Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Belajar dari Semut dan Teman-temannya

DARI kejauhan, saya melihat mata Cecilia Gunawan, anak didik saya dalam pelatihan jurnalistik, berkaca-kaca. Dia tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Teman-teman Cecil, panggilan akrabnya, di Mading 3D larut dalam suka juga. Saya pribadi, ikut plong, setelah empat jam lebih, deg-degan, waswas. Malam itu, Minggu (25 Oktober 2009), pukul
00.15 WIB, Tim Mading 3D SMA Petra 5 Surabaya lolos sebagai pengumpul pertama.

Salah satu panitia Deteksi Con 2k9, yang bertubuh tambun, memberitahukan, lolosnya Mading 3D setelah dua tim di depan SMA Petra 5 dinyatakan gugur karena persyaratan administrasinya tidak lengkap. Jadilah, rencana malam itu menarik mundur karya Mading 3D, urung. Meski ini baru perjuangan awal, kami tetap larut dalam suka cita. Sebab,
prestasi sebagai pengumpul pertama pada Deteksi Con 2k8, dapat dipertahankan.

SMA Kristen Petra 5 Surabaya belum bisa jadi peringkat pertama, tapi hasil akhir di barisan 10 besar Best School Deteksi Con 2k9, sudah merupakan prestasi setingkat lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2008, Mading 3D menyabet gelar Honorable Mention (25 besar), pengumpul pertama, ditambah Best Five untuk Custom Shoes.

Sebagai sebuah tim, terdiri atas 10 anak, Mading 3D, memperlihatkan grafik kerja sama yang meningkat dari hari-hari. Padahal, anggota tim ini, dipilih secara acak, seperti tim-tim lainnya (Mading 2D dan Gerak). Karena Mading 3D menonjolkan bentuk, maka anggotanya diambil dari mereka yang kemampuan visualnya bagus, yang ditunjukkan dari hasil
seleksi.

Walau punya talenta menonjol dan potensi besar, sejujurnya, saya sempat pesimistis dengan Tim Mading 3D. Apalagi, pengerjaan madingnya dilakukan di rumah Cecil, koordinatornya. Di awal-awal pembekalan mading, timnya tidak pernah lengkap, karena ada yang masih ikut pelatihan OSIS.

Rasa pesimistis saya dari hari ke hari luntur setelah saya cek, rencana pengerjaan mading mereka, terjadwal dengan ketat. Dan, yang paling penting, komitmen anak-anaknya. Ada aura semangat tempur, bukan keluhan.

Sebagai tim, Mading 3D bukan tim sempurna. Mereka juga punya masalah internal. Sama dengan yang terjadi di Mading 2D atau Gerak. Ini wajar dalam berorganisasi. Selalu ada intrik, konflik, sebelum mencapai penyesuaian dan keseimbangan baru. Hanya bedanya, anak-anak Mading 3D lebih cepat beradaptasi satu sama lain, dan berani mengambil keputusan.

Dengan bahasa yang agak abstrak, saya ingin mengatakan, segala yang terjadi di Mading 3D mengingatkan saya akan ’aksi para semut’. Lho, apa hubungannya mading dengan semut? Tahu semut nggak? Secara ilmiah, semut adalah serangga eusosial, asalnya dari keluarga Formisidae, dan termasuk ordo Himenoptera, bersama dengan lebah dan tawon.

Kalau sedang di dapur, saya sering melihat ’aksi para semut’ itu. Sejumlah semut mengerubungi sisa-sisa makanan, apalagi yang mengandung gula, lalu dibawa ke dalam sarangnya. Kok bisa ya? Dari mana semut itu tahu, mana sisa makanan yang dapat dibawa atau tidak? Mana juga, yang dapat diangkut bersama-sama dalam waktu singkat dan mana yang bisa dipanggul sendirian?

Padahal, kata guru biologi saya di SMA dulu, semut itu biasanya hidup dalam koloni, yang jumlahnya bisa jutaan. Wah, berlipat-lipat dari jumlah anggota Mading 3D. Meski hidup dalam komunitas besar, merekalah hewan ’paling sosial’ di muka bumi ini.

Komunikasi bisa berjalan dengan baik meski tidak punya handphone, SMS, facebook, YM, telepon, atau email. Sebab, bentuk komunikasi yang seperti itu, justru menjauhkan orang dari sisi sosialnya. Komunikasi semut adalah secara langsung melalui sentuhan antena semut satu dengan lainnya. Bahasa ’antena’ itulah yang menjadi pemersatu para semut yang
jumlah jutaan itu.

Kemampuan semut untuk memahami keinginan semut lain melalui sentuhan antena pendek ini menunjukkan bahwa semut mampu “berbicara” di antara mereka. Para semut mencoba merealisasikan ’rasa bersama’, ’rasa sepenanggungan’, ’rasa saling memiliki’, ’rasa empati’ dan sejuta ’rasa’ lainnya.





Kemampuan ’rasa’ itu memudahkan mereka bekerjasama dalam berbagi makanan. Kalau menemukan makanan yang lebih besar dari tubuhnya, semut itu akan memanggil kawan-kawannya. Lebih jeli, kalau ada semut yang pura-pura memanggil teman-temannya karena ada makanan, dan makanan itu tidak ada, maka semut yang berbohong ini dapat dibunuh oleh semut-semut lainnya.

Kalau mau jujur, sebenarnya, kehidupan di dunia semut memberi pelajaran berharga mengenai kejujuran, kesabaran, keteguhan, ketekunan, kerukunan serta kerja sama dan kesinambungan untuk mencapai suatu tujuan. Suatu hal yang kadangkala sulit diperoleh dari lembaga formal seperti sekolah karena beban kurikulum yang ketat.

Boleh jadi, Tim Mading 3D tidak seideal para semut. Namun, harus disadari, manusia punya akal, yang mampu berlogika dan berpikir lebih kreatif dari seekor semut. Ini berarti manusia dapat belajar dan memperbaiki menuju sesuatu yang lebih baik. Talenta dan potensi besar
akan sia-sia apabila tidak dapat saling punya ’rasa’ tadi. Saya kira, dengan kecerdasan hati yang kita miliki, kita sedikit banyak bisa belajar dari semut. Semoga. (Hari, Pembina Ekstra Jurnalistik SMA Kristen Petra 5 Surabaya)
Auto Europe Car Rental