Kembalikan Jogjaku Padaku
Karena cinta pada rakyat dan negara, ia rela menggabungkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semasa Presiden Soekarno. Itulah kenapa, salah satu pasal di UUD 45, menyebutkan, Sultan dan juga Paku Alam VIII ditetapkan kedudukannya : gubernur dan wakil gubernur.
Sudah jelas, ditetapkan, tidak dipilih. Kalau ada yang mengatakan, biar ada putra daerah, rakyat berdarah Jogja, jadi gubernur, omong kosong. Saya sukarela Sultan memimpin daerah Jogja. Saya tidak cemburu, saya tidak ingin menandingi.
Dengan Sultan sebagai pemimpin Jogja, rakyat merasa terlindungi, merasa bahwa Kraton tak melepaskan diri dari rakyat. Itulah yang saya rasakan. Hampir 30 tahun saya hidup di Jogja, lahir dan sekolah di sana. Tidak pernah ada yang ingin mendongkel kedudukan Sultan dan Pakualam.
Lha ini, ada yang ingin mendongkel Sultan, jelas, saya marah, warga Jogja marah, panas hati saya. Kayak kurang kerjaan. Kerjaan besar saja yang penting ndak beres-beres, kok ini malah ngisruh.
SRI Sultan Hamengkubuwono IX adalah orang yang saya kagumi. Bukan karena weton-nya (hari lahir Jawa) sama dengan saya : Sabtu Pahing, tapi karena saya terkesan dengan buku Tahta untuk Rakyat, yang pernah saya baca.
Saya setuju Sultan, biarlah kami ini melakukan referendum, apa yang dimaui rakyat, bukan yang dimau lembaga survei, bukan yang dimaui presiden negeri ini. Referendum, bukan hanya bicara penetapan atau pemilihan gubernur dan wakilnya, tambahkan juga referendum : merdeka atau tetap dengan NKRI.

Keistimewaan Jogja adalah karena adanya penetapan itu, bukan yang lainnya. Kalau yang lainnya, tanpa diakui, tanpa diminta, memang Jogja tetap istimewa. Never Ending Asia. Jogja selalu membuat kangen, orang ingin selalu datang menjenguk.
Ya, Jogja memang istimewa, dan itu tak boleh diusik. Kalau diusik, ayo bergabung demi Kemerdekaan Jogja, Freedom Jogja, lepas dari NKRI, kembali seperti semula, sebelum tahun 1945. (*)