Cerita Kaca Buram Istana (1)
Kami akhirnya bicara via telpon. Tahulah saya. Kolonel SBY adalah Assisten Operasi Kasdam Jaya, lulusan Akabri 1973. Ia mengajak bertemu. Ternyata, SBY baru baca buku (pertama) saya 'Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia', dan mengajak mendiskusikan bab-bab tentang politik tentara.
Pertemuan pertama saya dengan SBY terjadi pada satu malam di akhir tahun 1994, di rumah dinasnya di Cibubur. Saya datang dijemput supir SBY bernama Bambang. SBY bersama empat orang perwira menengah AD seangkatan (73), termasuk Kolonel (waktu itu) Syamsul Maarif (yang kocak). Mereka juga ikut berdiskusi. Selain diskusi buku saya, kami juga diskusi soal 'The Future of Capitalism' (judul sampul Newsweek waktu itu, dan judul buku 'Lester Thurow').
Pertemuan ini meninggalkan 3 kesan: (1) fisik – dibanding 4 teman seangkatannya, SBY paling menonjol: tinggi, (masih) ramping, gesture terjaga. (2) Kemampuan komunikasi , SBY terlihat santun, cenderung mengendalikan diskusi, tutur katanya terjaga dengan nada yang cenderung datar. Tuturnya baik. (3) Saya yang tidak pernah punya interaksi dengan tentara lumayan terkejut mendapati SBY punya minat diskusi tinggi soal ‘topik-topik yang tidak biasa buat tentara’ .
Terus terang saya terkesan, tapi sambil pasang kuda-kuda karena sudah baca bagian akhir buku Morris Janowitz, 'The Professional Soldier' (1962). Janowitz menulis tentang 'Military Intelectual' (perwira tentara di masa depan yang melengkapi diri dengan kecakapan intelektual, semata untuk pencanggihan diri.
Pertemuan pertama itu diakhiri dengan ajakan SBY untuk segera bertemu lagi, melanjutkan diskusi tentang banyak soal yang menarik. Saya menyetujuinya. (24082010/Eep S Fatah)