Narsisku dan Narsismu
Bis apa yang cute..?? Bisa gw ;Pada akhir SMS pun dia mengirim smile on. Sepertinya, dia merasa berhasil mengerjai saya. Maklum, saya termasuk katrok untuk soal tebak menebak. Apalagi, tebakan yang beraroma narsis seperti itu. Oh, narsis, narsis, eehh, nasib, nasib.
Orang apa yang keren ??? Orang cuma gw
Anak apa yg maniez? Anak-anak bilang sih, gw;
Mobil apa yang ok?? ? Mobilang gw, juga boleh;
Lagu apa yang paling sexy? Lague banget;
Bus apa yang cakep?? Busyet deh, gw lagi;
Kalong apa yang jelek ??? ? ? ? Kalongga lo, sapa lagi.
Gaya tebakan itu, padahal kami sudah nggak muda lagi, mengingatkan saya pada seorang penulis. Namanya, Mas Prie GS. Setiap hari, dia ini membutuhkan cermin untuk berkaca. Padahal, yang enggak cakep-cakep amat. Apalagi dibandingkan Tom Cruise, atau Ben Affleck. Dia merasa ada naluri narsis pada dirinya.
Tak peduli seberapapun jelek wajahnya, Mas Prie terus berkaca, sekadar untuk kagum pada diri sendiri. Mungkin saja, memang ada sesuatu yang mengagumkan di sana. Ketika kekaguman itu ternyata tidak ada, anehnya Mas Prie tidak kecewa dan tetap saja berkaca.
Dasar aneh tapi nyata. Katanya, lha sulit sih, menghindar dari perasaan narsis. Itulah mengapa Mas Prie selalu berusaha mencari manfaat dan bahaya narsisme. Setidaknya, untuk menekan bahayanya dan memperkembangkan manfaatnya.
Kata narsis sendiri diadaptasi dari mitologi Yunani. Ia merujuk pada seorang dewa bernama Narcissus. Ayahnya adalah dewa sungai Cephissus dan ibunya bidadari bernama Liriope. Ketika kecil, Narcissus diramal akan berumur panjang, jika tidak melihat dirinya sendiri.
Karena tampan, banyak yang jatuh cinta kepada Narcissus. Tak satupun yang dibalas, termasuk Echo. Si peramal mengutuk Narcissus agar jatuh cinta kepada bayangannya sendiri. Kutukan ini terbukti saat Narcissus melihat bayangan dirinya di sebuah kolam.
Tak henti-hentinya, ia mengagumi sosok di kolam itu. Hingga mati, Narcissus terus memandangi bayangan dirinya. Spencer A Rathus dan Jeffrey S Nevid dalam bukunya, Abnormal Psychology, orang narsis memandang dirinya dengan cara yang berlebihan. Mereka senang sekali menyombongkan diri dan berharap orang lain memberikan pujian.
Egosentris banget, kayaknya ya. Tapi memang iya. Secara verbal misalnya berkata,”Kalau soal yang satu ini, dia harus belajar dari saya.’’ Atau,”’Sayalah orang pertama yang
melakukan itu.’’ Atau, ‘’Kalau bukan saya, tak akan hasilnya sebagus ini.’’
Kata teman saya yang psikolog, sebenarnya tiap orang punya kecenderungan narsis. Hanya kadarnya yang beda. Biasanya, orang yang punya kecenderungan narsis itu punya tanda-tanda. Sebutlah, orang narsis merasa dirinya sangat penting dan ingin sekali dikenal oleh orang lain karena kelebihannya.
Pengidap narsis juga yakin kalau dirinya unik dan istimewa. Pokoknya, nggak ada yang bisa menyamai dirinya. Gejala lain, mereka selalu ingin dipuji dan diperhatikan, kurang sensitif terhadap kebutuhan orang lain karena yang ada dalam pikirannya cuma diri sendiri. Orang narsis juga sensitif sekali kalau dikritik.
Kritikan kecil bisa berarti sangat besar buat mereka. Dan, seperti Narcissus dalam mitologi Yunani, orang narsis paling suka bercermin. Wah, berarti memang Mas Prie teman saya itu, narsis betul ya.
Tapi, saya masih ragu juga, Mas Prie itu narsis atau percaya diri. Atau, masuk kategori lain. Konon, kalau percaya diri itu berarti, setiap datang pujian, maka diterima sebagai penghargaan saja. Bukan bikin melayang-layang.
Sebab, rasa percaya diri yang sehat terlihat dari keterbukaan terhadap kritik. Kecewa sih ada, namun sebentar. Meski tak diperlakukan, orang yang percaya diri tetap enjoy aja, tidak kecewa seperti pengidap narsis. Percaya diri juga berarti tetap merasa sensitif terhadap orang lain.
Belajar dari Mas Prie teman saya, dan juga Narcissus, kalaupun sekarang saya mencintai diri saya, ya itu berarti harus dengan segala kekurangannya. Pekerjaan besarnya, bagaimana kemudian mengikis kekurangan ini, dan mengubahnya menjadi sebuah keberhasilan.
Re...Re... Re...Reynaldi alias Tukul Arwana, wong ndeso yang katrok itu berhasil mengatasi ‘kekurangannya’ dan sekarang segala ‘kelebihan’ berada di tangannya. Kamu tahu Bill Gates? Sekolahnya saja nggak selesai. Nggak punya gelar sarjana. Kekurangan ini tertutupi saat ini. Gates menjadi orang nomor satu di dunia teknologi.
Nggak usah malu sekarang. Cintailah diri kamu sendiri dengan segala kekurangannya. Dan untuk itu, sedikit bersikap narsis, adalah baik buat kamu. Yang penting, tetaplah mendengarkan kritik dari orang lain. Bercerminlah ke orang lain.
Kalau punya sahabat, dan kita yakin sahabat itu akan kasih pendapat yang sangat netral dan tidak bias, kita bisa nanya, sebenarnya aku gimana, kekuranganku apa, kelebihanku apa. Dari sini kita bisa tahu kualitas apa yang ada di diri kita.
Sadari juga kalau tidak ada manusia yang tidak punya kekurangan. Oke. (Hari, Pembina Ekstra Jurnalistik SMP Katolik Santa Clara Surabaya)