Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Generasi Z Lebih Suka Akses Berita dari Media Sosial

SETIAP pagi, sebelum berangkat sekolah, Imam Alfagan Kurniawan menonton berita di televisi bersama kakeknya. Imam tinggal di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Usianya 13 tahun dan kelas 2 SMP tahun ini. Pada usianya, Imam sudah punya ponsel sendiri. Teman-teman Imam juga begitu. Ia dan teman-temannya aktif di media sosial. Mereka punya akun Instagram, Path, dan grup di Line—media sosial yang mayoritas penggunanya adalah Generasi Z. Beberapa dari mereka juga menggunakan Ask FM.

Imam tak punya akun Facebook dan Twitter. Ia menilai aktif di dua platform media sosial itu sudah ketinggalan zaman. “Facebook dan Twitter medsos-nya orang tua,” ujar Imam. Dari akun-akun media sosial itu, Imam mendapat banyak informasi dan berita terbaru. Ia paling suka platform Instagram untuk mencari informasi. Biasanya lewat video-video singkat atau gambar-gambar infografik yang berisi pengetahuan baru.

Beberapa teman Imam sering membaca berita di Line Today—fitur dari Line yang memunculkan beragam berita dan informasi terbaru yang sudah dikurasi, tetapi Imam tak begitu suka. Platform Line hanya dipakai untuk chat dengan teman-temannya. Sejak ia bisa membaca, sampai saat ini, Imam tak pernah punya kebiasaan membaca koran atau majalah. Dua produk cetak yang ia baca hanya komik dan buku pelajaran.

Imam adalah bagian dari Generasi Z, generasi yang lahir setelah kehadiran internet. Ada beberapa perbedaan patokan rentang tahun antara satu negara dan negara lain soal Gen Z. Badan Statistik Kanada, misalnya, mendefinisikan Generasi Z sebagai generasi yang lahir antara 1993 sampai 2011. Sementara McCrindle Research Centre di Australia mematok tahun kelahiran Generasi Z antara 1995 sampai 2009.

Di Indonesia, melihat kehadiran internet secara komersial di sini pada 1994, bisa dibilang Generasi Z adalah mereka yang lahir medio 1990-an hingga medio 2000-an. Berdasarkan sensus penduduk BPS pada 2010, populasi Generasi Z di Indonesia mencapai 28,8 persen. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, porsi Generasi Z di dunia mencapai 34,05 persen, dan diprediksi menyentuh 40 persen pada 2050.

Tiara Dewanty termasuk Generasi Z yang terhitung tua. Ia lahir pada 1996 dan berusia 21 tahun saat ini. Saat Tiara masuk sekolah dasar, penggunaan telepon genggam mulai menjamur. Ketika ia duduk di bangku sekolah menengah pertama, teknologi ponsel pintar mulai berkembang di Indonesia.

Kendati terhitung gelombang awal Generasi Z, Tiara tak memiliki pengalaman dan kebiasaan membaca koran atau majalah. Ia kerap mengakses berita dari media sosial dan aplikasi chat. Tiara berbeda dari kakaknya yang terpaut usia lima tahun dan berasal dari Generasi Millenial. Kakak Tiara tumbuh dengan kebiasaan membaca media cetak, koran, tabloid, majalah. Kendati saat ini kebiasaan itu perlahan ditinggalkan dan beralih ke medium digital.

Kecenderungan Imam dan Tiara yang minim bersentuhan dengan media cetak tentu saja belum bisa mewakili Generasi Z secara keseluruhan. Untuk memastikan seperti apa perilaku Generasi Z mengakses informasi dan berita, Tim Riset Tirto melakukan survei di Jawa dan Bali pada Maret hingga Juni 2017.

Jawa dan Bali dipilih karena dua pulau ini menjadi konsentrasi sebaran penduduk Indonesia. Jumlahnya mencapai 58,44 persen pada 2015 dan diprediksi terus bertambah. BPS memproyeksikan proporsi penduduk Indonesia yang tinggal di dua pulau ini menyentuh 61,8 persen pada 2020. Riset Tirto menjaring 1.201 responden dari Generasi Z dengan rentang usia 7-21 tahun. Sebanyak 54,8 persen dari responden adalah perempuan dan sisanya laki-laki. Pengambilan data dilakukan dengan one on one interview.

Tahun 2014, Lembaga Survei Indonesia pernah melakukan survei dengan pertanyaan: “Dari mana Anda mendapatkan berita dan informasi?” Survei itu menunjukkan 79 persen responden menjawab televisi, 8 persen internet, 2 persen radio, dan 11 persen membaca koran. Pertanyaan yang sama kami tanyakan kepada responden yang hanya terdiri dari Generasi Z. Hasil yang kami peroleh berbeda sekali. Hanya 14,4 persen yang menjawab televisi sebagai sumber akses utama informasi. Sedangkan 83,6 persen memperoleh informasi dari internet, dan hanya 1,7 persen yang membaca koran.

Akses terhadap internet yang besar sekali itu pun terbagi lagi: 35,2 persen mengakses berita dari media sosial, 26,1 persen dari browser, 14,1 persen dari aplikasi layanan pesan, dan 8,2 persen lewat Youtube atau web streaming. Apabila diklasifikasikan berdasarkan tingkat pendidikan, porsinya tampak berbeda. Generasi Z yang masih duduk di sekolah dasar lebih sering mengakses berita dari televisi.

Akses berita dari media sosial paling besar dilakukan oleh Generasi Z dari usia sekolah menengah atas. Sedangkan mereka yang kuliah mengakses berita lewat media sosial dan browser dengan porsi yang hampir sama. Hanya 5 persen dari usia kuliah mengakses berita lewat televisi. Tiga sampai lima tahun dari sekarang, Generasi Z mulai memasuki dunia kerja. Sepuluh tahun lagi, mereka akan menempati posisi-posisi penting di tempat kerja mereka. Riset kami menemukan bahwa semakin dewasa generasi ini, semakin mereka meninggalkan koran dan televisi sebagai sumber mengakses berita.


Salah satu alasan utama generasi ini memilih sumber informasi adalah kemudahan akses. Mereka bukan generasi yang mau repot-repot datang ke agen koran atau duduk di kursi dan membolak-balik lembar koran. Mereka ingin bisa mengakses berita dengan posisi masih di atas kasur, memeluk guling, memakai selimut, dan menggenggam ponsel. Generasi Z memang tumbuh besar di zaman dengan penetrasi penggunaan ponsel pintar cukup tinggi. Tahun 2012, dari total 55 juta pengguna internet, sekitar 29 persennya mengakses dari ponsel. Tahun 2016, porsi pengguna internet via ponsel meningkat tajam hingga 70 persen. (*)

Sumber naskah : Wan Ulfa Nur Zuhra - 2 Agustus 2017 (tirto.id - Indepth)
Auto Europe Car Rental