Jakartaku: Potret Keseharian dan Impian
Marah rasanya melihat aku susah payah kerja mengambil sampah, sedangkan mereka, orang kota lebih memilih buang sampah sembarangan. Ingin kutegur, tapi apa daya, aku hanya seorang pemulung kecil yang dekil. Bila aku bersuara, caci maki-lah yang kudapat. Tidak tahukah mereka apa akibat ulah mereka?
Jakartaku penuh air. Air dimana-mana. Masuk ke dalam rumah, menimbulkan banyak penyakit, menewaskan beberapa nyawa. Di atas genangan air itu, atau yang biasa aku sebut banjir, ada plastik, besi, kertas, kain, dan sampah-sampah mereka yang dibuang sembarangan.
Peluh yang selama ini aku teteskan demi membersihkan sampah-sampah terutama sampah plastik, tak begitu berguna. Pembuang sampah sembarangan itu, orang-orang egois dan tidak peduli lingkungan itu, lebih banyak dari golongan pemulung sepertiku.
Ingin kucaci-maki mereka ketika sedang emosi, tapi aku pernah diajarkan di rumah singgah bahwa mencaci-maki orang lain itu tidak boleh, karena itu sama dengan
menghujat.
Sudah 5 hari air ini tak kunjung habis. Sudah 5 hari juga aku tidak tidur, karena tidak ada tempat. Emperan toko yang biasa kutempati bersama pemulung lain terkena dampak banjir. Jalanan Jakarta banyak mengalami kerusakan. Rumah-rumah terendam, motor hanyut, bila
sudah seperti ini, siapa yang disalahkan rakyat? Pemerintah.
Aku sempat kasihan dengan Pak Jokowi. Beliau dianggap gagal dalam mengemban
tugas sebagai walikota, karena menurut rakyat, banjir masih belum teratasi. Padahal menurut koran yang pernah kubaca di lapak koran Pak Murtun, daerah yang terkena banjir jelas sangat berkurang. Sungguh picik pemikiran orang-orang kota itu.
![]() |
foto : flickr |
Tidak tahukan wahai kalian para manusia egois, bahwa ini semua akibat ulah kalian? Kalian tidak peduli dengan lingkungan ini, kalian tidak peduli dengan Jakarta, sungai-sungai tertutup sampah. Apakah itu sungai atau kolam sampah?
Bila sudah banjir, yang dapat mereka lakukan hanya mencari kambing hitam dan meminta bantuan dari daerah lain. Mengemis-ngemis sembako seolah-olah mereka korban ketidakbecusan pemerintah. Mungkin mereka pikir enak terkena banjir, segalanya diberikan gratis dengan ‘judul’ bantuan.
Aku lelah melihat kelakuan mereka. Tidak bisakah mereka bercermin diri? Gunungan sampah telah mereka ciptakan, bagaimana tidak banjir bila musim penghujan? Tapi Tuhan memang adil. Mereka yang berulah, mereka juga yang terkena dampratnya.
Sakit kulit, kelaparan, kebutuhan belum cukup dari bantuan yang diberikan. Ya, itu
akibatnya. Ingin kutanya, masih tertarikkah membuang sampah sembarangan? Masih tertarikkah tinggal di pinggir sungai sehingga makin mempersempit lebar sungai?
Namun itu 20 tahun yang lalu. Kini 2034, aku Rusman Adisutowo, wali kota Jakarta periode 2033/2038. Aku sukses menjadi salah satu wali kota termuda yang memimpin Jakarta. Sekarang Jakarta bebas banjir. Para pembuang sampah sembarangan itu telah kubasmi, tidak ada satu pun masyarakat Jakarta berani membuang sampah sembarangan.
Telah kutegakkan peraturan bagi yang membuang sampah sembarangan, akan dikenakan denda Rp 500.000,00. Tong sampah kuletakkan di mana-mana, supaya tidak ada alasan bagi mereka bahwa tidak ada tempat untuk membuang sampah.
Polisi kuharuskan untuk tegas dan jeli. Rumah-rumah di pinggiran sungai telah kubersihkan, kuganti dengan taman kota yang indah untuk menambah daerah resapan air. Oh indahnya Jakarta sekarang. (jessica claudia)