Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Jangan Usik Jogjaku

SEDANG berusaha membuat kedua putraku yang berusia 6 dan 5 tahun untuk terlelap tidur. Hal yang masih mengusik kepalaku adalah Kraton dan Kanjeng Sultan HBX. Kedua orangtua saya memang bukan orang Jogja. Tapi saya merasa lebih Jogja dari orang asli Jogja, sebab aku dilahirkan di RS PKU Jogja. Ayah membuka usaha pabrik batik ‘Anwar” tahun 60-an di Jalan Rotowijayan Jero Beteng sangat dekat dengan pasar Ngasem dan hanya beberapa langkah menuju Kraton.

Bahkan pernah Mamaku berkisah sering melihat Raden Herjuno Darpito (nama kecil Kanjeng Sultan HB X) bermain bersama anak lain di luar Kraton. Walau kami bukan dari keluarga darah biru atau yang diberi gelar, tapi aku masih ingat Mbok pembantu yang bekerja menolong Mama saat kami masih kecil; jika dia lewat di depan kami dia pasti ndodok jongkok mlampah jalan di depan kami.

Walau sudah dilarang Mama dan Ayah, si Mbok tetap dengan caranya ’sangat santun’ tapi bukan feodal. Konotasi feodal lebih menunjukkan memaksakan kehendak dengan penindasan. Bukan hanya soal sopan santun, walau jenjang strata sosial di Jogja hampir mirip sistem kasta di India. Tapi justru di Jogja tidak tampak perbedaan jenjang status sosial itu. Hal ini karena Sultan HB sangat dekat dengan penduduk Jogja.

Raja yang sangat demokratis, penyayang, peduli dan tidak feodal. Buktinya di Jakarta becak sudah lenyap sejak puluhan tahun lampau. Di Jogja abang tukang becak masih kita temukan di mana-mana. Saat Sekaten; siapa saja bisa berjualan di Alun-alun Lor tanpa harus bingung harus bayar pajak. Alun-alun Lor membebaskan semua pedagang kecil berjualan di sekitarnya. Pemandangan yang sangat langka bagi sebuah Kraton ada penjual Bakmi, penjual galundeng, tahu pong, ronde, dll. Hal yang menunjukkan cinta kasih seorang Sultan kepada rakyatnya.

Bukti lagi, adalah Pak Pele (sebutan untuk penjual Mie yang kepalanya mirip Pele pemain sepak bola asal Brazil) yang sudah puluhan tahun berjualan bakmi di pojok kanan Kraton di Alun-alun Lor. Dua tahun lalu, aku kembali ke Jogja untuk launching buku Hidangan Favorit Ala Mediterania; sempat aku ingin menemui Pak Pele. Sayang hanya putra-putrinya saja yang berjualan. Katanya Pak Pele sudah sakit-sakitan.

Memang tidak membuat aku kaget jika Mbok penjual gudeg di Wijilan juga ’sedho’ yang kabarnya aku baca dari sebuah milis kuliner. Jika Sultan berkehendak, di Jogja tidak perlu mengikuti pemerintah pusat memungut pajak bagi pedagang kecil. Duit pajak yang digelapkan Gayus dkk, kini rakyat kecil yang diminta bayar. Sebelumnya kebijakan fiscal, semua dipaksakan harus punya NPWP kalau tidak bayar Rp 2,5 juta fiskal.

Lalu kini muncul kebijakan baru bebas fiskal tetapi harus bayar pajak buat oleh-oleh dari luar negeri. Tentu saja seperti biasa peraturan ini berlaku buat rakyat biasa. Kalau pejabat atau Presiden dan keluarganya memborong pasti bebas bea. Jogja memang unik, terlebih istana raja yang disebut Kraton. Karena membolehkan rakyat biasa, memotong jalan melewati halaman Kraton depan dan belakang. Saya ingat, ketika kami tinggal di Jl Mantrigawen Lor ingin ke pasar Ngasem.

Daripada mubeng (keliling) , maka jalan pintas yang terdekat adalah melewati halaman Kraton. Syaratnya tidak banyak; yang naik sepeda ontel atau pun sepeda motor harus turun dan jalan kaki. Mungkin inilah satu-satunya Istana Raja di dunia ini yang membolehkan rakyat biasa lewat di dalam Kratonnya. Jika dibandingkan Buckingham Palace di London atau pun Istana Penguasa Dubai Syech Maktoum; hanya boleh lihat dari luar pagar dan jauh sekali.


Kota-kota kuno di Eropa dilindungi oleh UNESCO, dijaga keasliannya. Sebaliknya oleh SBY yang bukan orang Jogja, mau mengubah Jogja. Belum reda awan di bukit Merapi, belum kering isak tangis keluarga korban Merapi, tiba-tiba SBY ingin mengadakan perubahan di Jogja. Jangan usik Jogjaku. Biarkan si Mbok penjual mata kebo, gudangan tetap berjualan di Beringhardjo. Jangan jadikan Jogja menjadi seperti Jakarta di bawah feodalisme berkedok demokrasi.

Saya yakin jika bukan Kanjeng Sultan Gubernur Jogjakarta Hadiningrat, sudah pasti banyak muncul Mal dan gedung PMA. Bahkan mungkin juga sekolah internasional yang menjamur seperti di Jakarta. Apa pun dibalik keinginan SBY yang memaksakan kehendaknya. Sesuai pidato BJ Habibie di ultah ICMI bahwa pemimpin sekarang sangat feodal. Kraton dan Istana di tanah air memang peninggalan zaman feodal.

Tetapi Kraton Jogja justru memperlihatkan sikap Raja yang demokratis dan peduli rakyat kecil. Sejarah perjuangan Sultan HB IX membela kemerdekaan RI. Sejarah ini yang dilupakan oleh SBY dan penasihatnya.


Saya mendukung dengan doa dan semoga Kanjeng Sultan tetap dapat memimpin Jogjakarta tetap seperti apa adanya. Jangan usik Jogjaku, karena aku ingin mengunjungi Sekaten bersama ketiga anakku.  Akan aku perlihatkan pada mereka kota kelahiranku. Juga memperlihatkan mereka cara bertutur kata orang Jogja yang santun. Melihat Kraton yang sederhana dekat dengan rakyat kecil. (*)

Megara, 5 Desember 2010 Tati Papafragos in Megara Greece ITLA member; 0912-0367 http://tatiatravel.com