Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Gibran Vs Nadiem Vs Kaesang


ADA banyak orang bilang begini: banyak orang nyinyir, protes pencawapresan Gibran. Kaum penyinyir itu, kata mereka, menolak kepemimpinan orang muda.

Padahal itu, kata mereka, menunjukkan visi hebat Presiden Jokowi tentang masa depan, dengan sedari dini menyiapkan orang muda untuk memimpin. Mereka itu salah satunya Nusron Wahid.

Sangat betul itu visi top Pak Jokowi. Mari lihat catatan bro & sis. Lihat deh.

Presiden Jokowi memilih Staf Khusus 7 orang muda, brilian, berprestasi jempolan, umur antara 26 tahun sampai 36 tahun.

Trus, Angela Tanoesoedibjo dikasih kursi Wakil Menparekraf umur 32, Raja Juli Anthony dapat kursi Wamen ATR umur 46, Dito Ario Tejo dikasih kursi Menpora umur 33 tahun. Nadiem Makarim ditunjuk jadi Mendikbud umur 35.

Atas pilihan Pak Jokowi tersebut, tidak ada yang protes tuh. Gak ada yang nyinyirin.

Jelas ya, gamblang, langkah Pak Jokowi memberi kesempatan kaum muda berkiprah di level nasional, malah dapat salut, plus angkat dua jempol dari rakyat.

Jadi, kaum nyinyir bukan menolak Gibran yg muda, tapi menentang CARA atau PROSES dia mencalonkan diri.

Cara atau proses itu adalah aturan yang digunakan Gibran untuk menjadi cawapres dibuat dengan cara yang melanggar etik.

Pelanggarannya di sini. Aturan dalam UU Pemilu yang mensyaratkan capres-cawapres minimal umur 40 tahun, diubah oleh pamannya Gibran, Om Anwar Usman, yang ketua MK, atas perintah orang suruhan kakak iparnya, yang ayah Gibran.

Gibran (36) yang belum cukup umur sesuai syarat minimal 40, akhirnya dibolehkan jadi cawapres oleh KPU berdasarkan aturan tambahan hasil polesan sang paman yakni "punya pengalaman sebagai kepala daerah".

Proses kerja sama ayah dan adik demi kepentingan sang anak atau keponakan itu mempertontonkan abuse of power dari eksekutif terhadap yudikatif (MK), yang jelas-jelas dilarang dalam konstitusi.

Protes "kaum nyinyir" terhadap pelanggaran itu dikukuhkan oleh putusan Majelis Kehormatan MK dengan mencopot sang paman sebagai ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran etik kategori kelas berat.

Jadi jelas ya, yang ditolak "kaum nyinyir" yang dikonfirmasi oleh MKMK adalah proses/cara yang digunakan Gibran untuk jadi cawapres.

Tapi, soal putusan yang sudah diketok sang paman untuk kenikmatan keponakan tak bisa dicabut. Itu sudah aturan konstitusi.

Trus gimana dong status pencawapresan Gibran? Ya, jalan terus, cuman problematik karena dia jadi cawapres menggunakan aturan yang dibuat secara melanggar etik.

Sedangkan Gibran sendiri santai-santai saja, gak peduli soal etik itu. Pamannya dihukum berat, ya EGP.

Putusan hasil polesan sang paman tentu punya implikasi politik tersendiri nanti.

Masih soal nyinyirin terhadap kepemimpinan kaum muda, nih. Coba bandingkan reaksi publik terhadap jalan politik Gibran dibandingkan dengan Kaesang Pangarep, adik Gibran.

Gak ada tuh yang meributkan soal Kaesang muda belia sudah menjadi Ketum parpol.

Bahkan ada orang menuding Kaesang disuruh oleh bapaknya untuk main-main di PSI, ya ga bikin protes meriah tuh.

Ya, ngapain juga diributkan? Kaesang mendadak Ketum PSI tidak melanggar konstitusi. Tidak ada hukum negara yang dilanggar, dipelintir atau dibelokkan.

Kaesang bermain dalam aturan main swasta, yang oke-oke saja buat kader dua hari langsung jadi bos puncak. Suka-suka PSI, gitu looh.

Malahan prestasi ajaib Kaesang itu mendapat sambutan riuh dari khalayak karena bisa dinikmati sebagai selingan renyah di tengah situasi yang bikin jidat berkerut.

Ya, selingan lucu-lucuan, cocok memang. (Wisnu Bharata)