Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cinta Nina

SORE menyapa. Angin sepoi meniup lembut. Sore yang seharusnya dilewati bahagia dan tenang, menjadi berantakan. Tidak, aku tidak bercerita  diriku, tetapi tentang sahabatku, Nina, seorang gadis SMU yang baru saja putus cinta. “Aku tidak percaya dia akan meninggalkanku secepat ini,” kata Nina terisak. Aku dan Rika manggut–manggut sambil menunggu kelanjutan kisahnya. “Padahal kupikir dia adalah orang terbaik yang pernah aku temui…”

“Yakinlah cinta selalu mengerti…
Yakinlah cinta tak salah…
Yakinlah cinta kan saling percaya…
Jadi, cintailah seseorang dengan tulus,
Karena cinta mampu mengobati semua rasa sakit yang ada di hati…”


“Wowowo.. Jadi kamu baru menyadarinya kalau si playboy itu bukan yang terbaik,” potong Rika cepat. Nina terdiam sejenak, lalu berkata, “Jujur, aku sangat menyayanginya. Aku memberikan seluruh cintaku padanya. Tapi…” Dia mulai menangis (lagi dan lagi, entah
sudah berapa tisu yang aku keluarkan untuknya). Rika menghela napas panjang sambil mengaduk minumannya.

Dengan berurai air mata, Nina meninggalkan kami berdua. Nina, sosok cewek yang masih polos dan kuanggap sebagai adikku sendiri, kini tersakiti dan terluka. Malamnya, Nina datang ke rumahku. Aku kaget melihat matanya yang bengkak dan penampilannya yang jauh dari kesan feminism. “Bolehkah aku menginap?” tanyanya dengan suara yang parau. Aku mengangguk.

Esoknya, Nina kembali ceria dan tertawa di sekolah. Baguslah kalau dia sudah bisa kembali ceria, pikirku. Tapi, dugaanku salah. Wajahnya terlihat murung ketika cowok itu menghampirinya. “Nin, kamu mau nggak balik lagi denganku? Aku baru menyadari kalau cintaku padamu benar – benar tulus,” kata cowok yang bernama Rio itu.

foto : flickr

“Maaf, tapi aku tidak mau lagi dipermainkan olehmu. Aku sudah cukup puas menikmati permainanmu. Permisi,” sahut Nina sambil meninggalkannya. Dengan cepat Rio memegang tangan Nina. “Please, Nin. Aku butuh kamu. Aku nggak bisa hidup tanpamu…” “Tapi aku bisa hidup tanpamu. Permisi…” potong

Hampir setahun sudah kejadian itu terjadi. Banyak cowok yang menghampiri Nina. Tetapi Nina masih saja menutupi hatinya. Anton, sahabatnya dari kecil, hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika tahu Nina seperti itu. “Jadi, selama aku di Jepang, Nina jadi seperti itu?”
tanya Anton saat kami bertemu di sebuah taman. “Begitulah, Ton. Dia sudah menutup hatinya untuk cowok. Dia sudah terlalu sakit,” kataku yang disetujui oleh Rika.

”Jujur, aku pulang ke Surabaya ini karena aku ingin bertemu dengannya dan berharap dia akan menjadi milikku selamanya, tapi…” “Tunggu! Jadi, selama ini kamu suka dia?” potong Rika cepat. Anton mengangguk pelan. “Dari kecil, Rik. Rasa sayangku padanya benar–benar tulus. Aku sangat cinta dia.”

Sejak saat itu, Anton mulai mendekati Nina. Nina sangat senang begitu Anton menghubunginya. “Anton! Duh, aku kangen banget sama kamu! Bagaimana kabarmu di Jepang?” tanya Nina semangat lewat telepon. “Baik – baik saja kok, Nin. Nina sendiri bagaimana?” tanya Anton yang sejatinya berada di rumahku.

“Nina baik – baik saja, Ton. Hehe… Kapan nih Anton pulang?” “Hmm… Nggak tahu, Nin. Aku masih ada banyak pekerjaan di sini,” kata Anton sambil menahan tawa. Setiap hari, Anton selalu menelepon Nina, menanyakan kabar, memberi perhatian dan saran kepada Nina. Setiap hari pula, Nina terlihat berseri – seri.

“Rika, Cinthya, akhir – akhir ini aku senang sekali,” katanya saat kami berada di sebuah kafé. “Wah wah. Senang kenapa nih? Ada cowok baru ya?” tanya Rika usil. “Mmm… Gitu deh,” kata Nina sambil tersenyum. “Widiihhh… Jahat nih Nina nggak beri tahu kita. Siapa namanya?” tanyaku.

“Hmm… Anton. Tapi belum jadian sih. Hanya saja aku merasa kalau Anton jadi lebih perhatian dari biasanya.” “Anton? Bukannya dia sekarang di Jepang ya?” tanya Rika ragu. “Iya sih. Tapi akhir – akhir ini dia menghubungiku lewat telepon. Dari suaranya, aku
merasa aku seperti bertemu dia secara langsung. Aku begitu nyaman meskipun hanya lewat telepon. Dia perhatian, baik, lucu. Seandainya dia tidak di Jepang…” katanya sambil berandai – berandai.

Aku dan Rika hanya bisa menahan tawa. “Nin, bukannya kamu dulu nggak percaya cinta, ya?” “Iya sih. Tapi jujur, sejak Anton menghubungiku, ada perasaan yang berbeda di hatiku. Rasa sayang yang dia berikan kepadaku berbeda dari semua cowok yang pernah kukenal. Meskipun hanya lewat telepon, tapi aku merasakan kehadirannya.”

Berhasil! batinku dalam hati. Ternyata usaha Anton tidak sia–sia. Nina mulai membuka hatinya untuk Anton. Ketika kuceritakan kejadian itu pada Anton, dia tersenyum. Kulihat Anton berpikir sejenak. “Hmm… Minggu depan aku akan menyatakan perasaanku padanya.” “Serius?!” teriakku tak percaya. “Iya, aku sudah memantapkan diri. Tolong beritahu dia, minggu depan pukul empat sore kita bertemu di taman,” katanya. Aku mengangguk sambil tersenyum.

Pukul 16.05…“Cin, Rik, yakin dia akan datang?” tanya Anton sambil melihat jam. “Aku yakin, Ton. Dia pasti datang kok,” sahutku meyakinkannya. Tak lama kemudian, Nina pun datang. “Cinthya! Maaf ya te…Anton?!” sahut Nina histeris begitu melihat Anton ada di samping Rika.

“Hai, Nina,” kata Anton sambil tersenyum. “Sejak kapan kamu di Surabaya?! Kok nggak bilang – bilang sih?” kata Nina sambil memeluk Anton. “Ton, kayaknya kamu harus membuat pengakuan, deh,” kata Rika sambil mengedipkan matanya. “Pengakuan? Pengakuan apa?” tanya Nina bingung. “Mm… Nin, sebenarnya, aku sudah di sini sejak sebulan yang lalu,” kata Anton sambil memegang tangan Nina.

“Apa?? Jadi, kamu telepon aku tuh kamu ada di sini?” “Iya. Dan tujuanku pulang ke sini karena…” “Karena apa? Kangen sama sahabatmu yang imut ini ya?” tanya Nina usil. “Ngaco! Aku pulang ke sini karena… karena… a… ak… aku ingin kamu menjadi
milikku,” kata Anton.

Kulihat Nina sedikit kaget. Tapi dia mengatakan kata – kata yang membuat kami lebih kaget. “Maaf, Ton. Aku sudah punya pacar.” “Sejak kapan??” tanyaku dan Rika histeris. “Sudah
lama, kok,” sahutnya sambil tersenyum. Anton putus asa, aku dan Rika tertunduk lemas.

“Pokoknya dia sudah menjadi obat yang mampu menutupi semua rasa sakit yang ada di hatiku. Dia juga membuat aku percaya bahwa cinta tak salah dan dia adalah…” Lalu Nina menunjuk Anton. “Jadi, kamu juga…” Anton tak mampu berkata–kata lagi. (Louise Vania)
Auto Europe Car Rental