Cerita Horor Santet Sewu Dino (2) : Bertemu Kembang Krasa
"Sri, bener, awakmu lahir pas dino Jumat Kliwon" (Sri, ini benar, kamu lahir Jumat Kliwon). Sri yang mendengar pertanyaan itu, awalnya kaget. Tergagap Sri menjawabnya. Memang benar, ia lahir di hari Kliwon, tapi tidak tahu, bila itu, hari Jumat. Si pemilk jasa agen penyalur, mengangguk, seakan ia menemukan apa yang ia cari. Namun, bagi Sri, itu pertanyaan aneh.
"Hayangati ya Sri" (hari lahir kamu istimewa ya Sri)," kata si pemilik jasa, lalu membawa Sri ke ruangan lain yang lebih besar, lebih megah. Ia diminta menunggu. Sudah ada 2 orang duduk di sana. Sri sudah lolos. Selama berjam-jam, Sri menunggu. Ia mengobrol dengan 2 orang yang duduk, namanya Erna dan Dini. Usiannya tidak jauh dari Sri, masih muda, dan belum menikah.
Entah sampai mana mereka bicara, tiba-tiba, si pemilik jasa, memanggil salah satu dari mereka. Erna keluar. Lama tidak ada kabar, Erna tidak kembali. Ganti Dini yang dipanggil, tinggal Sri sendirian di ruangan itu. Menunggu, entah untuk apa. Di sela kebosanannya, Sri melihat-lihat lewat jendela. Di sana, ia melihat banyak mobil terparkir. Sri tidak melihat mobil itu tadi.
Giliran Sri yang dipanggil. Dengan ragu, ia keluar, berjalan menuju ruangan tadi, yang sekarang, ada si pemilik jasa, dengan seorang wanita mengenakan pakaian adat, kebaya, lengkap dengan sanggul. Ia duduk anggun, menatap Sri dari ujung kepala, hingga mata kaki. Ia tersenyum, sangat tulus, membuat Sri merasa sungkan sekali, seakan berhadapan dengan orang berderajat tinggi sekali.
Sri bahkan tidak berani melihat matannya. Auranya, begitu membuat Sri merasa kecil sekali. "Ayu ne," (cantik sekali) ucapnya. Nada suarannya sangat halus. Sri diminta duduk, kemudian, si pemilik jasa memperkenalkan siapa wanita anggun itu. Rupannya, pemilik rumah makan yang saat itu terkenal sekali seantero Jawa timur. Sebegitu terkenalnya. kekayaannya, tidak perlu lagi dipertannyakan.
Semua itu, membuat terkejut. Namannya, Kembang Krasa. Meski hanya semacam gelar, Sri tahu arti nama itu, Bunga Krasa, bunga yang wanginya dulu sudah melegenda. Sebelum ditumpas untuk menyingkirkan balak di atas gunung I***, saat bangsa lelembut masih mendiami tanah Jawa. Semua orang di sini tahu cerita itu. Sri hanya menunduk, ia masih segan menatap wanita itu.
"Angkaten sirahmu ndok, ra usah wedi ngunu, mbah ki wes tuwek, ra usah hormat koyok ngunu" (angkat kepalamu nak, tidak usah takut begitu, mbah ini sudah tua, tidak perlu sehormat itu). Sri hanya mengangguk, ia tidak membuang rasa segannya, seperti yang diperintahkan. (*)