Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Jokowi Sewidak ning Tetep Kepidak-pidak

JOKOWI memang bukan orang termuda yang jadi Presiden RI. Ia baru jadi presiden, saat usianya menginjak 53 tahun. Sukarno jauh lebih muda saat dilantik jadi presiden pertama, yakni pada usia 44 tahun.

Sembilan tahun lebih muda. Dengan kematangan politik yang jauh lebih kokoh, karena ia ditempa pergulatan sejak lebih dari seperempat abad sebelumnya. Tapi apakah ia piawai di bidang ekonomi?

Sukarno adalah presiden RI dengan kesadaran ekonomi yang paling buruk. Ia besar di masa abnormal tapi dengan semangat revolusi yang menggebu. Ketika justru saluran2 ekonomi lama dibunuh secara masif. 

Sementara bentuk ekonomi baru sebagai penggantinya tak kunjung siap digunakan. Karena, ekonomi bukanlah panglima dan justru dianggap sebagai sesuatu yang wajar untuk dikorbankan.

Di masa Orde Lama: ekonomi adalah anak haram, ia diidamkan tapi tak terlalu diakui. Sebaliknya politik  adalah anak emas, ia simbol segala perjuangan dan perlawanan.

Ia gagah di panggung, tapi cepat lemas kalau sudah naik ranjang.  Masa itu adalah "sukarno sekali", suka kawin dan pecinta wanita. Tapi tak pernah ada cerita bagaimana kisahnya di ranjang. Juga segarang itukah ia? Tak pernah ada penelitian tentang itu....

Saya hanya curiga salah satu puisinya Rendra, tak elok menyebut judulnya. Tapi bercerita tentang seorang pemimpin yang selalu garang bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi. Tapi  mudah terkapai, ototnya keburu tak berdaya.

Puisi ini saya pikir dibuat untuk mengejek pemimpin besar revolusi ini. Apalagi jika ukurannya adalah banyak wanita yang dikawininya, yang juga kemudian minta cerai. Saya pikir cukup jelas jawabannya....

Karena itu Sukarno dan Jokowi adalah dua paradoks. Keduanya adalah saling anti-tesis. Jokowi adalah "Sukarno Lain" di  era yang berbeda. Jokowi penuh cita-cita di bidang ekonomi, tapi sangat minim gairah di bidang reformasi politik.

Ia pernah menjanjikan Revolusi Mental, tapi kemudian melupakannya.  Ia akhirnya memilih sebagaimana Sukarno, membangun ini itu jika tak mau kehilangan waktu.

Jika Sukarno hanya berhenti bangun gedung terbatas di Jakarta. Jokowi melakukannya nyaris semua jenis infrastruktur yang bisa dibangun di seluruh penjuru Indonesia.

Dalam banyak hal, Jokowi sangat "sukarnois". Ia membangun sesuatu yang kadang tak terlalu mendesak. Keduanya memiliki argumentasi yang sama: bangun kebanggaan dan harga dirinya dulu. Kegunaannya riilnya akan menyusul kemudian. Keduanya terobsesi "mengejar ketinggalan".

Walau sadar realitas bahwa yang abadi di Indonesia itu justru hanya ketertinggalannya. Kemajuan adalah barang mewah yang sukar dicapai. Justru karena ketiadaan dalam kebersamaan.

Dulu karena rivalitas politik, hari ini sebaliknya justru karena kompetisi ekonomi yang saling membunuh secara keji. Ironi yang tak termaafkan sebenarnya.

Di ujung masa mereka berkuasa, baik Sukarno maupun Jokowi memiliki glorifikasi yang sama. Ia seolah tak tergantikan. Sukarno kehilangan "figur pesaing". Karena nyaris semua pesaingnya telah dibungkamnya.

Atau minimal dikurungi, dibonsai, atau bahkan dilenyapkan. Dalam beberapa konteks Jokowi pun melakukannya, walau dengan cara dan jalan yang berbeda.

Jokowi membiarkan para musuh politik selalu merasa di atas angin, rumangsa keminter tur bener. Menganggap diri lebih pandai dan benar. Kaum berisik yang hanya pandai berkata-kata, tapi omong kosong dalam kehidupan nyata.  

Sesuatu yang sangat haram dalam show-biz politik Indonesia, yang justru selalu lebih butuh figur rendah hati, tidak banyak omong dan teraniaya.

Jadi saat Jokowi menginjak usia 60, umur sewidak. Umur yang dalam siklus budaya Jawa yang terlalu pesimistik itu. Dianggap "sejatine wis wayahe tindak".

Sudah seharusnya ingat istirahat, berhenti. Justru ia ditarik2 untuk sekali lagi menjabat. Walau tampak ia belajar dari Suharto maupun Sukarno, ia menolak dengan berbagai argumentasi logisnya.

Sejatinya, ia pun sadar jadi apa Indonesia tanpa dirinya, setelah ia tak lagi di sana? Saya curiga ia akan menggunakan ilmu paling melankolik dalam budayanya: tega larane, ora tega patine. Tegakah ia melihat apa yang sudah dibangunnya hancur berantakan?

Di sinilah makna lain dari usianya itu: sweetdak. Ia memang manis, sweet! Ia adalah satu2nya presiden yang mengakomodasi seluruh kepentingan tanpa kecuali. Ia rajin memberi siapa pun, walau juga membatasi.

Sayangnya tak ada banyak perubahan dalam cara berpikir politik kita. Korupsi jalan terus, oligarki tak ada tanda2 sembuh. Kaum agama tak tahu diri juga semakin merajalela, dan makin ringan mulutnya.

Namun toh rakyat juga tetap diopeni, yang sakit juga disembuhkan. Yang lapar juga dikirimi beras dan uang lauk pauk sederhana. Demikianlah Pancasila dijalankan di hari ini. Tertatih tapi tetap ada dan bisa bertahan.
Jokowi sewitdak? Sweet ning dipidak-pidak....

Sebagaimana dulu juga Sukarno, saya melihatnya semakin Jokowi kuat, tapi nafsu menginjak-injak-nya juga makin menjadi. Ia dipaksa meneruskan ke-Presiden-anya karena sebagian rakyat memang putus asa.

Tak melihat ada secercah harapan yang ada di hari depan. Itulah ironi negeri demokrasi dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Besar hanya karena buihnya, bukan karena akar tunjang dan batang galihnya.

Bagi saya jahat terlalu berharap pada Jokowi. Tapi lebih jahat lagi menafikannya, terlalu cepat membuangnya di masa datang. Berani ambil resiko? Karena kita ini pedagang bermodal dengkul, harusnya tidak....

Jokowi sewidak, sewitdak, sing tak elingi kok sampean sansaya kepidak-pidak. Mungkin karena ia gagal melakukan revolusi mental, hingga rakyatnya cuma tersisa sebagai pidak pedarakan?

NB:  Satu yang hal yang paling jelas di era Jokowi ini adalah runtuhnya mitos2 lama tentang sifat agung rakyat Indonesia. Mereka yang dianggap penuh kesantunan, kerendahan hati, nrima, eling, waspada.

Sederhana, suka berhemat, tepa slira, tenggang rasa. Semua lenyap di masa pandemi di era kaum milenial ini.

Semua tak lebih kaum pidak pedarakan: manusia serba bingung, canggung, dan tanggung. Ia tak lagi memiliki etika, keluhuran, dan optimisme masa depan yang jauh lebih luhur. Rakyat yang makin sulit diatur, terutama karena para pemimpinnya makin melantur dan berwatak pelacur.

Sumber: Andi Setiono Mangoenprasodjo, 21 Juni 2021

Auto Europe Car Rental