Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tuhan, Semoga Benar Ada Keajaiban di Tengah Pandemi Covid-19

APA yang bikin sebagian dokter dan tenaga kesehatan lainnya di Indonesia sedih, khawatir dan desperate  belakangan ini? Pertama, melihat dan mendengar kiriman pesan di grup sesama dokter yang hampir setiap hari berseliweran dengan bunyi seperti ini.

"Tiga orang dokter spesialis dinyatakan PDP covid-19, butuh ventilator." (Noted: kalau sudah pakai ventilator itu, kurang lebih hanya 17 persen kemungkinan yang bisa bangun dan sehat seperti semula lagi)

"Dua orang dokter meninggal dunia, positif covid-19". Eh, dokter umum di RS ini..ini..ini kan positif juga. Dokter spesialis ini juga kena loh. Dokter A meninggal ga ada comorbid (penyakit penyerta) lho padahal. Perawat ini kan masih muda..dokter ini juga masih muda.

Koq bisa kena dan meninggal?...hah...gue gimana?" Aah seremnya. Kemudian semua berita-berita di WAG itu disimpulkan oleh berita media,"84 nakes di DKI Jakarta positif terinfeksi covid-19, hingga saat ini 14 dokter meninggal akibat positif covid-19."

Pak Dahlan Iskan bahkan ikut menambahkan,"Indonesia sudah mengalahkan Tiongkok dari segi jumlah dokter yang meninggal karena Covid-19."  Serem banget siih. Jadi APD kita belum bener? memang ga cukup pake jas hujan ya? APD dengan kain ini gimana? Yang itu? Masih tembus air lho. Ga cukup aman kah? Beragam pertanyaan tak terjawab bermunculan.

Kedua, hampir setiap hari terdengar cerita dari sesama teman sejawat,"Pasien gue susah banget cari rujukan, padahal Covid banget gejalanya. Antrian ke RS rujukan sudah ke 400 neh kalau belum di swab(test PCR). Padahal bisa test swab itu adalah sebuah kemewahan.

Antreannya sungguh mengular. Kamu harus jadi PDP dengan gejala pneumonia berat dulu, dan ada di RS rujukan dulu baru bisa di swab. RS non rujukan bisa sih meminta untuk melakukan swab tapi jumlahnya sangat terbatas.

Mau cek sendiri ke mikrobiologi? Antreannya sudah tutup sampai bulan depan. Jadi tidak heran kalau kemudian muncul di pemberitaan  pasien-pasien PDP yang dikuburkan sesuai protokol jumlahnya meningkat pesat, karena meninggal sebelum di swab dan sebelum mendapat  rujukan. Akhirnya? tidak tercatat dalam hitungan pasien meninggal karena covid-19.

Ketiga, kerap terdengar permintaan bantuan,"Gaes ada yang bisa tolong. Ada pasien PDP, sesak, udah keliling cari 4, 5, 10, RS rujukan penuh semua, RS non rujukan menolak karena fasilitas minim, ga ada ruang isolasi, ga ada ruang ICU. Gimana nih kasian pasiennya.."

Keempat, tak jarang pula terdengar kisah,pasien PDP sesak tapi terpaksa dirujuk lepas (langsung disuruh ke RS Rujukan tanpa jalur rujukan dari RS, karena antriannya yang begitu panjang). Kalau rujuk lepas langsung datang ke IGD, siapa tahu langsung bisa dapat tempat. Kalau tidak dapat? Ya biar kata sesak, harus tetap lah cari-cari RS rujukan sampai dapat. Jahat? Lebih jahat mana dengan membiarkan pasien dirawat tapi tidak tertangani karena minimnya fasilitas?

Kelima, para dokter sering kebingungan dalam mengikuti alur penanganan. Harusnya kan semua ODP dan PDP di tes. Tapi jangankan tes swab, tes rapid saja terbatas. Pokoknya kalau kamu ga dying jangan harap bakal didahulukan dapat test swab. Padahal test ini sangat penting, baik untuk terapi maupun untuk tracing. Jadi tidak heran kalau kita tidak tahu lagi mana ODP dan PDP di sekitar.

Keenam, belum lagi melihat puluhan ribu orang yang mudik. What puluhan ribu? OMG! Di ibukota aja dengan APD untuk nakes yang lumayan dan fasilitas lumayan, sudah kelimpungan. Bagaimana jika orang-orang yang mudik itu di desanya tertular, lalu sesak berat. Dokter-dokter dan nakes di puskesmas harus memeriksa pasien dengan APD minim, test swab sangat terbatas, apatah lagi ventilator.  Entah apa jadinya nanti.

Oke baik. Tidak boleh berpikir negatif. Tidak boleh mengeluh. Harus berpikir positif dong. Telan saja semuanya bulat-bulat. Tetap kerjakan sebaik yang kau bisa. Kita terima tidak ada lock down atau karantina wilayah seperti yang disarankan oleh banyak dokter ahli karena takut resesi ekonomi. Baiklah.

Mari berharap pada test massal sebagai alternatif solusi. Tapi test massal akurasinya dipertanyakan dan harus diulang lagi pada hari yang ditentukan, jumlahnya pun terbatas. Test swab PCR antriannya mengular. Jadi kita harus terus main tebak-tebakan?

Sementara puluhan ribu yang mudik sudah terlanjur mudik, di jalanan masih saja tampak keramaian,  kasus confirmed positif sudah ribuan, berita kematian terus bertambah diumumkan. 'Baru' 1677 an kasus positif dan 157 meninggal saja fasilitas kesehatan sudah tak berdaya, nakes sudah banyak jadi korban, sudah begini kewalahan.

Apa jadinya kalau meningkat jadi belasan dan puluhan ribu macam di Itali dan di US sana? Tak sanggup rasanya membayangkan. Apa solusinya? Herd imunity? Semoga tidak, karena itu artinya sama dengan membiarkan penduduk mati pelan-pelan di rumah masing-masing karena RS tak sanggup lagi menangani.

Entahlah. Lagi-lagi, hanya bisa berdoa dan berharap ada keajaiban. Lagi-lagi hanya keimanan dan keyakinan pada Tuhan yang mampu menguatkan. Yakin, bahwa Tuhan akan memberikan ujian sesuai kemampuan hambanya, bangsanya. Tuhan, semoga benar ada keajaiban.


Noted: saya, Agnes Tri Harjaningrum, bukan mau nakut-nakutin. Tapi cuma berbagi fakta di lapangan. Supaya semua aware bahwa virus ini ga main-main. Masih mau menganggap remeh dan ga peduli?

Masih banyak sekali yang menyepelekan. Padahal korban terus berjatuhan. Jaga diri dan keluarga masing-masing, jangan sampai tertular dan menularkan.  Cuci tangan, stay at home..buat yang ga bisa di rumah, jaga jarak, keluar pakai masker, masker kain pun sangat membantu dalam kondisi pandemi.
Auto Europe Car Rental