Mr Extraordinary Cool
Weits……jangan tanya. Dia jago sepak bola. Oke, aku akui, dia banyak kelebihan. Satu yang membuat dia dapat nilai minus dariku. Playboy! Semua cewek cakep, stylish, gaul
dan mentel, sudah pernah dia pacari. Yang kuper, rajin baca buku, sebagian besar juga sudah.
Belum termasuk aku, tentunya. Aku tahu persis, se-playboy apa dirinya. Segala akal bulus dia buat ngerayu cewek, kudengar dari teman-temanku, yang sayangnya, pernah pacaran
dengannya. Rata-rata cewek yang pacaran sama dia, nggak pernah lebih dari tiga bulan. Paling singkat satu minggu. Dan, sekarang dia ‘nembak’ aku, minta aku jadi ceweknya.
“Ra, aku mau kamu jadi pacarku. Kamu mau kan. Aku cinta sama kamu Ra. True love aku. Aku nggak akan playboy kalau jalan sama kamu. Trust me, will you?” Pengakuan Brian
begitu terang-terangkan ketika dia berada di kelasku saat istirahat. “Aku nggak mau,” jawabku pendek. “It will never be.”
***
KULIHAT anak Kelas 12 di sekolahku berlari keliling lapangan. Kenapa aku tahu itu Kelas 12? Pakaian olahraga kami berbeda setiap tingkatan. Aneh…kan? Tapi keren juga sih hehehehe…Yah, itulah sekolahku. Sekilas Brian terlihat oleh mataku. Dia sedang berlari santai. Waja sebenarnya mengetahui dia ikut ekstrakurikuler sepak bola. Nggak heran dia nggak terlihat begitu lelah seperti yang lainnya.
Sebenarnya, kalau kelakuan dia nggak minus, aku sendiri mungkin bisa jatuh hati juga padanya, as all my friends do. Tapi sayang, dia telanjur mendapat ‘nilai minus’ dariku. Aku kembali sibuk dengan buku cerita yang ada di tanganku. Namun tidak ada gunanya. Entah kenapa, terus terbayang senyum lembut Brian. Aku menggeleng-geleng kepala. Sekali lagi, aku menasihati diriku sendiri.
***
SEMINGGU sudah berlalu. Tak ada tanda-tanda Brian akan menyerah untuk berusaha memacariku. Sebelum bel pertama berbunyi, bahkan sebelum aku datang, dia sudah duduk menunggu di mejaku. Tentu saja, teman-teman sekelasku tidak ada yang berani mengusirnya. Mana mungkin ada yang mau. Bagi mereka, itu adalah karunia di pagi hari. Pagi-pagi sudah dapat melihat Brian. But, not for me.
Saat aku memutuskan pulang dengan berjalan kaki, Brian segera menarik tanganku. “Aku antar kamu pulang ya,” pintanya. Terang saja aku menolak. Ogah! Gengsi, tapi dia tetap memaksa. Bahkan, ketika aku tetap ngotot dengan niatku, dia tetap mengikutiku. Brian
mengendarai motornya begitu pelan sehingga bisa mengimbangi langkahku.
Terus terang saja, aku –as girl, pasti senang sekali. Ada cowok yang melakukan itu demi aku. Tapi, dia itu, Brian, playboy berat. I can’t fall in love with him. I can’t. Nggak boleh. Sampai di sebuah tikungan jalan, kulihat dia begitu kelelahan. Sejak beberapa menit lalu berjalan sambil mendorong motornya. Belum lagi ditambah teriknya matahari, nggak
bisa diajak kompromi.
Aku sengaja singgah di warung tegal (warteg) di tepi jalan. Setidaknya, agar dia bisa istirahat dulu. Minum, makan atau apa kek. Terserah. Biar dia duduk semeja denganku, aku tidak peduli. Ketika kulihat lelahnya sudah berkurang, aku segera berdiri dan menunggu di dekat motornya. “Ayo cepat, aku mau pulang,” seruku. Dia bengong. “Rumah kamu di mana,” tanyanya, lalu duduk di atas sadel motor.
Segera dia hidupkan motor dan melaju kencang. Kok, aku berdebar-debar karena ‘memeluknya’. Remember, I’am not the first one. Begitu sampai di depan rumahku, aku segera turun dari motor. Tanpa terasa, air mataku sudah ada di pelupuk mata. Gila! Dia benar-benar gila. He’s out of his mind. “Lho, kamu kok nangis Ra,” tanyanya panik.
“Kamu gila, ya? Kamu sadar nggak sih, kalau kamu tadi ngebutnya sudah kayak orang gila. Orang yang sudah nggak waras. Kamu sadar nggak, yang tadi ada di belakang kamu itu seorang cewek!! Amarahku keluar semua. “Aku belum gila, Ra. Aku tahu yang duduk di belakang aku itu seorang cewek. Seorang cewek yang aku sayangi, aku cinta.”
***
BEBERAPA hari sejak kejadian itu, dia tak lagi mendatangiku. Sepertinya Brian sudah menyerah. Suatu ketika, siang itu, kudengar ada langkah yang mulai mendekati tempatku duduk. “B..B…Brian,” gumamku tidak percaya. Dia, seorang Brian datang ke perpustakaan, saat jam ekstrakurikuler sepak bola. Samar-samar kulihat sebuah senyum bibirnya.
Anak ini benar-benar nggak waras. “Pertama kali aku ngeliat kamu itu di perpustakaan ini juga, di tempat kamu duduk sekarang ini,” tuturnya lembut. Well, itulah aku, ya aku telah menemukan cintaku. Sekarang aku benar-benar bahagia. Entah kenapa, aku bangga sekali menjadi cewek pertama Brian yang paling bahagia. No doubt about it. (gaby zerlyne)