Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Rusiyati, Tapol dan Pengasingan (1)


Pengantar : Inilah wawancara yang dilakukan oleh Kerry Brogan di Belanda, 15 dan 16 November 1998, ketika Rusiyati berusia 76 tahun. Hasil wawancaranya disunting oleh Mira. Judul di atas adalah judul dari pemilik blog ini.

LAHIR tahun 1922, Rusiyati adalah salah satu bekas Tahanan Politik yang pernah bekerja sebagai wartawan sejak tahun 1954 di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN), The National News Agency Antara, Jakarta. Ketika terjadi peristiwa G-30-S tahun 1965, beliau ditangkap dari tempat kerjanya dan dipenjara selama 13 tahun tanpa proses pengadilan.

Sejak saat itu, Ibu Rusiyati dipisahkan dari enam anaknya, di mana anak tertua, perempuan, baru berusia 15 tahun dan anak bungsunya berumur 5 bulan. Di waktu yang sama, suaminya sedang berada di China dalam rangka kunjungan resmi menghadiri ulang tahun kemerdekaan Republik Rakyat China.

Kunjungannya di China mewakili ‘Generasi Angkatan 1945' dari delegasi Indonesia, yang dipimpin oleh ketua MPRS Chaerul Saleh (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). Sejak saat itu suaminya tidak dapat kembali ke Tanah Air, di pengasingan sampai akhir hidupnya dala usia 67 tahun (1986).

Rusiyati ditangkap oleh militer pada hari jum’at, tanggal 15 oktober 1965, di Kantor Pusat Berita Antara. Waktu itu 1 Oktober 1965 siang hari, kantor Antara dan beberapa kantor berita harian ibukota lainnya sudah kena pelarangan terbit oleh Kodam V Jaya.

Sedangkan buletin Antara terbitan siang hari ketika itu sudah memuat berita mengenai Gestok (Gerakan Satu Oktober). Buletin Antara merupakan sumber berita nasional di Indonesia yang terbit dua kali sehari, yaitu pagi dan siang hari.

Malam, 1 Oktober 1965, muncul pelarangan terbit untuk semua koran harian yang terbit di ibukota, kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang memang diterbitkan militer. Harian Kompas misalnya, telah siap cetak malam itu, terpaksa membatalkan penerbitan dan baru boleh muncul kembali 6 Oktober 1965.

Surat Perintah Pangdam VI/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan oleh Mayjen Umar Wirahadikusumah berbunyi, ”Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang siur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan”.

Surat perintah itu ditujukan kepada Panglima Daerah Kepolisian VII/Jaya untuk 1) Segera menguasai semua perusahaan percetakan, 2) Melarang setiap penerbitan jang berupa apa pun tanpa izin Pepelrada Jaja c.q. Pangdak VII/Jaya, 3) Khusus terhadap percetakan ”Berita Yudha” yang terletak di Gang Gelap Kota dan Percetakan Harian ”Angkatan Bersenjata” di Petojo supaja diadakan pengamanan physik (pos penjagaan) untuk dapatnya percetakan tersebut berjalan lancar.”

Larangan terbit semua koran itu, meski hanya diberlakukan selama lima hari, sangat menentukan karena informasi ketika itu dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer. Apa yang diberitakan oleh dua surat kabar tentara, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, serta dinas informasi ABRI yang memasok surat kabar itu telah memberitakan proses kejadian harus disesuaikan dengan sumber informasi yang berpihak pada militer Angkatan Darat.

Ketakutan akan dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis atau mengutip pemberitaan sesuai keinginan pemerintah/pihak keamanan. Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh kedua harian militer tersebut. Berita Yudha, Minggu 11 Oktober 1965 memberitakan, tubuh para jenderal itu telah dirusak, ”Mata dicungkil dan sementara itu ada yang dipotong kemaluan mereka.”

Sementara itu, sukarelawan-sukarelawan Gerwani melakukan hubungan tidak senonoh dengan mayat para Jenderal itu. Padahal, menurut visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu meninggal dengan luka-luka karena tembakan atau terbentur dinding sumur di Lubang Buaya.

Saskia Wieringa mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menyiarkan kampanye sadis sejenis ini secara teratur sampai Desember 1965. Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang menyulut kemarahan rakyat dan akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap mereka yang dicurigai sebagai anggota PKI.

Sejak pelarangan terbit diberlakukan para pegawai dari bagian redaksi maupun bagian administrasi setiap hari tetap masuk kantor, begitupun dengan Rusiyati. Kehadiran di kantor dengan maksud tetap siap untuk segera menerbitkan bulletin bilamana pelarangan terbit dicabut kembali.

Pada 8 Oktober, kantor Antara didatangi oleh Letnan Kolonel (LetKol) Noor Nasution dari Palembang. Dia menyatakan bahwa kedatangannya atas tugas untuk memimpin kantor berita itu. Rusiyati dkk sangat heran terhadap penugasan Noor Nasution sebagai pemimpin Antara. Dan sejak saat itu, Pusat Berita Antara berada di bawah pimpinan seorang militer.

Buletin Antara terbit lagi 11 Oktober. Rusiyati sebenarnya masih menjabat wakil ketua Desk Dalam Negeri tapi dalam proses penerbitan buletin tidak dilibatkan. Biar bagaimanapun, dirinya setiap hari tetap masuk kantor.

Pada 15 Oktober, gedung kantor Antara dikepung oleh pasukan militer dari Komando Daerah Militer Jakarta, disingkat Kodam Jaya. Kurang lebih 26 pegawai kantor ditangkap dengan cara satu persatu dipanggil namanya untuk berkumpul di ruang redaksi.

Mereka yang dipanggil untuk ditangkap, yaitu pimpinan umum redaksi bernama Soeroto serta lainnya yang menduduki posisi ketua dan wakil ketua dari redaksi afdeling Desk Dalam Negeri, Ekonomi, Luar Negeri maupun Newsagency. Selain itu, ada satu orang dari bagian administrasi, berfungsi sebagai ketua bagian ketik, bernama Tini juga diikutsertakan. Dari mereka ternyata hanya dua perempuan, yaitu Rusiyati dan Tini yang tertangkap.

Rusiyati mendengar bahwa 14 November masih dilakukan pembersihan lagi dibagian Afdeling Luar Negeri dengan 14 orang menjadi korban penangkapan. Siang harinya, Rusiyati dkk diangkut dengan mobil militer menuju kompleks KODAM V Jaya . Sesampainya di kompleks tersebut, mereka disuruh turun dari mobil untuk berjalan menuju ke salah satu gedung bernama Penyelidikan Khusus (LIDIKUS). (*)

Pemuatan ini untuk sekadar menambah kekayaan sejarah bangsa kita, dan kebetulan yang mengalami ada seorang wartawan. Silakan cek juga alamat ini :
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/
Auto Europe Car Rental