Gunung Merapi Meletus 27 Maret 2020 : Mengingat Kembali Pesan Penjaga Merapi
SEORANG netizen, Dosa (@saksenaas) membeberkan pesan penjaga Merapi saat erupsi 3 Maret 2020 untuk memaknai erupsi 27 Maret 2020. Jadi, ini adalah penuturan beliau secara langsung. Siang itu, aku liat banyak berita di media sosial mengabarkan erupsi Merapi.
Sudah lama memang Merapi batuk, mengeluarkan hujan abu dari pucuknya, sejak terakhir meletus tahun 2010. Banyak kabar angin dari masyarakat yang bilang bahwa 'Merapi meletus mergo Sabdo Palon nagih janji'. Entah apa maksudnya.
Aku sendiri kurang paham sejarah 'perjanjian' Mbah Semar dengan Brawijaya V ratusan tahun silam itu, seperti yang dibicarakan oleh orang-orang Jawa. Aku ingat saat Merapi meletus tahun 2010. Waktu itu, aku masih menginjak kelas 10 Mts (SMP). Bahkan, abunya sampai ke desaku yang jaraknya cukup jauh.
Siang itu, aku sedang di kampus. Membaca artikel terkait erupsi Merapi. Batin terus berdoa semoga semua baik-baik saja. Apalagi masyarakat yang tinggal disekitar kaki gunung. Semoga tidak ada korban, dan tak meletus lagi. Doaku...
Aku penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Merapi? Mengapa gunung gagah itu kerap batuk? Benarkah yang dibicarakan orang-orang? Sejenak aku memejamkan mata, membaca fatihah, merapal doa bagi para leluhur dan penjaga Merapi.
Pikiranku jauh melayang ke puncak Merapi dalam seketika. Aku lihat banyak sekali 'Resi' atau entah apa sebutannya. Mereka semua memakai seragam putih. Seperti sedang beribadah. Memohon petunjuk, memohon perlindungan kepada Tuhan. Semua kepala menunduk, kaki bersila, dan tangan berposisi memuja.
Begitu banyak sosok baik/positif di Merapi. Yang aku kagumi, mereka berdoa demi keselamatan manusia. Padahal banyak sekali manusia yang lupa akan sejarah. Perjuangan dan lelakon hidup para leluhurnya. Banyak yang abai dan tak mau tahu. Tetapi mereka justru memohon keselamatan bagi manusia. Betapa tinggi jiwa ketulusan mereka.
Aku amati hamparan ribuan Resi itu. Mulai dari wanita sampai lelaki dan yang dituakan. Di sepertiga sebelum puncak. Mereka terhampar mengelilingi gunung itu. Lengkap dengan alat ibadahnya. Aku temui satu sosok Resi, sebentar kami bercakap. Aku tanyakan kenapa semua satrio di sini berdoa khusuk dan kenapa Merapi lagi-lagi batuk.
Beliau menjawab yang intinya: 'Ngger, semua yang berdoa di sini tidak ada satupun yang ingin Merapi meletus. Kami semua berdoa kepada Pangeran yang memiliki kehidupan supaya Merapi tidak meletus. Kami tak ingin ada korban, baik dikalangan manusia maupun di bangsa kami'.
Ucapnya begitu halus, kulit keriputnya yang menandakan beliau telah sepuh tapi masih sangat berwibawa dan tegas. 'Tetapi jika memang sudah takdir yang ditetapkan Sang Hyang Widhi. Maka kami juga tak bisa apa-apa. Mungkin Merapi sedang ingin berbicara ngger'.
'Meski orang Jawa sekarang telah banyak yang lupa akan sejarah perjuangan leluhurnya. Dan sedikit yang masih menjaga adat, tradisi, dan budaya Nuswantoro. Kami semua selalu memohon keselamatan bagi bangsa Jawa. Mereka lupa apa itu jawa, lupa anggah-ungguh, lupa sama jati diri'
'Semoga orang Jawa kembali seperti dahulu ngger. Cinta kepada harkat martabatnya sebagai orang Jawa.' Aku memohon pamit kepada beliau. Aku buka pelan-pelan mataku. Saat itu juga angin yang lumayan besar bertiup, berputar didekatku.
Rupanya aku dihantar balik oleh beberapa sosok Panglima dan prajuritnya. Mereka mengucapkan terimakasih dan hilang setelah aku hadiahi fatihah. Apa yang beliau sampaikan sebenarnya memakai bahasa jawa. Tapi aku lupa kalimatnya, karna seperti bahasa Keraton.
Waktu itu aku hanya langsung paham apa yang beliau katakan. Aku minta maaf jika tak mampu dan tak hafal untuk menulis bahasa itu, sebab aku orang Sunda. Apapun yang beliau sampaikan semoga kita mampu mengambil hikmahnya. Aku tak memaksa kalian percaya atau nggak.
Aku hanya ingin berbagi, supaya jangan menyalahkan bangsa mereka atas erupsi Merapi ini. Malamnya, lewat mimpi aku kembali berkunjung ke sana. Mengobrol lebih intens dan ikut sembahyang bersama mereka. Tapi untuk hal ini gak bisa aku ceritakan. Biar jadi konsumsi pribadiku sendiri.
Banyak orang yang percaya bahwa Syech Subakhir melakukan peperangan dengan bangsa gaib tanah Jawa selama 40 hari 40 malam, yang dipimpin oleh Mbah Semar/Sabdo Palon. Karna peperangan tak kunjung usai, atau bisa dikatakan Mbah Semar mulai kewalahan.
Akhirnya beliau mengizinkan Syech Subakhir menyebarkan islam dengan beberapa syarat. Apa yang saya tulis ini menjadi kepercayaan turun temurun masyarakat Jawa. Mereka memandang bahwa Mbah Semar ialah tokoh jahat yang tak mengizinkan islam masuk di Nusantara.
Padahal Mbah Semar yang memiliki nama asli Ki Semar Badranaya berunding dengan Syech Subakhir. Yang mana Mbah Semar mengizinkan Syech Subakhir menyebarkan agama Islam. Dengan syarat salah satunya adalah membiarkan adat dan budaya bangsa Jawa tetap berkembang seperti seharusnya.
Mbah Semar lantas mengiznkan pula penguasa dan Raja-raja untuk menganut agama Islam. Apa yang dipercayai sebagai peperangan antara Syech Subakhir dan Mbah Semar itu menurut penulis ialah keliru. Mbah Semar bukan berarti membenci agama Islam.
Beliau hanya menguji sejauh mana kemampuan Syech Subakhir oleh sebab beliau akan membawa suatu perubahan yang besar. Peperangan itupun tak dimenangkan oleh salah satu pihak. Sebelum Syech Subakhir bermusyawarah dengan Mbah Semar terkait maksud kedatangan beliau ke tanah Jawa.
Syech Subakhir telah menanamkan punjer/pasak di tempat-tempat paling angker dan tempat yang memiliki daya magis luar biasa. Dengan cara menyebarkan hawa yang sangat panas agar jin-jin/bangsa lelembut yang sakti mandraguna tidak betah berada di situ dan akhirnya berpindah ke lautan.
Jadi pasak yang ditanam Syech Subakhir bukan hanya ada di Gunung Tidar. Tidar sendiri dipercaya sebagai tempat moksahnya Syech Subakhir dan beliau dipercaya sebagai sosok yang menjaga gunung Tidar. Banyak masyarakat yang kurang hati-hati dalam mempercayai sejarah dan menelannya mentah-mentah.
Banyak juga yang percaya bahwa Ki Semar Badranaya dikenal sebagai Sapu Angin dan Sapu Jagad. Padahal mereka adalah sosok yang berbeda. Makam Sapu Angin dan Sapu Jagad berada di kawasan Sitinggil, Mojokerto, yang juga merupakan tempat petilasan Brawijaya V.
Mbah Semar nagih janji sebenarnya berasal dari serat karya R. Ronggowarsito yang berbunyi : Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji. Takdir nusa sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung zaman Islam, musnah kembali kepadaku.
Agama Budi berdiri kembali. Saya tak tau apa itu agama Budi. Yang saya tau agama Kapitayan, kepercayaan Kepada Sang Hyang Widhi. Tetapi agama ini juga mengambil saripati kebaikan dari semua agama. Serat inilah yang menjadi asal muasal masyarakat Jawa percaya istilah 'Sabdo Palon nagih janji'.
Sabdo Palon nagih janji sebenarnya hanyalah cerita adu domba bikinan kolonial. Tujuannya jelas supaya bangsa kita membenci leluhurnya sendiri dan akhirnya melupakan jasa-jasa nenek moyang kita. Jadilah seperti sekarang ini, bangsa kita carut marut tak jelas oleh sebab pemimpinnya tidak mengambil hikmah dari warisan yang telah dikasih nenek moyang kita.
Masyaraktnya sendiri tak peduli dan tak mau mempelajari bagaimana sebelum bangsa ini berdiri, ada banyak kerajaan yang sangat maju. Harusnya dijadikan cermin bagaimana negara ini dijalankan. Cerita bikinan kolonial lainnya ialah seperti mitos dilarangnya orang Jawa dan Sunda menikah.
Oleh sebab perang Bubat antara Majapahit dan Padjajaran. Lagi-lagi sebagian masyarakat percaya cerita yang tak pernah terjadi itu. Sedikit sudah saya tulis, bisa kalian cari di media. 'Mitos orang Jawa dan Sunda menikah'.
Bagaimana mungkin Mbah Semar, seorang penasihat Raja-raja nagih janji setelah 500 tahun keruntuhan Majapahit, dengan cara meledakan gunung? Bagaimana bisa ia membenci rakyat yang sangat ia cintai dan doakan kebaikan setiap hari?
Mbah Semar dipercaya moksah di Alas Purwo, Banyuwangi. Kelak suatu hari beliau akan kembali menasehati raja dan pemimpin kita, yaitu Satrio piningit. Tak lama lagi, sebentar lagi. Satrio Piningit akan lahir. Percayalah. Jika Mbah Semar keluar, bukan hanya Merapi yang meletus, tapi akan ada 17 gunung meletus.
Bumi udah tua, bumi tak mampu menampung keberadaan beliau. Tapi Satrio Piningit ialah penyeimbang alam semesta, saat ia lahir, Mbah Semar akan keluar tanpa satupun gunung meletus. Tetapi bisa saja, jika Tuhan menggariskan meletus. Mungkin sehabis Merapi, Semeru, dan Kelud akan ikut batuk.
Saya melihat bagaimana Kebo Kicak (penjaga Kelud) meraung. Menandakan Kelud sedang mulai tak baik-baik saja. Mbah Semar akan menyertai perjalanan dan kepemimpinan Satrio Piningit. Tetapi saya tidak tau, kelak Satrio Piningit apakah akan menjadi Presiden atau justru ulama terkenal yang sering serawung dengan masyarakat kecil seperti Cak Nun.
Kelak bisa aja kita kembali. Memakai sistem kerajaan peninggalan nenek moyang kita. Bukan demokrasi dan UU bikinan Belanda, yang bisa dipesan UU nya oleh para kaum elite negeri ini. Lalu siapakah Satrio Piningit itu? Bisa kalian baca di serat Jangka Jayabaya dan Uga Wangsit Siliwangi.
Sesungguhnya dimensi gaib dan dimensia nyata (alam manusia) hanya terhalang hijib yang sangat tipis. Di Merapipun tak semua penghuninya sosok baik dan positif. Di sana ada pula Mak Lampir dan abdinya Gerandong, tepatnya disepertiga ketinggian sebelah kanan Merapi.
Istananya berdiri kokoh di sana. Tugasnya menyesatkan bangsa manusia. Sayapun beberapa kali berurusan dengan nenek tua keriput, bertaring, dan berekor tajam kaya pedang ini. Mbah Semar yang marah dan nagih janji itu gak bener. Pemahaman yang perlu kita tepis dan hilangkan. Percayalah Mbah Semar sosok yang sangat positif. (*)
Sudah lama memang Merapi batuk, mengeluarkan hujan abu dari pucuknya, sejak terakhir meletus tahun 2010. Banyak kabar angin dari masyarakat yang bilang bahwa 'Merapi meletus mergo Sabdo Palon nagih janji'. Entah apa maksudnya.
Aku sendiri kurang paham sejarah 'perjanjian' Mbah Semar dengan Brawijaya V ratusan tahun silam itu, seperti yang dibicarakan oleh orang-orang Jawa. Aku ingat saat Merapi meletus tahun 2010. Waktu itu, aku masih menginjak kelas 10 Mts (SMP). Bahkan, abunya sampai ke desaku yang jaraknya cukup jauh.
Siang itu, aku sedang di kampus. Membaca artikel terkait erupsi Merapi. Batin terus berdoa semoga semua baik-baik saja. Apalagi masyarakat yang tinggal disekitar kaki gunung. Semoga tidak ada korban, dan tak meletus lagi. Doaku...
Aku penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Merapi? Mengapa gunung gagah itu kerap batuk? Benarkah yang dibicarakan orang-orang? Sejenak aku memejamkan mata, membaca fatihah, merapal doa bagi para leluhur dan penjaga Merapi.
Pikiranku jauh melayang ke puncak Merapi dalam seketika. Aku lihat banyak sekali 'Resi' atau entah apa sebutannya. Mereka semua memakai seragam putih. Seperti sedang beribadah. Memohon petunjuk, memohon perlindungan kepada Tuhan. Semua kepala menunduk, kaki bersila, dan tangan berposisi memuja.
Begitu banyak sosok baik/positif di Merapi. Yang aku kagumi, mereka berdoa demi keselamatan manusia. Padahal banyak sekali manusia yang lupa akan sejarah. Perjuangan dan lelakon hidup para leluhurnya. Banyak yang abai dan tak mau tahu. Tetapi mereka justru memohon keselamatan bagi manusia. Betapa tinggi jiwa ketulusan mereka.
Aku amati hamparan ribuan Resi itu. Mulai dari wanita sampai lelaki dan yang dituakan. Di sepertiga sebelum puncak. Mereka terhampar mengelilingi gunung itu. Lengkap dengan alat ibadahnya. Aku temui satu sosok Resi, sebentar kami bercakap. Aku tanyakan kenapa semua satrio di sini berdoa khusuk dan kenapa Merapi lagi-lagi batuk.
Beliau menjawab yang intinya: 'Ngger, semua yang berdoa di sini tidak ada satupun yang ingin Merapi meletus. Kami semua berdoa kepada Pangeran yang memiliki kehidupan supaya Merapi tidak meletus. Kami tak ingin ada korban, baik dikalangan manusia maupun di bangsa kami'.
Ucapnya begitu halus, kulit keriputnya yang menandakan beliau telah sepuh tapi masih sangat berwibawa dan tegas. 'Tetapi jika memang sudah takdir yang ditetapkan Sang Hyang Widhi. Maka kami juga tak bisa apa-apa. Mungkin Merapi sedang ingin berbicara ngger'.
'Meski orang Jawa sekarang telah banyak yang lupa akan sejarah perjuangan leluhurnya. Dan sedikit yang masih menjaga adat, tradisi, dan budaya Nuswantoro. Kami semua selalu memohon keselamatan bagi bangsa Jawa. Mereka lupa apa itu jawa, lupa anggah-ungguh, lupa sama jati diri'
'Semoga orang Jawa kembali seperti dahulu ngger. Cinta kepada harkat martabatnya sebagai orang Jawa.' Aku memohon pamit kepada beliau. Aku buka pelan-pelan mataku. Saat itu juga angin yang lumayan besar bertiup, berputar didekatku.
Rupanya aku dihantar balik oleh beberapa sosok Panglima dan prajuritnya. Mereka mengucapkan terimakasih dan hilang setelah aku hadiahi fatihah. Apa yang beliau sampaikan sebenarnya memakai bahasa jawa. Tapi aku lupa kalimatnya, karna seperti bahasa Keraton.
Waktu itu aku hanya langsung paham apa yang beliau katakan. Aku minta maaf jika tak mampu dan tak hafal untuk menulis bahasa itu, sebab aku orang Sunda. Apapun yang beliau sampaikan semoga kita mampu mengambil hikmahnya. Aku tak memaksa kalian percaya atau nggak.
Aku hanya ingin berbagi, supaya jangan menyalahkan bangsa mereka atas erupsi Merapi ini. Malamnya, lewat mimpi aku kembali berkunjung ke sana. Mengobrol lebih intens dan ikut sembahyang bersama mereka. Tapi untuk hal ini gak bisa aku ceritakan. Biar jadi konsumsi pribadiku sendiri.
Banyak orang yang percaya bahwa Syech Subakhir melakukan peperangan dengan bangsa gaib tanah Jawa selama 40 hari 40 malam, yang dipimpin oleh Mbah Semar/Sabdo Palon. Karna peperangan tak kunjung usai, atau bisa dikatakan Mbah Semar mulai kewalahan.
Akhirnya beliau mengizinkan Syech Subakhir menyebarkan islam dengan beberapa syarat. Apa yang saya tulis ini menjadi kepercayaan turun temurun masyarakat Jawa. Mereka memandang bahwa Mbah Semar ialah tokoh jahat yang tak mengizinkan islam masuk di Nusantara.
Padahal Mbah Semar yang memiliki nama asli Ki Semar Badranaya berunding dengan Syech Subakhir. Yang mana Mbah Semar mengizinkan Syech Subakhir menyebarkan agama Islam. Dengan syarat salah satunya adalah membiarkan adat dan budaya bangsa Jawa tetap berkembang seperti seharusnya.
Mbah Semar lantas mengiznkan pula penguasa dan Raja-raja untuk menganut agama Islam. Apa yang dipercayai sebagai peperangan antara Syech Subakhir dan Mbah Semar itu menurut penulis ialah keliru. Mbah Semar bukan berarti membenci agama Islam.
Beliau hanya menguji sejauh mana kemampuan Syech Subakhir oleh sebab beliau akan membawa suatu perubahan yang besar. Peperangan itupun tak dimenangkan oleh salah satu pihak. Sebelum Syech Subakhir bermusyawarah dengan Mbah Semar terkait maksud kedatangan beliau ke tanah Jawa.
Syech Subakhir telah menanamkan punjer/pasak di tempat-tempat paling angker dan tempat yang memiliki daya magis luar biasa. Dengan cara menyebarkan hawa yang sangat panas agar jin-jin/bangsa lelembut yang sakti mandraguna tidak betah berada di situ dan akhirnya berpindah ke lautan.
Jadi pasak yang ditanam Syech Subakhir bukan hanya ada di Gunung Tidar. Tidar sendiri dipercaya sebagai tempat moksahnya Syech Subakhir dan beliau dipercaya sebagai sosok yang menjaga gunung Tidar. Banyak masyarakat yang kurang hati-hati dalam mempercayai sejarah dan menelannya mentah-mentah.
Banyak juga yang percaya bahwa Ki Semar Badranaya dikenal sebagai Sapu Angin dan Sapu Jagad. Padahal mereka adalah sosok yang berbeda. Makam Sapu Angin dan Sapu Jagad berada di kawasan Sitinggil, Mojokerto, yang juga merupakan tempat petilasan Brawijaya V.
Mbah Semar nagih janji sebenarnya berasal dari serat karya R. Ronggowarsito yang berbunyi : Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji. Takdir nusa sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung zaman Islam, musnah kembali kepadaku.
Agama Budi berdiri kembali. Saya tak tau apa itu agama Budi. Yang saya tau agama Kapitayan, kepercayaan Kepada Sang Hyang Widhi. Tetapi agama ini juga mengambil saripati kebaikan dari semua agama. Serat inilah yang menjadi asal muasal masyarakat Jawa percaya istilah 'Sabdo Palon nagih janji'.
Sabdo Palon nagih janji sebenarnya hanyalah cerita adu domba bikinan kolonial. Tujuannya jelas supaya bangsa kita membenci leluhurnya sendiri dan akhirnya melupakan jasa-jasa nenek moyang kita. Jadilah seperti sekarang ini, bangsa kita carut marut tak jelas oleh sebab pemimpinnya tidak mengambil hikmah dari warisan yang telah dikasih nenek moyang kita.
Masyaraktnya sendiri tak peduli dan tak mau mempelajari bagaimana sebelum bangsa ini berdiri, ada banyak kerajaan yang sangat maju. Harusnya dijadikan cermin bagaimana negara ini dijalankan. Cerita bikinan kolonial lainnya ialah seperti mitos dilarangnya orang Jawa dan Sunda menikah.
Oleh sebab perang Bubat antara Majapahit dan Padjajaran. Lagi-lagi sebagian masyarakat percaya cerita yang tak pernah terjadi itu. Sedikit sudah saya tulis, bisa kalian cari di media. 'Mitos orang Jawa dan Sunda menikah'.
Bagaimana mungkin Mbah Semar, seorang penasihat Raja-raja nagih janji setelah 500 tahun keruntuhan Majapahit, dengan cara meledakan gunung? Bagaimana bisa ia membenci rakyat yang sangat ia cintai dan doakan kebaikan setiap hari?
Mbah Semar dipercaya moksah di Alas Purwo, Banyuwangi. Kelak suatu hari beliau akan kembali menasehati raja dan pemimpin kita, yaitu Satrio piningit. Tak lama lagi, sebentar lagi. Satrio Piningit akan lahir. Percayalah. Jika Mbah Semar keluar, bukan hanya Merapi yang meletus, tapi akan ada 17 gunung meletus.
Bumi udah tua, bumi tak mampu menampung keberadaan beliau. Tapi Satrio Piningit ialah penyeimbang alam semesta, saat ia lahir, Mbah Semar akan keluar tanpa satupun gunung meletus. Tetapi bisa saja, jika Tuhan menggariskan meletus. Mungkin sehabis Merapi, Semeru, dan Kelud akan ikut batuk.
Saya melihat bagaimana Kebo Kicak (penjaga Kelud) meraung. Menandakan Kelud sedang mulai tak baik-baik saja. Mbah Semar akan menyertai perjalanan dan kepemimpinan Satrio Piningit. Tetapi saya tidak tau, kelak Satrio Piningit apakah akan menjadi Presiden atau justru ulama terkenal yang sering serawung dengan masyarakat kecil seperti Cak Nun.
Kelak bisa aja kita kembali. Memakai sistem kerajaan peninggalan nenek moyang kita. Bukan demokrasi dan UU bikinan Belanda, yang bisa dipesan UU nya oleh para kaum elite negeri ini. Lalu siapakah Satrio Piningit itu? Bisa kalian baca di serat Jangka Jayabaya dan Uga Wangsit Siliwangi.
Sesungguhnya dimensi gaib dan dimensia nyata (alam manusia) hanya terhalang hijib yang sangat tipis. Di Merapipun tak semua penghuninya sosok baik dan positif. Di sana ada pula Mak Lampir dan abdinya Gerandong, tepatnya disepertiga ketinggian sebelah kanan Merapi.
Istananya berdiri kokoh di sana. Tugasnya menyesatkan bangsa manusia. Sayapun beberapa kali berurusan dengan nenek tua keriput, bertaring, dan berekor tajam kaya pedang ini. Mbah Semar yang marah dan nagih janji itu gak bener. Pemahaman yang perlu kita tepis dan hilangkan. Percayalah Mbah Semar sosok yang sangat positif. (*)