Melihat tapi Tak Mengerti
LIHATLAH, betapa cerdas dirinya; masa depannya cerah. Kugenggam angka dan perhitungan semudah membalikkan telapak tangan. Sebuah berkah, mungkin orang berkata demikian. Namun ayahku menganggapnya sebagai sebuah eksploitasi. Bahkan pandangannya masih terpatri jelas di memori. Tajam, menembus murninya kepolosan seorang balita—tatapan penuh ekspektasi dengan perhitungan matang.
Hujan adalah hal pertama yang terukir dalam kenangan.
Aromanya menggelitik, sejuk membelai perasaan.
Udara terbalut dalam melankoli sendu.
Sejak saat itu, tak ada hari bagiku tanpa hujan.
“Lihatlah, orangtuanya begitu mendukung; pasti ia sukses nanti.” Masa kecilku begitu kabur,
kecuali latihan demi latihan yang dipaksakan setiap hari, tanpa henti. Di sudut, dia mengawasi setiap kemajuanku. Kadang aku berpikir, apakah aku adalah pelampiasan ambisi ayahku?
‘Aku tak mau melakukannya.’ Suatu hari aku berkata, hampir memohon. ‘Biarkan aku mencoba hal lain, yang kusukai.’ Tapi dia hanya menjawab dengan pukulan rotan di pinggang. Maka pepatah diam itu emas mulai kuhayati sungguh-sungguh.
Hanya setumpuk buku fiksi yang menjadi teman sejati, mengisi hidupku, imajinasiku, tujuanku. Hari berganti, musim mengalir, dunia berputar. “Lihatlah, ia selalu menulis; kenapa ia tak melatih bakatnya?” Sebuah pelarian yang menyenangkan. Tapi dia jelas tidak berpendapat demikian. ‘Membuang waktu! Tidak penting! Menghancurkan masa depan!’
Begitu katanya, sambil merobek buku tulis tak berdosa berisikan lembar-lembar fantasi menembus jagad raya—kerajaan-kerajaan dan naga, pedang dan keberanian, kecerdikan dan bahasa-bahasa asing yang tak pernah ada. Daya lihat mataku berkurang drastis, memburam tertutup selapis air mata hangat, mengalir tanpa henti. ‘Hapus air matamu—lelaki tak patut
menangis,’ desak ibu, ketika dia meninggalkan ruangan. Kejengkelan dalam suaranya bisa kurasakan. ‘Air mata tak akan menyelesaikan apa-apa,’ lanjutnya.
Lalu ia pergi, meninggalkanku sendirian memeluk diri. Mencoba menghangatkan hati tanpa hangatnya yang kurindu. Tak apa, kuyakinkan diriku sendiri, tak apa. Aku tak menyalahkan siapa-siapa. Aku masih memiliki karakter-karakter yang kuciptakan, begitu hidup dalam
imajinasi, masing-masing membisikkan penghiburan. Hari berganti, musim mengalir, dunia berputar.
“Lihatlah, ia terlihat stres dan tertekan...” Dan hanya itu. Tak ada reaksi, tak ada lirikan-lirikan khawatir. Hanya sekali pertanyaan dilontarkan. ‘Ada apa denganmu,’ suatu saat kalian bertanya.
‘Tak apa,’ kujawab.
‘Yakin?’
Aku hanya mengangguk, tersenyum. ‘Aku tak ingin membebani kalian dengan masalahku—hidup kalian sudah cukup berat tanpa memikirkanku,’ ucapku.Segera, kalian
melupakanku, kembali berkutat dengan masalah masing-masing.
Dan kalian tahu? Senyumku tetap berada di sana. Kendati duka kembali menguasai kenyataan, senyumku masih abadi. Tak apa, kuyakinkan diriku sendiri, tak apa. Namun alam bawah sadarku mengerti; keberadaanku tidak penting lagi bagi mereka. Tak ada yang ingin berteman dengan remaja depresi nan pendiam, bukan?
Hari berganti, musim mengalir, dunia berputar... dan selama itulah aku tersenyum, hingga segalanya menjadi tak tertahankan. “Lihatlah, ia masuk rumah sakit jiwa. Alangkah sia-sia talentanya, terbuang percuma dibalik dinding penampungan orang gila.”
Apa? RSJ? Sudah sok tahu, salah pula. Ini namanya Rumah Kebebasan, bukan rumah untuk orang berjiwa sakit. Jiwaku baik-baik saja, kok. Tanyakan imam terdekat, apa jiwaku sudah dirusak setan? Belum, ‘kan?
Cobalah sesekali biarkan dirimu tenggelam dalam pengalaman luar biasa ini. Tak ada aturan, tuntutan, kekangan. Hanya ada dinding putih kusam sebagai pembatas kelakuan. Tak ada kewajiban, keharusan, paksaan. Hanya kegiatan senam dan makan yang menjadi kewajiban. Dan beberapa butir obat—kecuali kau pandai menyembunyikannya. Bahkan mandi merupakan pilihan yang bisa ditinggalkan.
Menakjubkan. Mencengangkan. Abnormal tapi normal. Seakan aku diceburkan dalam lukisan bercorak surealis yang begitu riil. Sayang, kalian tak sudi menjengukku. Bahkan keluargaku memalingkan muka. Aih, memangnya aku juga peduli? “Lihatlah, orang gila itu lagi-lagi menulis; apa yang ingin dicapainya?” Mereka begitu cerewet.
Bukan, bukan para manusia tolol itu—aku tak peduli pada mereka (lagipula mereka juga tak peduli padaku). Bukan mereka yang cerewet, tapi lautan pribadi yang tertuang dalam karakter-karakter ciptaanku. Mereka tak bisa diam sebelum aku menuturkan kisah-kisah mereka, sebelum aku mendongengkan sejarah yang mereka ukir dalam dunia fiksi penuh sihir.
Ah, pedih sekali perjuangan mereka. Mengorbankan begitu banyak hal demi kebaikan yang lebih besar. Keluarga, saudara, teman, cinta... segalanya yang tak kumiliki. Kesedihan mereka terasa asing, namun karena itulah aku mampu menuliskan epik kehidupan mereka.
Perspektif orang ketiga sungguh efektif—mengetahui, namun tak ikut tenggelam dalam emosi. Maka kucurahkan segala kemampuanku demi satu tujuan hidup: bercerita. Sialnya, tanpa kuketahui seorang perawat diam-diam membacanya. Dan mengirimnya ke seseorang di luar sana.
“Lihatlah, novel orang gila itu laris manis; namanya dikenal luas! Kira-kira, apa dia mengingatku?” Mendadak, hidup ini bising. Aku dulu temannya, dia bilang. Aku dulu satu kelas dengannya, satunya bilang. Aku dulu satu kampung dengannya, lainnya bilang. Tapi yang paling tak bisa kuterima adalah perkataan seseorang yang mengaku sebagai sahabat.
Sahabat? Teman senasib sepenanggungan? Kawan dalam suka duka, dalam sehat dan
sakit? Segera kulontarkan pertanyaan pada mereka: dimana dirimu selama ini, saat aku berada di titik terendah dalam hidupku? Dan mereka semua langsung mundur. Hei manusia hipokrit, aku hanya punya satu kata untuk kalian—tak tahu diri! ... oke, teknisnya itu tiga kata jadi satu. Biarlah, persetan dengan spasi... dan para munafikin pengharap cipratan
ketenaran.
Kukepalkan tangan. Kenyataan ini semakin membulatkan tekad—dan mendadak datanglah hari yang telah kurencanakan matang-matang. “Lihatlah, orang gila itu kabur dari RSJ!” Menghirup udara yang dihirup manusia hipokrit memang tak menyenangkan, namun harus kulakukan. Ketika tujuan hidup telah tercapai, ketika tak ada yang menginginkanku lagi.
Sebuah truk menghantam, melemparku dengan spektakuler ke sudut jalanan. Sengaja? Tak sengaja? Ah, tak ada yang peduli, bukan? Tak akan ada yang mengerti, pula. Lalu... siapakah yang akan mengerti? Tuhan?Tawaku tersembur di antara tarikan napas sekarat. Setidaknya, Ia telah mengizinkanku mewujudkan satu-satunya mimpi dan tujuan hidupku. Mungkin
aku memang ditakdirkan mati sendirian, tapi aku cukup puas karena aku mati tanpa penyesalan.
Takdir terpatri sejak lahir, tapi nasib bisa dibelokkan jika mahir. Kubiarkan sebulir air hangat lolos dari kelopak mata. Sudah kuduga, sepanjang hidup kutetap terisolasi dalam kesendirian. Lagipula siapa yang peduli pada lelaki gila yang hanya bisa menulis buku bestseller? Aku berusaha tersenyum tapi lekukan bibirku terasa kaku. Hatiku perih, ngilu—dan tak ada seorangpun yang tahu.
Tak ada seorangpun yang tahu, apalagi peduli. Sebuah titik air bertemu dengan kulitku. Aku menengadah. Hujan. Kali ini senyum tulus mewarnai wajahku. Betapa sempurnanya
hidupku—dibuka oleh hujan, ditutup oleh hujan. Dan sapuan lembut air dari langit mengantarku ke dalam mimpi abadi. Selamanya. (antonia)