Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tawa dan Sandiwara Jokowi


SAMPAI hari ini masih banyak yang meyakini presiden Jokowi tidak akan terjebak dalam dahaga kekuasaan. Aku pun sebenarnya berada di pihak yang sama. Namun melihat baliho Gibran dimana-mana, ditambah kaosnya sudah menyebar di banyak tempat, bikin keyakinanku perlahan-lahan surut. Belum lagi respon Jokowi yang hanya tertawa saat ditanya wartawan soal politik dinasti.

Sudah banyak pakar hukum menyoroti dengan nada keras bahwa mengubah batas usia capres cawapres bukan wewenang Mahkamah Konstitusi. Namun keengganan MK untuk menolak gugatan itu, membuat publik meragukan independensinya. Bahkan sulit dibantah bahwa lembaga ini diam-diam justru dijadikan operasi politik untuk melanggengkan kekuasaan tertentu.

Respon keras pun mulai diserukan oleh banyak elemen masyarakat. Dari mulai kalangan akademisi, budayawan dan pemikir, hingga pegiat sosial media. Semua mengkritisi, bahkan beberapa melawan dengan tegas sandiwara Jokowi tersebut.

Sandiwara politik kekuasaan ini memang membuat para pendukung Jokowi sangat kecewa. Namun tentu saja ini bukan soal bagaimana Jokowi mengkhianati orang-orang yang dulu membelanya, melainkan tentang mengabaikan nilai-nilai dan etika demokrasi. Artinya, hati nurani dan akal sehat lah yang menginginkan agar itu semua tidak terjadi.

Semua bermula dari sikap Jokowi yang berpijak dua kaki. Drama lalu berlanjut saat Gibran diminta jadi calon wakil presiden, Jokowi bilang menolak karena anaknya itu belum punya pengalaman. Namun kemudian Kaesang tiba-tiba menjadi ketua PSI, partai selain Gerindra yang juga menggugat batas usia capres dan cawapres. Bahkan Kaesang terang-terangan akan mendukung Gibran jadi cawapres.

Syarat agar Gibran bisa maju cuma satu: dengan mengubah aturan. Dan itu sebenarnya adalah wewenang DPR, bukan MK. Tentu saja DPR enggan membahas urusan itu karena sangat tidak patut dibahas saat menjelang pemilu. Jelas sangat politis dan tabu. Namun MK yang ketuanya tak lain adik ipar Jokowi, Pamannya Gibran makanya  aturanpun dirubah melalui Palu adik ipar Jokowi di MK. Sangat terkesan sesuai pesanan penguasa bukan?

Melihat MK seperti dipermainkan demi melanggengkan kekuasaan inilah masyarakat pun menolak. Sekalipun aksi-aksi perlawanan tersebut tak menjamin akan didengarkan, apalagi sampai menggerakkan hati Jokowi, namun ini adalah cara masyarakat merespons kesewenang-wenangan yang tampak di pelupuk mata.

Bayangkan saja, sudah banyak kasus soal buruknya penegakan hukum di negeri ini. Sudah terlalu sering kita mendengar ketidakadilan hukum. Namun pemerintah yang mestinya menjaga marwah demokrasi, menjunjung setinggi-tingginya keadilan, justru memperalat hukum sendiri untuk kepentingannya.

Kekuasaan memang seperti candu, sangat melenakan. Bahkan bisa membuat seseorang lupa diri. Aku sebetulnya tak ingin mempercayai anggapan klasik itu bakal mendera sosok yang kelihatannya sangat santun dan tampak bersahaja. Namun melihat situasi saat ini, membuat aku merasa geli. Bahkan geli saja mungkin belum cukup untuk mewakili.

Sumber: GP24P @KakekHalal