Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cerita Horor Santet Sewu Dino (27-Tamat) : Pengakuan Mengejutkan Sugik

MBAH Krasa tersenyum, lalu tertawa, terhibur dengan semua ucapan Sri, lantas, ia bertanya. "Mati nang kene, opo nang omah ndok? (Kamu mau mati disini, apa kalau sudah sampai di rumah). Sri hanya diam, ia tidak mengatakan apapun lagi. "Koen bakal tetep urip kok nduk, mbah wes yakin, koen iku sing paling bedo ambek liyane, nyowomu gak onok regane gawe aku, nanging, ojok sampe onok sing eroh sak durunge mbah sedo, ngerti ndok." (Kamu, akan tetap hidup, mbah sudah yakin, sedari awal, kamu yg paling berbeda dibandingkan yang lain, nyawamu tidak ada harganya bagiku, tapi, jangan ceritakan kepada siapapun, sebelum, saya meninggal, mengerti).

"Kabeh menungso iku ra isok ditebak yo nduk, jahat gak jahat, menungso nduwe dalapatur, sing gak isok rumongso mok gerabak sak enake, sak iki, awakmu, jek melok aku opo igak?" (Semua manusia itu sama, tidak tertebak, berkata ia jahat atau tidak, tetap saja manusia punya tujuanya sendiri yang tidak akan bisa kamu jangkau seenaknya saja, sekarang, saya tanya, kamu, masih mau ikut saya atau tidak?), tanya mbah Krasa, ia menunggu jawaban. "Mboten, kulo pamit mantok mawon mbah." (Tidak, saya mau pamit pulang saja). 

Mbah Krasa tampak mengerti, lantas, memanggil Sugik, membopong badan Sri yang masih lemas, membawanya menuju mobil. Sekilas, ia melihat sorot mata Mbah Tamin, ia tersenyum, seakan tahu apa yang terjadi sebelum masuk ke mobil. Dela menghentikanya, meminta agar Sri tetap bekerja di sini, berapapun bayaranya.

Sri menolak, ia menatap mbah Krasa tajam, membuat ia mengatakanya. "Wes ta lah, engkok golek maneh sing luwih pinter." (Sudahlah, nanti cari lagi, yang lebih pintar). Sri juga melihat Dini, ia hanya duduk memandangnya, seakan menegaskan bahwa ia akan bertahan di sini.

Sri tidak punya hak memintanya keluar, terlepas apakah ia juga tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik semua peristiwa ini. Sugik menutup pintu mobil, membiarkan Sri beristirahat. Mobil perlahan meninggalkan kediaman Atmojo. Sugik terus membawa Sri menuju perjalanan pulang. Tiba-tiba, ia menghentikan mobil, di samping sebuah tebing.

Ia keluar dari mobil, mengeluarkan sebatang rokok, lalu mengisapnya, lantas bertanya kepada Sri, yang kebingungan. "Sri, awakmu wes ngerti kan, sak iki, sopo iku Atmojo." (Sri, sekarang, kamu mengerti kan siapa keluarga Atmojo). Sri mengangguk.

"Tapi opo awakmu yo ngerti sopo iku keluarga Kuncoro." (Tapi apa kamu mengerti siapa itu keluarga Kuncoro). Sri terdiam memandang Sugik. "Aku ngerti, aku biyen kerjo nang keluarga Kuncoro, sak durunge, keluarga iku wani nentang Atmojo, aku eroh kabeh, yo opo, siji gal siji, keluarga iku mati, loro kabeh, sampe onok sing bunuh diri, tapi, sing gak di erohi ambek keluarga kuncoro iku."

(Dulu, aku bekerja di keluarga Kuncoro, sebelum keluarga itu berani menentang keluarga Atmojo. Saya tahu semuanya, bagaimana keluarga itu di bantai satu persatu dengan penyakit yg aneh, sampai ada yang bunuh diri, tapi ada yang tidak di ketahui oleh keluarga Kuncoro).

Sugik diam. "Aku sing nandur pasak jagor nang omahe keluarga Kuncoro, aku sing berkhianat nang keluarga iki, aku wedi Sri, sampe sak iki, nek eling iku, aku kudu nangis."  (Aku yang menanam pasak jagor di rumah keluarga Kuncoro, aku yang berkhianat pada keluarga ini, aku takut Sri. Bbila ingat itu saya ingin menangis rasanya).

"Mbah Tamin sing mekso, nek gak, anak bojoku bakal nerimo kirimane." (Mbah Tamin yang memaksaku, bila tidak, anak isteriku yg akan menerima kiriman dari beliau). Sri tidak habis pikir, sekarang, kepingan puzle itu selesai sudah.

Itu adalah kali terakhir Sri berhubungan dengan keluarga Atmojo. Sudah sebulan lebih ia tidak mendapatkan kabar itu lagi, sampai, di suatu pagi, ia mendengar seseorang mengetuk pintu. Bapak pergi keluar untuk memeriksa, namun, ia tidak kunjung kembali. Sri pergi memeriksanya. Ia mendapati bapak memegang sebuah kresek hitam besar.

Mata bapak melotot kaget, melihat isi kresek itu, ketika Sri merebutnya, ia langsung tahu apa itu. Uang, uang yang memenuhi kresek itu, baru saja ditinggalkan atau sengaja ditinggalkan. Melihat itu, Sri lantas membawa uang itu. Bapak coba menghentikan Sri namun Sri keras kepala. Ia membuangnya ke pembuangan sampah, mengatakan kepada bapak agar tidak mengambilnya lagi, bila tidak ingin, ia terjerat lagi dalam lingkaran keluarga Atmojo. (*)

Sampai di sini, saya akhiri saja cerita ini, 3 narasumber itu, sebenarnya memang salah satunya adalah Sri, namun, 2 narasumber lain adalah beberapa orang yang mengaku tahu, cara kerja ilmu hitam seperti ini, bahkan nama angon (peliharaan) itu juga saya ganti, karena konon,
sedikit sulit menggambarkan penggambaran sebenarnya dari angon (peliharaan) ini.



Yang paling saya ingat dari ucapan Mbak Sri adalah, kabeh wong gede paling yo podo nduwe cekelan, gak usah kaget. (Semua orang besar di negeri ini, pastilah punya pegangan jadi tidak usah kaget). "Nek gak, yo gampang gawe matenine." (Kalau tidak, ya mudah buat cara matiin dia).

Saya pikir, cerita ini adalah cerita tergila yg awalnya saya dengar dari tukang pijat, sampai setelah mendengarnya langsung, saya langsung merasa bahwa cerita ini akan bagus bila saya angkat. Saya tidak tahu harus ngomong apa sebagai penutup, karena kalau ingat ini, rasanya saya cuma milih diam saja.

Yang jelas, apa yang kamu lakukan di dunia kelak akan dipertanggungjawabkan, karma itu ada. Saya simpleman, pamit saja, terimakasih yang sudah meluangkan waktu membaca cerita ini, mohon maaf atas kentang dan tipo selama pembuatan dan pengetikan cerita ini. Wassalam.


Sumber : SimpleMan (@SimpleM81378523)
Auto Europe Car Rental