Begitu Nistakah Aku
AKU menundukkan kepala dan berjalan dengan cepat. Terus berjalan, tidak menghiraukan tatapan penuh jijik dan bisikan yang dapat menyayat hatiku. Sudah sebulan lebih aku bersekolah di tempat ini, tapi semua orang seperti biasa, tidak terbiasa berada di sekitarku, apalagi disebelahku.
Aku tidak menyalahkan mereka. Aku hanya bisa menunduk dan menangis dalam hati. Aku ingin hidup normal seperti anak-anak remaja lain, pergi ke sekolah bersama, bermain, ngobrol, jalan-jalan dan berbelanja. Tapi sepertinya itu semua tidak akan pernah terjadi.
Tetiba aku merasakan sebuah tangan menarik tanganku ke sebuah kelas gelap. Aku mendongak dan mendapati tiga cowok yang mungkin adalah kakak kelasku. Mereka menatapku sambil tersenyum sinis. Aku hanya bisa berjalan mundur, mencoba menjauh dari mereka. Tapi begitu aku melangkah mundur, mereka melangkah maju. "Apa mau kalian? tanyaku dengan suara bergetar.
Mereka hanya tertawa seolah aku menyodorkan pertanyaan bodoh. Aku merasakan sesuatu yang dingin, menempel dipunggungku. Mereka terus merangsek cepat. Aku menutup mukaku dan memalingkannya. Salah satu dari mereka meraih daguku dan menariknya agar aku melihat mereka. "Apa yang kau takutkan, huh? Bukannya kamu sering melakukan ini? katanya diiringi suara tawa dari temannya.
"Jadi berapa hargamu?"
"Aku bukan pelacur!" teriakku dengan terus meredam rasa takut yang telah menyelimuti seluruh tubuhku.
"Hei, ibumu itu pelacur! Jadi kamu pasti pelacur juga," katanya yang membuatku mendorongnya.
Air mata makin deras menetes dan membasahi pipiku, sebagian baju seragamku. Aku mencoba meronta ketika teman-temannya membantunya dengan memegangiku. Aku terus menangis. Di luar kelas, aku melihat kalau orang-otang yang ada di sana, hanya melihatku. Beberapa pergi begitu saja tanpa ada yang berusaha membantuku.
Lebih tepatnya mereka tak peduli, karena bagi mereka aku hanyalah anak seorang pelacur. Aku berhenti meronta ketika pintu yang tadinya sedikit tertutup terbuka lebar. Cowok-cowok yang memegangku dan mencoba membuka bajuku berhenti. Seorang cewek berambut panjang menatap dengan amarah. Dia berjalan ke arah kami dan menampar cowok-cowok itu dengan kuat.
"Kalian pikir apa yang sedang kalian lakukan di sini?" Dia segera menarikku dan memelukku. Aku hanya bisa terbelaak dan membeku. Mengalir rasa hangat menyelimuti tubuhku. Ini baru pertama kalinya ada orang yang memelukku. Aku hanya bisa merasakan air mata makin turun menghujan pipi. Aku tidak tau kalau ada orang yang akan membelaku atau menyelamatkanku.
"Apa kalian gila, memperkosa seorang gadis. Di sekolah," tanyanya dengan penuh amarah. Cewek ini lantas memintaku berdiri di belakangnya. "Kami hanya bermain-main, Car" kata salah satu dari mereka yang membuat tubuh yang ada di depanku itu mengepalkan tangannya dan memukul ketiga orang itu. "Kenapa kau memukul kami?!" teriak mereka.
"Kenapa aku memukulmu? Kau masih bisa bertanya? Kalian kira kalian bisa lolos dari
ini? Tidak, aku pastikan kalian tidak akan lolos dari ini," katanya.
Kemudian yang aku tahu, aku sudah berada di UKS dengan segelas teh di tangan. Tiga cowok itu dan cewek yang menolongku berada di ruang kepala sekolah, tidak jauh dari UKS. Aku menunduk, tak berani mengangkat wajah menatap suster-suster, yang bahkan memberikan tatapan jijik. Aku menoleh ketika aku merasakan rasa hangat di pundakku.
Cewek itu tersenyum ke arahku. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Aku mengangguk dan menunduk lagi."Namqku Carlin, kamu?" Dia mengulurkan tangannya. "Rami" kataku membalas jabatan tangannya. "Te-terima kasih bantuannya," tukasku dengan gugup. "A-aku pergi dulu," ujarku cepat-cepat beranjak dari kursi dan bermasuk pergi. Pasti dia tidak suka dengan keberadaanku di sini terlalu lama.
"Hei, hei, hei! Apa yang kamu lakukan? Duduklah, kamu masih syok." Dia menarik tanganku sehingga membuatku terduduk kembali. Aku hanya menatapnya dengan tidak percaya. Kenapa seorang ketua OSIS yang memiliki dunia berbeda denganku mau menolongku? "Aku tidak tau apa yang harus aku katakan padamu. Sejujurnyka aku sangat malu meliaht kelakukan teman-temanku" katanya.
"Aku tidak minta kau mengampuni mereka, hanya saja-ah, aku tidak tau harus berkata apa," terangnya. "Tenang saja, aku sudah memaafkan mereka," kataku yang membuatnya menoleh ke arahku. "Lagipula, mereka bukan orang yang pertama yang melakukan itu kepadaku."
"Mereka bukan orang yang pertama!" teriaknya kaget. "Ya ampun" katanya setengah berteriak. Dia memegang dahinya sambil mengeleng-gelangkan kepalanya. "Tapi, bolehkah aku bertanya," kataku yang membuatnya menoleh dan mengangguk, "Kenapa kau menyelamatkanku?"
"Apakah kau bodoh. Tentu saja aku harus menyelamatkan kamu. Kamu itu korban pelecehan seksual!" katanya menatapku tidak percaya. Kami terdiam untuk beberapa detik sampai ia berkata, "Meski ibumu seorang pelacur, bukan berarti kau juga seorang pelacur" katanya.
"Awalnya aku juga mengira kau adalah gadis yang menjual diri seperti rumor yang beredar. Entah kenapa, begitu aku memperhatikamu, aku tahu kalau itu semua hoax," katanya yang membuatku menatapnya.
"Tapi orang-orang hanya terlalu gengsi dan takut dikucilkan meski dia tahu kalau kamu tidak begitu. Awalnya, aku seperti mereka, sampai kulihat kelakuan mereka hari ini," lanjutnya. "Jadi kumohon, jika ada orang yang akan melakukan itu lagi, aku mohon datanglah kepadaku," katanya sambil menggenggam erat tanganku.
"Tidak aku baik-baik saja." Aku mencoba berdiri, tapi dia kembali menariku."Kumohon," katanya menatap penuh harap ke arahku. Aku hanya menatapnya kebingungan. Kenapa ketika semua orang menjauhiku, dia malah berusaha mendekatikau. Apakah dia tidak takut kehilangan apa yang dimilikiny saat ini?
"Baiklah," kataku tersenyum lemah, yang membuatnya tersenyum. "Tapi apakah kamu
tidak takut kehilangan segalanya yang kamu miliki saat ini, saat berada didekatku?" "Takut? Kenapa aku harus takut?" tanyanya. "Tapi bukankah itu penting?" "Penting? Tidak, itu semua tidaklah terlalu penting" katanya.
Dia memegang tanganku lagi dan menatapku. "Bagiku yang penting adalah melindungi seorang teman yang sedang kesusahan dan berada di sebelahnya selama yang aku bisa," katanya yang membuatku tidak dapat berkata apa-apa. "Jadi apakah kamu mau berteman denganku?"
Aku terbalak, menatap matanya mencari kebohongan di matanya, tapi aku tidak menemukannya. "Sungguh, kamu mau berteman denganku?" tanyaku dengan nada
riang. "Tentu saja," katanya tersenyum. "Mari menegenal lebih baik, Rima" katanya mengulurkan tangannya. "Baiklah, Carlin," teriakku. Aku tidak pernah menyangkal, sekarang aku memiliki seorang teman. (jovita louisa)