Melihat Taliban dari Perspektif Perilaku Manusia
SEBENARNYA saya malas menulis tentang Afghanistan. Prihatin tiap kali mendengar dan melihat tayangannya di media. Tapi baiklah, saya bicara secentil upil saja, tentu dari sisi yang saya pahami: sisi perilaku manusia.
Di negara yang pemerintahannya udah stabil pun, peluang realisasi kebijakan pusat dan daerah nggak selalu bisa sama persis. Lha ini Afghanistan cetho welo-wela (sangat jelas) masih kacau. Bisa nggak ya bisa 5 janji para pucuk pimpinan itu diamini & dijalankan 100% di tingkat akar rumput?
Manusia itu misteri lho. Ada ribuan variabel yang mesti dilihat untuk bisa memprediksi apa yang sedang dan akan terjadi pada level rakyat Afghanistan. Kultur patriarki, prejudice, sejarah traumatik, dan lainnya. Belum lagi individual differences yg membedakan karakter tiap manusia, beraduk jadi satu.
Dalam kondisi penuh ketegangan, percikan sedikit saja sudah bisa membuat homo sapiens terpicu emosi dan melakukan apapun untuk mempertahankan ego. Akan mudah muncul perilaku agresif. Penyerangan, pembunuhan. Tiap orang jadi lebih dikendalikan oleh situasi sesaat. Nafsu primitif menari-nari.
Perilaku sadis ini makin dikuatkan oleh mental kelompok. Seseorang mungkin secara individu adalah "baik", tapi begitu dia menjadi bagian dari kelompok (terlebih di posisi yang punya power), wah... udah deh. Bisa brutal dan barbar karena atribut pribadinya hilang, berganti dengan jiwa kelompok.
Bu @ivarivai1992 mengingatkan saya. Taraf pendidikan mereka rendah, plus kebiasaan bertahun-tahun bergerilya dan hidup sarat dengan kekerasan. Perlu proses panjang keluar dari lingkaran yang sudah mendarah daging itu. Butuh effort sangat luar biasa menerapkan declaration of human rights.
Saya membayangkan, misal pas ada gesekan. Mas-mas Taliban mulai main pukul para korban, apa ya mungkin tetiba ada satu di antara mereka yang spontan men-stop dan bilang ke teman-temannya,"Sik sik, poro sedherek. Menurut dikleresyen op yumen rait, awake dewe iki gak oleh ngepruki koyok ngene".
Atau saat segerombolan paklik Taliban sudah menodongkan ujung senapan ke sekelompok calon korban, apa ya bakal kejadian di antara mereka tetiba bilang,
"Ooi poro konco, ojok lali, para bos besar sudah dhawuh, nggak ngolehno awake dewe mbedili ngene iki!"
Opo yo kelakon? Belum lagi ditambah realita bahwa kelompok kecil pasti lebih solid. Pimpinan kelompok kecil punya otonomi dan lebih mampu menjangkau isi pikiran anak buahnya dibanding pimpinan tertinggi yang jauh dan belum tentu mereka kenal betul. Kuasa bos kecil memutuskan ya atau tidak, jelas lebih kental.
Jadi, misalkan nih, di tengah konflik, pimpinan kelmpok kecil bilang ke anak buahnya begini,"Rapopo le, ojok wedi, sikaten ae langsung." Apa ya anak buah lalu bilang jangan. Palagi perintah atasan langsungnya itu sejalan dgn ego & emosi yg sdg meluap-luap. Ndak mungkin to, dul..
Meski pada level pimpinan tertinggi sudah berjanji bla-bla-bla di depan media, apa iya sih sampai di lini terbawah gak bakal ada balas dendam dan penghilangan nyawa karena beragam faktor tadi. Saya koq skeptis ya.
Semoga kita semua mau belajar. Manusia itu misteri. Tenan aku ra ngapusi?
Sumber: Lita Widyo (@WidyoLita), 20 Agustus 2021.