Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rezim Scopus: Kisah Seorang Profesor Pencatut Nama


SEORANG profesor Indonesia tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan di kalangan akademik di Malaysia. Menurut situs berita  retractionwatch.dom, sang profesor mencatut nama-nama staff akademik sebuah universitas di Malaysia dalam publikasinya dibanyak jurnal.

Sialnya, para akademik di Malaysia ini tidak pernah bekerja sama dengan sang profesor. Mereka juga tidak pernah dihubungi. Nama mereka ditempel sebagai pengarang (co-author) dalam berbagai jurnal.

Sang profesor, yang merupakan profesor termuda ke-4, di lingkungan Dikti, memang pernah mengunjungi universitas di Malaysia tersebut. Namun dalam kunjungan tersebut ia tidak mengajak para akademik tersebut untuk menulis bersama di jurnal. Dia hanya menjajagi kemungkinan kerjasama antar universitas.

Sang profesor pun rupanya juga sangat produktif. Untuk tahun 2024 ini saja, dia sudah menerbitkan 160 judul karya! Seratus enam puluh! Padahal tahun ini baru berlalu sekitar 105 hari.

Ketika mendengar itu produktivitas ini, saya ingat cerita Pramoedya ketika diejek Asrul Sani karena produktivitasnya.

"Kau menulis seperti berak," begitu konon kata Asrul Sani, yang membuat Pram sakit hati kepadanya, walaupun dia menganggap Asrul Sani sebagai gurunya.

Jika tamsil Asrul Sani diterapkan ke profesor muda ini, maka dia ada 55 hari di mana dia berak lebih dari sekali sehari! Itulah produktivitasnya menulis di jurnal.

Dan, sang profesor ini juga bukan kaleng-kaleng. Dia lulusan fakultas ekonomi UI, University of Adelaide, dan ISS - University of Rotterdam. Semuanya universitas dengan reputasi sangat baik.

Dia juga menjadi konsultan di beberapa kementerian serta beberapa lembaga internasional.

Kejadian ini, yaitu mencantumkan nama staff akademik tanpa persetujuan dan ijin dari yang bersangkutan memang sebuah skandal. Kita tidak tahu apakah sang profesor ini memang benar melakukan penelitian.

Apakah dia benar menulis di jurnal-jurnal tersebut? Dan apakah jurnal-jurnal tersebut adalah jurnal yang terpercaya dan terakreditasi sebagai "peer-reviewed jorunal"? Atau bahkan, apakah dia benar-benar penulis dari artikel-artikel tersebut?

Hal itu masih harus diselidiki. Dan, yang membuat miris adalah bahwa kelakukan sang profesor ini membuat nama baiknya sendiri, institusinya, dan komunitas akademik Indonesia tercemar.

Kemudian muncul pertanyaan: Adakah ini hanya tindakan seorang profesor muda yang ingin menggapai sebanyak mungkin kesempatan selagi masih bisa?

Beberapa kawan saya berkomentar bahwa fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia hanya pucuk gunung es dari kondisi struktural komunitas akademik Indonesia.

Ada kawan yang menunjuk pada rejim Scopus, yakni sistem indeksasi yang dipakai untuk menentukan kualifikasi seseorang. Sistem ini membuat para akademisi berlomba-loma mengumpulkan skor agar bisa menjadi guru besar -- dengan tunjangan yang lebih besar. Banyak orang mencari jalan pintas agar bisa naik pangkat.

Fenomena ini berjalan beriringan dengan perubahan orientasi universitas menjadi "pasar." Universitas tidak lagi menjadi pusat berpikir -- dengan segala macam ekstase-nya -- melainkan menjadi tempat mencetak orang dengan gelar. Dan kita melihat inflasi gelar di mana-mana, yang diganjar dengan prestise dan uang.

Sang profesor muda ini, yang lulus dari pusat-pusat edukasi terbaik di Indonesia dan bahkan dunia, jika terbukti benar, telah sanggup berbuat hal yang sangat tercela dalam dunia akademik.

Hal ini membuat saya berpikir, bagaimana dengan para akademik yang lulus dari universitas-universitas medioker? Bagaimana dengan mereka yang sama sekali tidak punya pengalaman internasional atau pun tidak punya pengalaman bergaul dalam komunitas akademik internasional?

Ada banyak hal yang salah dimengerti dalam dunia akademik kita. Saat ini, seolah-olah dunia akademik adalah sebuah cara untuk menjadi aristokrat modern. Semua orang harus menjadi doktor dan profesor hanya karena snobisme.

Yang tidak dimengerti adalah jalan untuk menjadi doktor itu adalah cara "magang" untuk menjadi guru (profesor). Orang harus mengajar, mengoreksi paper, dan menerbitkan karangan di jurnal untuk menjadi doktor.

Nah, sang profesor kita ini, tentu mengalami itu semua. Namun mengapa ia bertingkah seperti yang dia lakukan? Saya tidak yakin ini hanya keserakahan pribadi.

Ini adalah soal sistemik dalam dunia akademik Indonesia -- yang sangat jauh dari kecemerlangan jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN sekalipun.

Sampai kapan kita akan begini?

Link tulisan: https://retractionwatch.com/2024/04/10/the-dean-who-came-to-visit-and-added-dozens-of-authors-without-their-knowledge/