Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cerita Horor Santet Sewu Dino (6) : Wajah dari Balik Pohon Besar

SRI menuruti apa kata Mbah Tamin walau sebenarnya bingung. Kenapa Dela harus diikat. Setelah Sri menyelesaikan tugasnya, Mbah Tamin baru membuka keranda bambu kuning itu. Ia mulai membasuh badan Dela, Sri ikut membantu, dan di sana, Sri menemukan fakta mengejutkan. Perut Dela, membesar seperti mengandung. Sri yang membasuh, menatap Mbah Tamin dengan tatapan bingung dan kaget.

Mbah Tamin tampak mengerti apa yang ingin Sri tanyakan. Setelah selesai dengan semua itu, keranda kembali ditutup, dan kain yang mengikat Dela di lepas satu per satu. Mbah Tamin melangkah pergi. "Mbah," kata Sri, mengejar. Di belakangnya ada Dini dan Erna yang tidak tahu apa yg baru Sri lihat. "Engkok, tak ceritani, nek awakmu wes siap" (Nanti saya ceritakan kalau kamu sudah siap saja), kata Mbah Tamin. "Tugasmu kabeh, ngurus Dela" (tugas kalian mengurus Dela).

Sudah 3 hari berlalu, Sri, Dini dan Erna, bergantian mengurus Dela. Mulai memandikan, memberinya minuman. Gadis itu, lebih seperti gadis yang tengah koma, dibandingkan gadis yang disantet, entah oleh siapa dan bagaimana latar ceritanya. Masih terlalu awam untuk tahu, pikir Sri. Entah sudah keberapa kali, Sri mendengar Erna dan Dini berbicara tentang Dela, berbicara tentang bau busuk yang keluar dari tubuhnya, sampai kalimat tidak menyenangkan lainya saat mereka tinggal di tempat ini, dan  betapa misteriusnya lelaki tua bernama Tamin itu.

Sri memilih diam, tapi di luar semua itu, Sri sama seperti yang lain. Aroma busuk itu benar-benar menganggunya. Selain itu, hidup di tengah hutang itu, sangat berat. Tidak ada orang lain, kiri kanan hanya pohon liar, seakan mereka tinggal di dunia yang berbeda. Suatu sore, Mbah Tamin pamit, ia akan pergi. Pesannya, tetap menjalankan tugas, dan tidak melupakan pantangan. Salah satunya, tidak lupa mengikat Dela saat membuka keranda itu.

Tidak lupa, Mbah Tamin juga berpesan, tidak membukakan pintu, pada malam ini. Siapapun dan bagaimana, jangan membuka pintu. Lalu, ia pergi, melangkah menembus pepohonan hutan. Sri merasa merinding setiap ingat pesan orang tua itu. Hari sudah gelap, Sri menutup pintu dan jendela, lalu pergi ke kamar. Di sana ia melihat Dini sudah tidur, di sampingnya, Erna tengah meringis menahan sakit. "Koen kenek opo Er?" (kamu kenapa Er) tanya Sri,

"Sri, aku oleh jaluk tulung" (Sri, aku boleh minta tolong). "Jalok tolong opo" (minta tolong apa). "Engkok bengi, wayahku ngadusi Dela, isok mok ganteni, mene, wayahmu tak ganteni" (malam ini giliranku memandikan Dela, bisa kamu gantikan, besok, ganti aku yang gantikan kamu). Awalnya, Sri keberatan, namun, melihat kondisi Erna, Sri setuju setelah menerima permintaan Erna.

Sri bersiap mengambil air, ia lupa, air di gentong dapur sudah habis. Terpaksa membuka pintu, bersiap menimba air dari sumur. Ragu. Sri mematung di depan pintu, lalu, perlahan membuka, keluar. Entah perasaan tidak enak macam apa yang Sri rasakan. Malam itu, lebih hening dari biasanya. Tidak terdengar suara binatang malam seolah membawa ketakutan Sri yang selama ini ditahan.



Sri melangkah keluar. Ia cepat-cepat pergi ke sumur, menimbanya, lalu kembali, tapi....dari sudut mata Sri, jauh di salah satu pohon besar di samping pagar bambu kamar mandi, Sri melihat wajah yang mengamati. Ketika Sri menatapnya, wajah itu menghilang. Sri terdiam cukup lama tapi tetap melanjutkan tujuannya. Harus cepat melakukan tugasnya, menimba air dengan cepat. Tidak lupa matanya awas menatap sekeliling, seakan sedang dikejar sesuatu.

Sesudah semua selesai, Sri berlari dan mengunci pintu. Perasaan langsung lega. Kini, ia melangkah menuju kamar Dela. Sri meletakkan air, sudah menabur kembang. Ia membuka keranda bambu kuning, mulai membasuh tubuh Erna dengan handuk kecil. Matanya masih tertuju perut besarnya, yang kata Erna, dihamili oleh Mbah Tamin. Sri tidak percaya, ia selalu menyangkal ucapan itu. (*)
Auto Europe Car Rental