Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Skenario Jahat lewat Narasi 'Tuduhan Kecurangan Pilpres 2019'


SUDAH terlalu banyak hoax (hoaks) dibuat untuk mem-framing bahwa Pilpres 2019 ini, tidak akan berjalan secara jurdil. Mulai dari hoax tujuh kontainer surat suara palsu, hoax tentang temuan kotak suara yang sudah dicoblos di kantor KPU, hingga yang terbaru hoax tentang aplikasi buzzer-buzzer polisi.

Mulai dari KPU, Bawaslu hingga Polri dituduh tidak netral dan jadi timses pasangan 01. Framing wasit tidak netral ini dilakukan secara terstruktur, masif dan sistematis oleh kubu 02. Yang menyedihkan adalah bukti2 tuduhan yang mereka gunakan, ternyata semuanya adalah HOAX.

Pertanyaannya adalah, buat apa mereka mereka mati-matian bikin hoax untuk membangun opini adanya kecurangan dalam Pilpres ini? Mengapa kubu 02 tidak fokus saja memenangkan Bowok? Apa untungnya bagi kubu 02 jika publik berhasil dibuat percaya bahwa Pilpres 2019 ini curang?

Yang terakhir itu, pertanyaan kunci sekaligus menjawab motif mereka. Mengapa begitu ngotot mem-framing adanya kecurangan sampai-sampai merekayasa bukti-bukti hoax segala? Jika menengok kembali pengalaman Pilpres 2014, tentu kita semua masih ingat betul momen sujud syukur fenomenal ini.

Tapi kan ketika itu mereka sudah gagal total di MK (Mahkamah Konstitusi), masa mau diulang lagi? Buat apa? Ternyata bukannya mereka tidak kapok, tetapi memang ada perkembangan baru yg memungkinkan strategi lama itu dapat berjalan lebih efektif pada Pilpres 2019 dibanding Pilpres 2014 lalu.

Selama 2014 hingga 2019 ini banyak perkembangan dan perubahan politik terjadi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri, pemerintahan Jokowi mengambil alih Blok Rokan, Blok Mahakam, dan mengakuisisi saham mayoritas Freeport.


Di luar negeri, Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika dan adanya kasus dukungan Amerika pada Guaido di Venezuela belakangan ini. Nah, yang sedang dilakukan oleh kubu 02 saat ini, adalah menjalankan strategi jadul konsultan politik Rob Allyn dengan sikon yg berbeda dari Pilpres 2014:
1. Muddy the statistical waters
2. Steal the results


Tahapan saat ini "Muddy the statistical waters". Caranya adalah seperti yang sedang kita lihat sekarang ini, mulai dari mempersoalkan kotak suara kardus (yang sebelumnya mereka setujui), framing tentang ketidak netralan KPU hingga Polisi. Selain itu, tentu saja hasil survei abal-abal agar memberi kesan posisi mereka leading atau setidaknya sedang menanjak trendnya.

Lembaga survei abal-abal Puskaptis yang dulu memenangkan Prabowo sekarang masih tetap dipakai, cuma berubah nama jadi Indomatrik. Tujuan dari "Muddy the statistical waters" ini, adalah menciptakan kerancuan pada data-data statistik dan ketidakpercayaan kepada penyelenggara pemilu sebagai pintu masuk bagi langkah selanjutnya, yaitu "Steal the results".

Praktik ini sudah mereka lakukan di 2014 tapi digagalkan oleh MK. Bagaimana dengan Pilpres 2019? Kondisinya agak berbeda, baik akibat perkembangan di dalam negeri maupun luar negeri seperti yg kami sampaikan sebelumnya. Tidak heran kubu 02 mengulang strategi 2014 bahkan dengan cara-cara yg lebih terstruktur, masif dan sistematis.

Goalnya jelas, yaitu terjadinya dispute atas hasil pemungutan suara, jika kubu Bowok kalah. Tentu saja jika menang mereka akan anggap Pemilu berjalan dengan sangat jurdil. Dan apa yang bakal terjadi jika Bowok kalah? Sudah bisa ditebak, tentu akan sujud syukur lagi. Namun kali ini proses di MK tidak cukup dengan menghadirkan dukun seperti tahun 2014 lalu, tetapi bisa jadi dikawal oleh demo besar-besaran bernomor seri.

Jika kondisi sudah 'dimatangkan' sedemikian rupa maka keterlibatan asing diharapkan jadi juri penentu seperti yang terjadi di Venezuela saat ini. Apakah kami sedang mengarang bebas? Tentu tidak. Prediksi Amerika tidak "happy" dengan proses akuisi mayoritas saham Freeport itu justru berasal dari kubu 02 sendiri.


Dan bagi Amerika di bawah Donald Trump saat ini, Bowok jauh lebih bisa 'menghormati' AS dibanding Jokowi. Perlu diingat juga sejarah masuknya Freeport ke Papua adalah berkat jasa Soeharto dan Soemitro Djojohadikusumo. Itulah sebabnya Hashim Djojohadikusumo baru2 ini secara khusus datang ke AS untuk memaparkan visi-misi 02. Memaparkan bahwa Bowok adalah sahabat AS.

Keyakinan bahwa jika terjadi dispute maka proses di MK bisa dikawal dengan demo besar-besaran dan adanya dukungan AS inilah yang membuat kubu mereka tak henti-hentinya melakukan delegitimasi terhadap para wasit pemilu. Mereka sudah lakukan itu di tahun 2014 dan mustahil mereka tak akan mengulanginya lagi. Kali ini dengan situasi dan kondisi yang jauh berbeda.

Oya, apakah jika Jokowi 'dikalahkan' nanti saham Freeport yang sudah telanjur dikuasai pihak Indonesia itu bisa kembali dikuasai Freeport? Jawabannya, BISA. Dan ada pengalaman tentang hal ini. Dulu Freeport sudah melakukan divestasi saham. Ketika itu 10% saham Freeport dilepas kepada pihak Indonesia dan dikuasai oleh kelompok Bakrie.

Yang terjadi kemudian, Freeport membeli kembali semua saham yang dilepasnya itu dengan harga premium. Jadi kepentingan AS jelas disini, dan kepentingan AS itu hanya bisa 'dihormati' oleh Bowok, yang kebetulan mertua dan ayahnya sangat berjasa memberi karpet merah atas kehadiran Freeport di Indonesia. Sedangkan Jokowi terlalu nasionalis bagi kepentingan AS.

Kesimpulannya : Framing tuduhan wasit tak adil ini adalah prolog dari pemaksaan kehendak saat Bowok kalah lagi dalam Pilpres. Jika tidak lalu untuk apa? Sekian kultwit kami. Semoga mencerahkan dan membuat kita waspada! Terima kasih.

Sumber : #99(@PartaiSocmed), 5 Maret 2019.
Auto Europe Car Rental