Surat Terbuka Christianto Wibisono kepada Jusuf Kalla
MOHON maaf bila tersinggung, karena kamipun sudah bukan tersinggung lagi dan merasa dibully habis sejak dari zaman kecil yg kalau lewat sering diteriaki “Cina! Cina loe!” Hingga hari ini dipanggil dengan nama kafir, dirusak tempat ibadahnya, didiskriminasi dalam segala perizinan dan beasiswa, dan dihalalkan darahnya untuk dibunuh.
Surat Terbuka
Kpd Yth. Bpk. Yusuf Kalla
Dear Pak Kalla,
Statistik yang Anda kemukakan itu saya sangat percaya kebenarannya. Mungkin Anda bingung Pak dgn statistik ini, biar saya coba bantu menjelaskan dari sudut pandang saya sebagai Tionghoa Kristen, walau sebetulnya Anda juga pasti tahu kisah banyak konglomerat Tionghoa Kristen atau Tionghoa Konghucu Indonesia yang memulai usahanya dari nol dan berasal dari keluarga miskin!
Menurut saya Pak, penyebab kesenjangan tersebut adalah akibat perbedaan budaya yang sangat besar, antara budaya yang sangat efisien dengan budaya yang sangat boros. Biar saya jabarkan dalam bahasa sehari-hari Pak…
Bagi orang tionghoa, dalam berbisnis menjaga kepercayaan bos (supplier) dan kepercayaan customer sangat penting. Ini menyebabkan kami tidak pernah kekurangan modal ketika dagangan membesar karena selalu disupport supplier.
Rata-rata kami dididik dan mendidik anak-anak kami, anggota keluarga kami dengan disiplin dan diajari tanggung jawab, terutama secara ekonomi. Bagi seorang tionghoa membebani keluarga secara ekonomi sangatlah memalukan.
Sebagian akan mengalami tidak dipandang sebelah mata, perasaan terinjak-injak. Namun semua itu tidak membuat kami cuma bisa sirik dan benci Pak, tapi memicu kami untuk bangkit dan berusaha sebaik-baiknya agar tidak dihina.
Kami tidak banyak mengeluarkan uang untuk berdandan, bersosialisasi, beramal, saweran sekeliling supaya dipandang kaya dan dihormati. Jika ada tionghoa yang melakukan itu semua, biasanya mereka yang sudah di level berekonomi berlimpah atau sedikit yang maksa.
Pelit ya? Memang itu sifat dasar etnis tionghoa yang sudah tidak begitu parah sekarang, karena akulturasi budaya dan ajaran agama yang mengajarkan untuk memberi dan menabur kepada yg membutuhkan.
Karena kami sangat disiplin kepada diri sendiri, kamipun memperlakukan orang lain seperti itu. Kalau kami dari susah bisa bangkit dengan kerja keras, maka orang lain kalau susah ya salahnya sendiri, malas dan boros, tidak bisa jaga kepercayaan dan mental krupuk. Kami tidak akan kasihan dengan orang yang malas dan bermental jelek.
Kami jarang melakukan kawin cerai dan berpoligami sehingga energi dan sumber daya keluarga tidak terbuang untuk urusan ribut rumah tangga dan kami bisa terus mengejar target ekonomi kami.
Tionghoa Kristen yang sungguh-sungguh beriman banyakan bayar perpuluhan dari pendapatannya ke gereja, dan menurut janji Alkitab berkat Tuhan akan tercurah bagi umat yang taat. Percaya atau tidak, data statistik Anda membuktikannya toh? Sedang tionghoa Konghucu rata-rata banyak membantu anggota keluarganya untuk bangkit secara ekonomi, tidak diberi ikan tetapi kail!
Dan orang yang menabur yg baik tentu akan menuai yang baik kan? Kesuksesan para tionghoa itu tentu secara otomatis menarik naik kaum keluarga dan kerabatnya dari generasi ke generasi. Semua suku tentu lebih mudah berkomunikasi, berinteraksi dan menanamkan kepercayaannya kepada sesama kerabat dan sukunya sendiri toh? Apa Bapak tidak begitu?
Pembatasan profesi suku tionghoa dari zaman dahulu dalam segala bidang telah membuat jalur dagang satu-satunya jalan penghidupan. Sekarang di kala bangsa ini mulai menyadari perlunya mencetak banyak enterprenueur kami sudah melakukannya dari generasi ke generasi.
Mungkin darah dan air mata kami yang telah banyak tercurah di Bumi Pertiwi saat peristiwa pembantaian dengan isu PKI dan Kerusuhan rasial 13 Mei 1998 telah mengetuk pintu belas kasihan Tuhan kepada kami, dan sebaliknya mendatangkan kutuk bagi para pelaku dan keturunannya. Mohon maaf Pak, saya tidak maksud mengutuki, saya diajar untuk mengampuni dan mendoakan pertobatan mereka.
Begitu kurang lebih analisa saya sebagai seorang tionghoa Kristen Pak. Mungkin Bapak bisa kasih analisa mengapa banyak orang Islam yang miskin?
Kalau boleh saya kasih masukan Pak… karena jumlah orang Islam itu ratusan juta di Indonesia Pak! Ya iyalah lebih banyak orang miskin Islam dibanding orang miskin tionghoa, lho.
Dan ilmu ekonomi suku tionghoa yang mutakhir ada dalam diri seorang Ahok Pak, Tionghoa Kristen gila yang menyimpang dari kebiasaan sukunya yang rata-rata punya prinsip “Jangan mencampuri urusan orang lain, apa untungnya?”
Si kafir Ahok punya hati dan belas kasihan untuk membenahi perekonomian orang-orang miskin di DKI dengan visi “Penuhi perutnya, dompetnya dan otaknya” dengan tidak mengejar pertambahan kekayaan bagi dirinya sendiri yang sangat bertentangan dengan budaya Tionghoa di mana ekonomi keluarga itu no.1, sosial nomor terakhir.
Dan apa yang dilakukan bangsa ini kepada Ahok? Memenjarakannya! Dan menggesernya dengan pejabat yang trackrecord, kapabilitas dan integritasnya belum teruji hanya karena seiman.
Nah, dengan pola pikir dan mental yang seperti ini ya saya gak heran Pak, mengapa masih banyak orang muslim yang miskin di tanah air. Karena mereka masih dijajah oleh saudara seimannya (para koruptor yang punya prinsip tidak apa-apa korupsi kalau buat bangun mesjid dan sumbang anak yatim piatu… (Bapak tahu gak uang haram itu mengandung kutukan?)
Well, begitulah panjang lebar penjelasan saya untuk dimengerti Pak.
Mohon maaf bila tersinggung, karena kamipun sudah bukan tersinggung lagi dan merasa dibully habis sejak dari zaman kecil yang kalau lewat sering diteriaki “Cina! Cina loe!” Hingga hari ini dipanggil dengan nama kafir, dirusak tempat ibadahnya, didiskriminasi dalam segala perizinan dan beasiswa, dan dihalalkan darahnya untuk dibunuh.
Tionghoa juga NKRI pak !
Sumber: Toto Kartarahardja (@kartarahardja), 27 Juli 2021.