Cerita Horor Santet Sewu Dino (20) : Lukisan Jabang Bayi
Apa yg membuat Dela yang ini, sangat berbeda dengan Dela yang selama ini, Sri lihat. Mbah Tamin, mengamati saja. Setelah berbasa-basi, Mbah Tamin mempersilakan Sri dan Dini masuk. Di dalam, Sri langsung bisa merasakan, rumah ini, jauh berbeda dari rumah gubuk itu. Rumah di sini, berkali-kali lipat lebih besar, tentu dengan nuansa jawanya yang kental.
Meski begitu, Sri merasa ngeri memasukinya. Setiap ruangan di rumah, besarnya bukan main. Banyak lukisan dengan corak kental adat budaya jawa, yang bisa Sri saksikan langsung. Namun, dari semua itu, ada satu lukisan yang menarik perhatian Sri, sebuah lukisan yang familiar. Sri menatap lekat-lekat foto itu. Seorang wanita tengah berpose dengan sanggul, mengenakan kebaya, menatap lurus, ia tengah memegang jabang bayi.
Yang membuat Sri tidak bisa mengalihkan perhatianya adalah, jabang bayi di lukisan itu, memiliki 2 kepala. "Sri, kamarmu nang mburi, ayok tak terna" (Sri kamarmu ada di belakang, sini, aku antar), kata Mbah Tamin. Sri baru menyadari, Dini tidak ada di belakangnya, entah ke mana, ia mengikuti Mbah Tamin, menelusuri setapak demi setapak dan melihat banyak ruangan tanpa pintu.
Kamar Sri hanya ruangan kecil, dengan beberapa perabot tua. Ia tidak sekamar dengan Dini. Hanya ada jendela yang ditutup oleh gorden, di sana, Mbah Tamin mengatakanya. "Nek wes jam 12, lawang kamarmu ojok lali ditutup, ojok sampe mok bukak yo, pesenku iku tok." (Kalau sudah jam 12, pintu kamarmu jangan di buka, jangan sampai kamu membukanya, ingat pesanku ini) tegas Mbah Tamin, lalu ia pergi.
Sri membuka gorden di jendelanya, ia bisa merasakan, keberadaanya di sini, tidak ada bedanya dengan keberadaanya di alas itu. Entah kenapa, tempat ini sama saja, seperti memintanya menguak apa yang ada di sini. Sebelumnya, ia melihat Dela, baru saja melewati kamarnya, menatapnya
lalu menghilang, dengan senyuman yang memancing keingintahuan.
Sri sudah mengunci pintu kamar dan jendela. Kini, ia berbaring di atas kasur tua, yang setiap ia bergerak mengeluarkan suara tidak mengenakan. Hanya dengan menatap cahaya lilin di meja, Sri merasa ia aman, selebihnya, ia terjaga, tidak bisa tidur dengan pertanyaan di pikiranya.
Waktu terasa begitu lambat. Setiap ketukan detik yang Sri bayangkan terasa mengambang dalam sepi di kamar itu, lalu, terdengar suara lirih. Suara yang membuat Sri merasa tidak sendiri lagi, suara itu, terdengar dari luar kamar. "Mbaaak Sriii, mbaaak, iki aku Dela." Mendengar itu, Sri langsung tercekat, entah apa itu, suara itu seakan mengancamnya
"Mbak sampun tilem, niki Dela mbak, dibukak lawange Mbak." (Mbaknya sudah tidur, ini aku Dela mbak, di buka dulu pntunya mbak). Sri masih diam, ia mencoba menahan diri, suara itu, menganggunya. "Mbak Srii, aku loh eroh nek sampean jek melek, dibukak dilek nggih mbak, engkok, tak keki'i panuturan" (Mbak Sri, saya tau kamu masih terjaga, dibuka dulu pintunya, nanti, saya kasih tahu rahasia). (*)