KKN di Desa Penari Versi Lain (7) : Aroma Sesajen di Sekitar Sinden
Tidak berhenti di situ, Pak Prabu mengatakan, mulai hari ini, kendi di dalam bilik akan diusahakan selalu terisi penuh, terutama untuk mandi anak perempuan. Untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai. Semua anak tampak paham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, mereka tidak dapat melakukan apa-apa.
Sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur. Hari itu di akhiri dengan rapat dengan semua anak, lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan. Sore menjalang malam. Nur sudah bangun, saat itu juga, Widya memintanya mengantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden. Awalnya Nur tampak tidak mau, tapi karena dipaksa, akhirnya ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik.
Widya setuju. Ia gak berpikir aneh-aneh. Selama perjalanan, ia melihat setiap rumah yang dilewati, rata-rata sama. Semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam). Langit sudah merah, dan setelah menempuh jarak lumayan, mereka sampai di Sinden. Bangunan Sinden itu menyerupai candi kecil, bedanya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tapi berlumut.
Setelah mencari-cari dari Sinden, ketemulah bilik itu tepat di samping pohon Asem, yang besar sekali, rindang, tapi mengerikan. Sempet ragu, tapi Widya bilang lanjut. rupanya benar, ada kendi besar di dalam bilik itu. Air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik. Matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatianya. Di sampingnya, ada sesajen itu.
Dari dalam bilik, terdengar suara air bilasan dari Nur.
Setelah mencoba mengalihkan perhatian dari Sinden, Widya baru sadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri, maka ditelusurilah wewangian itu. Benar saja, di samping pohon asem itu pun ada sesajenya.
yang lebih parah, bara dari kemenyan baru saja di bakar. Antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik, dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan.
"Nur" "Nur" teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam. Masih berusaha memanggil, terdengar sayup suara lirih, lirih sekali sampai Widya harus menempelkan telinganya di pintu bilik. Suara orang sedang berkidung. Kidungnya sendiri menyerupai kidung Jawa. Suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan.
"Nur. bukak Nur!! bukak" spontan Widya menggedor pintu dengan keras, dan ketika pintu terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik. "Nyapo to, Wid?" (kanapa sih Wid?). Ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bagian dalam bilik. "Ayo ndang adus, gantian, aku sing gok jobo" (ayo cepat mandi, ganti biar aku yang jaga di luar).
Kaget, Widya sudah ragu, melihat samping bilik ada sesajen, Widya tidak tahu apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu. Bagian dalam bilik sangat lembab, kayu bagian dalamnya sudah berlumut hitam. Di depanya ada kendi besar, setengah airnya sudah terpakai. Ia meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati yang di ikat dengan sulur. Widya mulai membuka bajunya perlahan.
Masih terbayang nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia tidak sendiri. Suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita. Masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah. Ia berdiri di depan kendi, bajunya sudah tertanggal, meraih air pertama yang membasuh badanya, Widya merasakan dingin air itu membilas badannya. (*)