Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Paradoks Reformasi Sektor Keamanan: Revisi UU TNI, Ketimpangan Regulasi, dan Krisis Negara Hukum


TULISAN Laksma TNI Ir Fitri Hadi S MAP menggugat suatu ironi yang telah lama dipendam, namun jarang dibicarakan secara terang-terangan: ketimpangan regulatif dan ketidakadilan perlakuan hukum antara TNI dan Polri, yang kini memuncak dalam polemik Revisi UU TNI.

Saat publik begitu sensitif terhadap potensi ekspansi peran TNI, mereka seakan abai—bahkan *diam*—terhadap *realitas dominasi peran aktif kepolisian* di berbagai jabatan sipil dan politik. Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran prosedur. Ini adalah *sinyal krisis* pada pilar konstitusi: negara hukum, keadilan, dan profesionalisme aparatur.

Tulisan ini akan menelusuri lebih dalam: mengapa narasi netralitas TNI selalu menjadi sasaran curiga, sementara pelanggaran terang-terangan oleh institusi lain seolah dibiarkan? Apa dampaknya terhadap stabilitas negara, supremasi hukum, dan kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri?


1. Akar Historis: Dari Dwi Fungsi ABRI ke Asimetri Kekuasaan Post-Reformasi
Reformasi 1998 menghapuskan dwi fungsi ABRI—militer tak lagi masuk ke ranah politik dan pemerintahan sipil. Ini merupakan tonggak penting bagi demokratisasi Indonesia. Namun, pasca-reformasi justru lahir asimetrisasi regulasi: TNI didorong untuk tetap profesional, steril dari politik, dan tidak boleh memegang jabatan sipil tanpa persetujuan presiden, sementara Polri justru memasuki ranah eksekutif dan politik secara progresif, bahkan melanggar undang-undang yang mengatur institusinya sendiri.

Data Empiris:
• Menurut data Setara Institute (2023), sedikitnya 28 posisi jabatan publik (pejabat struktural eselon 1 dan 2, kepala daerah, hingga menteri) diisi oleh anggota Polri aktif antara 2014–2024.
• Di antaranya adalah penunjukan Irjen (aktif) sebagai Penjabat Gubernur, serta jenderal bintang dua sebagai Menteri Kabinet.
• Sebaliknya, TNI selalu diminta mundur dari jabatan sipil, bahkan untuk tugas-tugas yang sebetulnya bersifat teknis.

Ini menimbulkan kontradiksi konstitusional. Di satu sisi, TNI diminta profesional dan netral, di sisi lain, Polri yang secara hukum juga harus netral justru terlibat langsung dalam kekuasaan sipil. Ketika pelanggaran ini dibiarkan, masyarakat mulai bertanya: apakah konstitusi kita masih berlaku sama bagi semua institusi?


2. UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri: Mandul dalam Implementasi
Undang-Undang Kepolisian sebenarnya sangat jelas dan progresif. Pasal 28 ayat (3) menyatakan: Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Namun, realitas menunjukkan adanya pelanggaran sistemik terhadap norma ini. Contoh Pelanggaran Nyata:
• Irjen Pol (aktif) dijadikan Pj Gubernur di beberapa provinsi strategis (seperti Papua dan Aceh).
• Komjen Pol (aktif) diangkat menjadi Menteri tanpa proses pensiun dini.

Pertanyaan krusial: mengapa pelanggaran ini tidak pernah disoal secara hukum dan etik oleh publik, media, maupun lembaga negara? Bukankah pelanggaran terang-terangan terhadap UU oleh penegak hukum sendiri adalah bentuk penghancuran supremasi hukum dari dalam?

3. Revisi UU TNI: Ketakutan yang Dikonstruksi atau Trauma Historis?
Kritik terhadap revisi UU TNI sebagian besar berangkat dari trauma akan militerisme masa lalu. Namun, menggeneralisasi TNI sebagai ancaman demokrasi tanpa melihat konteks politik saat ini adalah pendekatan yang bias dan ahistoris. Kita hidup dalam sistem presidensial dengan mekanisme check and balance yang jauh berbeda dengan masa Orde Baru.


Perlu dicatat bahwa peran TNI dalam penugasan di luar fungsi tempur (seperti keamanan maritim, cyber defense, dan perbantuan pembangunan daerah tertinggal) tidak serta-merta menjadikan TNI sebagai kekuatan politik. Sebaliknya, ia dapat memperkuat fungsi negara dalam wilayah yang justru lemah karena minimnya kapasitas birokrasi sipil.

Pertanyaan Objektif:
• Jika polisi aktif bisa menjabat sebagai kepala daerah, mengapa perwira TNI yang ditugaskan secara resmi harus dicurigai?
• Jika revisi UU TNI hanya bertujuan menguatkan sinergi pertahanan nasional, mengapa dianggap sebagai ancaman?

Kecurigaan publik harus tetap ada, tapi harus juga disandarkan pada argumen konstitusional, bukan fobia historis.

4. Kritik Selektif: Daya Rusak Asimetri Penegakan Hukum
Fenomena ini menunjukkan apa yang disebut oleh ilmuwan politik Juan Linz sebagai “asymmetric accountability”, ketika suatu institusi diawasi dan dibatasi secara ketat, sementara yang lain bergerak leluasa tanpa kontrol.

Dampaknya:
1. Ketidakpercayaan publik terhadap negara hukum. Rakyat melihat bahwa hukum tidak berlaku sama bagi semua. Ini melemahkan kredibilitas aparat penegak hukum.
2. Politisasi institusi keamanan. Jika aparat aktif terlibat dalam jabatan politik, maka netralitas institusi akan rusak, dan akan ada insentif untuk melanggengkan kekuasaan.
3. Degradasi profesionalisme TNI dan Polri. Alih-alih membangun profesionalisme dan kompetensi struktural, institusi justru berlomba mencari jabatan sipil demi akses kekuasaan.


5. Menuju Reformasi Hukum yang Seimbang dan Adil
Momen polemik revisi UU TNI seharusnya dijadikan titik balik untuk *menata ulang tata kelola sektor keamanan nasional secara utuh dan adil.

Langkah Reformasi yang Diperlukan:
• Penegakan hukum terhadap pelanggaran UU Polri. Tidak boleh ada lagi pejabat aktif yang menjabat jabatan sipil tanpa pensiun dini.
• Revisi UU TNI dan POLRI secara simultan agar terjadi harmonisasi peran dan batas-batas yang jelas antara tugas pertahanan dan keamanan.
• Kembalikan supremasi konstitusi. UUD 1945 pasal 30 ayat (3) dan (4) telah mengatur jelas peran masing-masing institusi. Jangan dimanipulasi demi kepentingan politik.
• Perkuat fungsi sipil tanpa melemahkan militer. Demokrasi tidak anti-TNI, tapi juga tidak boleh tunduk pada arogansi lembaga manapun.


6. Penutup: Reformasi Bukan Membungkam, Tapi Menata Keseimbangan

Mengkritisi revisi UU TNI* sah adanya. Tapi melakukannya secara selektif dan *membiarkan pelanggaran terang oleh institusi lain adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai reformasi itu sendiri.

Negara hukum hanya bisa berdiri kokoh jika seluruh aparat, tanpa kecuali, tunduk pada hukum yang mengaturnya. Dan hukum tidak boleh digunakan sebagai alat politik untuk melemahkan yang satu dan menguatkan yang lain.

Karena ketika hukum hanya tajam ke satu sisi, maka sesungguhnya negara ini telah meninggalkan konstitusi dan berjalan menuju disintegrasi yang perlahan tapi pasti.


Referensi:
1. Setara Institute (2023): Tren Politisasi Kepolisian di Era Demokrasi.
2. ICW (2022): Laporan Kepatuhan Aparat Negara terhadap UU.
3. UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI
4. UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
5. Juan J Linz & Alfred Stepan (1996): Problems of Democratic Transition and Consolidation.


Oleh: Mangesti Waluyo Sedjati
Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah | Pengamat Ketahanan Bangsa & Politik Berbasis Konstitusi
Sidoarjo, 27 Maret 2025
Ilustrasi dari admin: sumber twitter

Auto Europe Car Rental