Crisis Response Team (CRT) Walet Hitam Pasukan Antiteror Polri
PASUKAN khusus ini dirancang untuk memburu pentolan teroris yang dianggap membahayakan negara. Dibentuk secara khusus untuk misi tertentu. Pada 2003 dibentuklah sebuah unit khusus yang bernama Crisis Response Team (CRT) Walet Hitam.
Anggotanya pun hanya sedikit yang diambil yaitu berjumlah 12 orang. Kebanyakan dari mereka direkrut dari satuan Gegana Brimob Polri. Satuan pilihan ini setingkat lebih elit dari Densus 88 Antiteror.
Dikenal misterius dan tak banyak diketahui. Sebagai unit pasukan khusus, pihak kepolisian pun tdk banyak mengenal kehadiran tim elit ini. Hanya pejabat Polri tertentu saja yg mengerti akan keberadaan walet hitam ini.
Uniknya lagi, para anggotanya pun tidak pernah diberitahu tentang misi dan pekerjaan mereka ke depannya. Mereka terus bergerak, berpindah tanpa ada pihak lain yang tahu, termasuk anggota polisi. Mereka 12 orang yang tersembunyi.
Sukses melumpuhkan gembong teroris paling berbahaya di Asia Tenggara. Satuan ini berhasil menangkap ahli bom legendaris bernama Dr Azahari di Batu, Jawa Timur.
Suasana mencekam terjadi di sebuah rumah di Jalan Flamboyan A1 Nomor 7, Kelurahan Songgokerto, Batu, Malang, Jawa Timur, pada 2005 silam. Hunian tersebut menjadi target pengamatan dan penyergapan tim Densus 88 Antiteror Polri.
"Hai Polis, kalau berani, masuk sini," ancam Dr Azahari bin Husin, penebar teror asal Malaysia dan merupakan otak di balik Bom Bali 2002 dan Bom Bali 2005.
Seperti ditulis Arif Wachjunadi dalam bukunya, Misi Walet Hitam 09.11.05-15.45 Menguak Misteri Teroris DR Azhari yang dikutip Liputan6.com, Selasa (9/11/2021), kala itu pasukan dari tim surveillance Densus 88 Antiteror mengawali perburuan Dr Azahari dengan melakukan penyamaran.
Mereka menyaru sebagai gelandangan, hingga pedagang keliling untuk berseliweran di depan Vila Flamboyan yang diyakini menjadi tempat persembunyian gembong teroris nomor wahid, Dr Azahari. Semua gerak-gerik penghuni rumah kontrakan diawasi.
Operasi penyamaran didukung dengan tiga vila yang disewa dekat lokasi persembunyian Dr Azahari, sementara para petinggi Densus 88 Antiteror dan Bareskrim Polri berkumpul di Vila Mawar. Tidak ketinggalan empat mobil dan 15 motor sewaan untuk keperluan transportasi.
Kepala Densus 88 yang saat itu dijabat Irjen Bekto Suprapto merasakan momentum. Dia lantas memanggil Crisis Response Team (CRT) Walet Hitam dari Mako Teratai sebagai pasukan striking force atau pasukan pemukul yang akan menyelesaikan misi rahasia.
Lewat koordinasi bersama Komandan Satuan Pasukan Terlatih Polri Kombes Arif Sulistyo, 12 personel CRT terbang menggunakan pesawat VVIP Polri dari Lapangan Udara Pondok Cabe, Tangerang Selatan, menuju Bandara Abdurrahman Saleh, Malang, Sabtu 6 November 2005. Mendarat di Skadron Teknik 022, pesawat buru-buru ditarik ke hanggar dan pintu segera ditutup rapat.
"Karena ini misi rahasia. Saya khawatir ada pihak-pihak lain yang melihat kedatangan mereka," kata Bekto saat menghubungi Komandan Lapangan Udara (Danlanud) Abdul Rachman Saleh, Marsma Yushan Sayuti.
Pasukan CRT Walet Hitam yang terdiri dari Briptu Yudi, Iptu Bram, Brigadir Diaz, Brigadir Dedi, Brigadir Andi, Brigadir Fran, Brigadir Seto, Brigadir Feri, Brigadir Heru, Brigadir Heri, Brigadir Doni, dan Brigadir Jaka kemudian meninggalkan hanggar usai menerima pengarahan Bekto. Mereka istirahat sejenak di Hotel Kusuma Agro yang dijadikan posko taktis prajurit CRT.
Usai menyambut, Petinggi Densus 88 Anriteror Polri Komjen Gories Mere meminta semua anggota CRT mengumpulkan ponsel. "Tak boleh ada pihak lain yang mengetahui kehadiran kalian di sini, bahkan petugas kepolisian setempat sekali pun," tegas Gories.
Memulai Penyergapan
"Kevin ayo pulang, dicari ibu nak," kata Sutoyo di depan pintu pagar rumah target. Kevin Ernando, bocah 7 tahun sempat buat geger lantaran bermain dengan murid Dr Azahari, Arman di ruang tamu rumah persembunyian saat momentum penyerbuan, Rabu 9 November 2005.
Petugas lantas meminta bantuan Kepala Keamanan Perumahan Flamboyan, Sutoyo, untuk menjemput Kevin. Setelah dirayu, akhirnya dia keluar.
Tim serbu sendiri mulai beraksi usai kegaduhan yang terjadi pukul 04.00 WIB. Cholily yang merupakan murid Dr Azahari terdeteksi meninggalkan rumah tersebut dengan membawa tiga ransel ukuran jumbo, yang diduga berisi bahan peledak dan senjata api.
Terlebih, polisi preman gagal membuntuti Cholily yang menghilang di antara kerumunan orang. Meski begitu, petugas berhasil meringkusnya di Demak dengan memanfaatkan pemantauan lewat sinyal ponsel.
Penangkapan Cholily memantapkan niat tim melakukan penyerbuan. Evakuasi warga sekitar pun dilakukan, termasuk Kevin yang digandeng Sutoyo menuju rumah lain sejauh 200 meter dari target.
Di tengah evakuasi, kaki Brigadir Yamin, personel tim intelijen ditembus timah panas yang datang dari rumah sasaran. Rentetan suara tembakan pun terdengar. Kadensus Bekto yang melihat situasi kritis langsung mengontak Posko Taktis, tempat prajurit CRT berkumpul.
"Segera lakukan penyergapan," perintah Bekto kepada CRT.
Personel CRT yang mengepung hunian Dr Azahari disambut ledakan sejumlah bom rakitan yang dilempar dari dalam rumah. Perlawanan Dr Azahari dan Arman terbilang sengit.
"Azhari keluar, menyerahlah. kamu sudah terkepung," teriak Iptu Bram.
"Saya mau keluar, jangan tembak," kata Azhari.
Dr Azahari mulai terlihat di dekat pintu. Hanya saja, kejanggalan terlihat di bagian tubuhnya yang dibalut rompi. Dadanya menggelembung diyakini petugas berisikan bom.
"Kamu berhenti di situ, lepaskan baju kamu dan lekas angkat tangan," teriak Iptu Bram.
Di luar harapan, Dr Azahari nyatanya menolak menyerah dan malah mengacungkan senjata ke arah Brigadir Fran seraya mengancam.
"Hai Polis, kalau berani, masuk sini," katanya.
Iptu Bram kemudian memerintahkan Brigadir Fran yang berada tepat lurus di pintu rumah untuk menembak Dr Azahari, yang kembali masuk ke rumah sambil mengarahkan senjata ke petugas.
Dor..!!!
Dr Azahari roboh. Arman yang kalut melihat kondisi gurunya langsung meledakkan bom rompi yang dikenakan dan ikut meninggalkan dunia. Tercatat, Azahari bin Husin tewas tepat pukul 15.45 WIB, Rabu 9 November 2005 sore.
Warisan Vila Flamboyan
Berdasarkan artikel Majalah Tempo: Warisan Dari Vila Flamboyan edisi 12 Juni 2006 yang dikutip Liputan6.com, Dr Azahari rupanya meninggalkan banyak peninggalan, mulai dari detonator siap pakai, video dan buku manual cara membuat bom, hingga dokumen berisi persiapan serangan bom Bali II.
Dokumen berjudul 'Proyek Bali' setebal 34 halaman itu ditemukan dalam komputer Dr Azahari yang ada di rumah penyerbuan. Laporan yang tersusun dalam lima bab itu dimulai dengan alasan memilih Bali sebagai target bom, salah satunya lantaran lokasinya pasti mendapat sorotan media internasional.
Kemudian survei berbagai tempat hiburan dengan pilihan utama lokasi yang memiliki sebagian besar tamu asal Eropa. Tidak ketinggalan mengamati gaya berpakaian hingga merek tas, demi mendukung aksi membaur para pelaku bom bunuh diri tanpa dicurigai.
Survei dilakukan oleh si calon pengebom itu sendiri agar lebih mengenali target sasaran. Peledakan akan dilakukan pada jam terpadat tempat hiburan yang menjadi sasaran.
Dalam dokumen itu, Dr Azahari membuat jadwal menit per menit, mulai dari meninggalkan tempat kos hingga saat pengeboman. Termasuk jalur yang harus dilintasi pelaku bom, lengkap dengan denah posisi meja dan kursi demi mendapat hasil pengeboman paling dahsyat.
Pada halaman 27 terdapat catatan, yakni pukul 17.25 WIB pelaku harus berkemas dan mengurus check out dari kos, pukul 17.30 WIB mencari ojek berangkat ke Pantai Legian, ledakan menurut rencana ditetapkan bersamaan pukul 19.34 WIB.
Dalam eksekusinya, Restoran Menega dan Kafe Nyoman di Jimbaran meledak pukul 19.40 WIB, sementara Restoran R.Aja's di Kuta Square terjadi tiga menit kemudian. Angka yang tidak terlalu jauh dengan rencana dalam dokumen Dr Azahari. (*)