Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kedelai Oh Kedelai

DARI swasembada akhirnya menuju kepada ketergantungan impor. Itulah nasib komoditi kedelai. Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai tahun 1992. Produksinya 1,8 juta ton setahun. Sejak 1998, dibuka keran impor kedelai seiring sempitnya areal penanaman kedelai. Volume impor terus meningkat. Tahun 1998, mencapai 394.000 ton, lalu melonjak 1,3 juta ton (1999), dan pada 2005 hingga 2006 impor, rata-rata mencapai 1,2 juta ton.

Ketika sudah masuk pada kebijakan impor, memang mau tidak mau, komoditi kedelai, dan sudah pasti harganya, siap menerima kendali mekanisme pasar. Apalagi, Indonesia mengiyakan saja ketika kedelai dikenai bea masuk impor.


Sepanjang tahun 2004, harga kedelai sudah beberapa kali naik, dari Rp 2.500 menjadi Rp 3.900 per kg. Kini, dengan bea masuk 110 persen, harga kedelai impor mendekati Rp 7.000 per kg. Penurunan bea masuk hingga 0 persen, tidak akan menolong para pelaku usaha yang berkaitan dengan kedelai. Daya beli di dalam negeri, normalnya sekitar Rp 4.000 per kg.


Selain menjerit, berdemo, mereka telah meminta pemerintah bertindak. Secara perlahan, usaha mereka siap gulung tikar. Gembar-gembor pertumbuhan ekonomi nasional tercapai, jadi omong kosong. Nyatanya, di lapangan, justru yang segera tercipta adalah usaha bangkrut, dan tambahnya pengangguran.


Orang jadi ragu, benarkah kebijakan pemerintah selama ini terhadap urusan kedelai. Ya, kedelai, bahan baku tahu dan tempe, yang merupakan makanan rakyat sehari-hari. Kenapa nasib kedelai lalu seperti gula dan beras. Konon, katanya negeri ini bisa swasembada gula dan beras, nyatanya ya impor juga.


Apakah ada yang salah dengan kebijakan pertanian kita. Apakah sekarang rakyat lebih suka menukar tanahnya untuk pembangunan properti, gedung komersial, mal dan sebagainya? Kenapa tak ada kebijakan tata ruang yang membatasi pembangunan dengan menggunakan lahan produktif untuk kedelai atau tanaman rakyat lain?



Sekarang ini, pengusaha tahu atau tempe, tidak segan menaikan harga atau mengecilkan cetakan tahu dan tempenya. Dari penjual sayur keliling di sebuah perumahan, kalau dulu satu plastik berisi enam potong tahu seharga Rp 1.500, kini, dengan harga yang sama, isinya hanya empat dan lebih tipis.


Menyikapi berlarut-larutnya terkulainya harga kedelai, pemerintah harus segera mengambil sikap. Apabila itu berhubungan dengan regulasi, tentu sedikit banyak pemerintah wajib melakukan pembaruan agrarian demi menegakkan kedaulatan pangan. Penegakan ini nantinya bukan untuk kedelai saja, tetapi meliputi komoditi yang menjadi kebutuhan pokok rakyat. (*)


Auto Europe Car Rental