KKN di Desa Penari (19) : Bima dan Widya Hilang
"Jelasno, kok isok-isokne awakmu tego, yo opo penjelasanmu isok nduwe barang-barang gak bener iku?!" (jelaskan kok bisa kamu tega ya, gimana penjelasanmu kok bisa punya barang seperti itu). "Barang opo to Nur?!" (barang apa sih Nur?) tanya Ayu. "Selendang hijau iku." Ayu yang mendengar itu tampak kaget. "Kok isok awakmu eroh Nur, awakmu kelewatan mbongkar barang pribadine wong liya yo" (kok bisa kamu tahu, kamu itu kelewatan kok bisa bongkar barang milik orang lain).
"Sak iki, melu aku nang Pak Prabu, ayok" (sekarang, ikut aku ke Pak Prabu). Nur menarik Ayu, menyeretnya kuat-kuat, namun Ayu menolak sebelum ia mengatakanya. "Aku dikongkon ndeleh iku, gawe gantine selendang iku. Selendang sing nggarai Bima gelem mbek aku." (aku disuruh naruh benda itu, sebagai pengganti selendang itu, selendang yang bikin Bima mau).
"Sopo sing ngekek'i iku?" (siapa yang ngasih itu?) tanya Nur, namun Ayu menolak mengatakanya. "Sopo!!" Ayu tetap menolak, bahkan sampai Nur mengatakan apa perempuan yang juga Bima temui yang menyuruhnya. Ekspresi Ayu tampak kaget mendengarnya. Ayu mengatakan, ia tidak tahu menahu siapa perempuan itu, dan siapa yang memberinya juga tidak ada hubunganya sama perempuan itu.
Bahkan sekalipun, Ayu tidak pernah bertemu perempuan yang di katakan Bima sangat cantik itu. Nur menyerah, namun firasat buruknya, semakin terasa (ada hal ganjil disini, yang Nur sadari di kemudian hari, orang atau makhluk yang memberi Nur selendang ini, siapa? Sampai akhir cerita ini belum dipecahkan, bahkan dari saat saya bicara dengan Mbak Nur, beliau hanya berasumsi, namun tidak berani mengatakan).
Puncaknya, adalah setelah malam panjang itu, petaka yang paling ditakutkan oleh Nur, terjawab. Nur terbangun ketika Subuh, ia tersentak saat mendengar Widya menangis. Tangisanya sangat keras sampai Nur terkesiap lalu terbangun dari tidurnya. Ketika melihat, apa yang membuatnya terbangun,
Nur melihat Ayu, dengan mata terbuka, mulutnya menganga, seperti mau mengatakan sesuatu belum berhenti sampai di sana. Nur tidak menemukan Widya di tempatnya, hal itu, membuat Nur menjerit sehingga Wahyu dan Anton merangsek masuk dengan wajah khawatir. "Onok opo Nur? (ada apa Nur). "Widya ilang mas" (Widya hilang mas). Wahyu dan Anton terhenyak sesaat. "Bima yo gak onok nang kamar loh." (Bima juga gak ada di dalam kamar) kata Anton buru-buru.
Sontak, semua mata memandang Ayu, Wahyu terhentak bingung. "Ayu kenek opo Nur" (Ayu kenapa Nur). "Celukno pak Prabu!!" (panggilkan Pak Prabu). Anton yang mendengarnya langsung pergi. "Yu, tangi yu!!" (yu ayok bangun yu) namun, Ayu masih sama, ia hanya melihat langit-langit, Nur minta mulutnya agar tertutup, namun, ia terus mengangah, Wahyu yang melihat tidak bisa berbuat apa-apa.
"Cok onok opo seh iki" (asem, ada apa sih ini). "Celokno warga ojok ndelok tok!" Wahyu ikut pergi, Nur terus menahan mulut Ayu. sampai Pak Prabu datang bersama Anton dan melihatnya. "Kok isok koyok ngene to nduk" (kok bisa sampai begini sih nak). Pak Prabu, pergi ke pawon, ia kembali membawa teko air, Nur menahan isi kepala Ayu, dan meminumkanya.
Tiba-tiba, Ayu menutup mulut namun masih belum bereaksi. Tidak beberapa lama, warga sudah berdatangan bersama Wahyu. Saat itu, rumah itu dipenuhi warga, tanpa banyak bicara, Pak Prabu menyuruh beberapa orang memanggil Mbah Buyut. Warga itu pergi. Nur menjelaskan kronologi kejadian itu, namun, ia meminta Pak Prabu tidak menceritakan semua ini kepada warga.
Anton dan Wahyu yang mendengarnya seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Asu, kok isok loh" (anj*ng! kok bisa bisanya) Wahyu tampak merah padam mendengarnya. Pak Prabu pun mengumpulkan warga, meminta mereka semua pergi menyisir setiap penjuru desa. Ia beralaskan, Bima dan Widya hilang kemarin malam, dan saat ini belum kembali.
Meski warga awalnya bingung, bagaimana bisa, namun mereka semua langsung bergerak, termasuk Wahyu dan Anton, ikut menyisir ke hilir sampai hulu sungai, sebisa mungkin dengan beberapa warga yang membawa parang dan berbagai barang yang tidak pernah ia pahami. Nur terus menangis, melihat kondisi Ayu, membuat ia tidak bisa menahan kesedihan yang sudah memenuhi hatinya.