa sudi memberkahi pencarianku hari ini.
Dengan mengambil langkah seribu, kuputuskan tujuan utama pencarianku hari ini ialah rumah susun yang dekat dengan tempat pembuangan kemarin. Berharap di sanalah aku menemukan botol ajaib Afika. Waktu memang tak bisa diajak tenang, aku pun menghela napas panjang begitu sadar bahwa hari telah siang. Hasilku hari ini nol.
Sempat aku hampir putus asa. Pantas saja sekian lama ini Afika belum mendapatkan botolnya. Memang baru terasa susahnya setelah sekarang aku mencoba mencarinya sendiri. Peluh di keningku sudah menetes. Rasa putus asa yang bersarang dalam benakku rupanya juga mengajak otakku untuk memikirkan hal lain.
Bagaimana dengan Afika? Aku sudah meninggalkannya sendiri tanpa pamit sampai petang ini. Dalam kepanikan, mataku justru berhasil menangkap gambaran sebuah benda yang kucari semenjak tadi. Ah! Bukannya itu botol yang dicari Afika? Ya, benar! Botol bertutup mawar merah yang langsing. Warnanya hijau. Bagaimana caranya aku mengambil botol itu?
Seorang wanita paruh baya tengah menggenggamnya, menengguk cairan Paloma encer dari dalam botol itu. Tanpa sadar, kakiku pun melangkah ke arah wanita itu. Mengikutinya perlahan menuju kompleks pinggiran, hingga aku tiba di depan gang sebuah kafe kelas bawah, “Kafe Rindu Abang”. Sambil mengeja perlahan, aku akhirnya dapat membaca tulisan yang tertera di samping bangunan itu.
Rupanya tak sia-sia juga aku sempat bersekolah. Baru mencium aroma kafe ini saja, aku sudah bisa menebak orang macam apakah di dalam sana. Mataku terus mengamati putaran lampu yang berkedip menghiasi kafe pinggiran itu. Warna lampu itu memang membuat kepalaku ikut berputar, kencang sekali. Aku teringat Afika, peri malangku sedang menantiku dirumah. Tanpa ragu, aku menggeser tirai berlapis kain itu dan segera menapakkan sol sandal ausku ke dalam Kafe Rindu Abang.
![]() |
foto : flickr |
Aku mulai menjelajahi seluruh isi kafe itu dan mencari keberadaan botol bodoh Afika diantara berjibun orang yang berjoget di dalamnya. Mataku seketika terpancing dengan gemerlip pakaian emas yang digunakan oleh seorang wanita layaknya manekin. Wajahnya mengilap, mulus, matanya berbinar. Hidungnya pun juga mancung, serupa dengan Afika. “Deg,” jantungku seakan berbunyi dan berhenti berdetak. Kupandang wanita itu kembali, baru kusadari bahwa ia membawa sebuah botol bir tua berwarna hijau! Gusti, mimpi apa aku semalam?
Kulangkahkan kaki ini menuju bar untuk menemui wanita elok itu. Tak segan aku bertanya kepadanya, “Permisi, bolehkah saya bertanya sesuatu tentang botol ini?”. Gaya bicaraku sopan, mulutku gemetar, keringat dingin pun mengucur di telapak tanganku. “Ya? Bisa saya bantu?” ujar wanita itu lembut.
Aku berhasil merayu wanita itu untuk berbincang bersamaku di lain sudut di kafe ini. Tetapi, mulutku sulit mengucapkan kata-kata, bahkan tanganku mengepal keduanya. Sungguh, aku takut. Aku pun akhirnya memberanikan diri mengucapkan kalimat perkenalan pertamaku, “Selamat malam, nama saya Abasatyo. Saya punya adik asuh, namanya Afika. Saya tidak tahu alasannya mengapa, tetapi yang saya tahu ia selalu mencari keberadaan botol bir tua ini siang dan malam.
Botol bir tua ini seakan menjadi tujuan utama dari hidupnya. Jadi, saya ingin memberi botol ini sebagai hadiah ul...” “Maksudmu Afira Kania? Dia Kania, dia anakku yang selama ini kucari-cari! Cepat bawa aku kepadanya, cepat! Dimana ia berada sekarang? Antarkan aku kepadanya, aku mohon,” jeritnya kepadaku. Sontak aku berdiri terdiam, tak kusangka wanita yang menangis dan berlutut di kakiku ini adalah sesosok wanita yang dari dulu kubenci.
Rasa benci itu belum bisa hilang dari benakku, perasaanku. Hanya saja, aku termenung dan meyadari bahwa ia benar-benar sosok ibu yang selama ini dicari periku. Ya, Afika memang hanya mencari botol tua itu, tapi botol bir tua itu adalah satu-satunya gambaran yang tersisa dari sosok ibunya. Akupun bergegas, segera menghantarkan wanita itu ke rumah
kardusku.Afika duduk bersila di teras sebuah ruko.
Ia duduk mendekap erat guling kesayangannya sambil meratapi rumah kardus kami yang rubuh ditimpa derasnya hujan. Pandangan kosongnya pun seketika usai karena melihat sosok wanita cantik yang menggenggam botol hijau itu berdiri di hadapannya. “Bunda?” Panggilan itu terdengar di telingaku dan semakin membuatku yakin bahwa ialah ibu kandungnya. Aku menangis bahagia.
Peri kecilku akhirnya bertemu dengan wanita yang mengandungnya selama 9 bulan, melahirkannya. Ternyata, ayahnya meninggalkan Afika beserta ibunya 14 tahun yang lalu entah kemana. Saat itu, keluarganya terbelit hutang sana-sini. Akhirnya, ibu Afika terpaksa masuk ke dalam penjara selama beberapa tahun karena ulah keji ayahnya. Ia hanya tidak ingin Afika dibesarkan di dalam jeruji besi. Aku tersenyum haru, “Kau menitipkan buah hatimu ke depan pintu rumah yang tepat,” ujarku berbisik.
Ternyata, kebencian dalam hatiku ini bertumbuh karena alasan yang salah. Aku mengerti sekarang, hidup adalah perjalanan panjang yang harus diperjuangkan. Hidup ini selalu memaksa kita memendam kepedihan, tetapi mungkinkah ada pelangi tanpa hujan?
Pada akhirnya, aku, Afika, dan Bunda hidup bahagia bersama. Bunda bagaikan pengganti Ibuku yang diturunkan dari surga. Botol Bunda ini telah mempersatukan kami menjadi sebuah keluarga baru yang sangat bahagia. Hidup kami indah. Walaupun menjajakan koran tetap menjadi satu-satunya cara kami menyambung hidup, tapi kami bahagia. (alesya firmawan panghegar)