Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kasmaran Belajar

KALAU ditanya apa yang menyenangkan dari pandemi Covid-19, saya akan menjawab salah satunya, punya waktu belajar lebih banyak dari hari sebelumnya. Belajar teknologi, mengendalikan emosi, mengasah kembali keguruan saya, melalui berbagai webinar, dan membaca buku yang di hari normal menunggu weekend tiba baru disentuh.

Tapi, bagi profesor satu ini, masa pandemi sangat berjasa karena berhasil menghapus Ujian Nasional (UN) di Indonesia. Itulah bedanya guru kecil (seperti saya) dan guru besar (seperti beliau). Beda jarak mikirnya.


Prof Iwan Pranoto bilang, menjadi peluang merevolusi pendidikan, dan kesempatan ini hanya datang sekali, Jangan dilewatkan. Pendidikan di semua negara berhenti sejenak, dan kita akan memulai kembali dalam waktu yang tidak terlalu berbeda.

Seharusnya Indonesia bisa segera melesat dengan sistem yang baru dan bersaing dengan negara lain. Guru besar FMIPA ITB ini bicara soal “Kebangkitan Kasmaran Belajar”. Anda yang pernah kasmaran pasti bisa merasakan gimana geregetnya.

Berada di puncak kebahagiaan, karena melakukan sesuatu dan akhirnya tenggelam keasyikan sampai lupa waktu dan lupa segala-galanya.

Sebelum pandemi, pendidikan di Indonesia tampak baik-baik saja.  Prof Iwan menganalogikan, seperti pesan bijak 'sebelum musim hujan, kita harus memperbaiki atap rumah kita' atau 'Seperti bajing yang menyimpan makanan sebelum musim dingin'.

Demikian pula pendidikan di Tanah Air, harusnya sudah kita benahi sejak lama namun kita lalai. Saat ini, bagaikan rumah yang berada di musim hujan. Banyak lubang di atap. Banyak air masuk. Rumah tidak nyaman bagi penghuninya.

Apakah Anda merasakan juga?

Saat pandemi, lebih dari 1 miliar siswa di seluruh dunia berhenti belajar. Bagaimana Indonesia? Hanya sebagian kecil guru dan siswa dapat melanjutkan belajar secara daring. Sebagian besar tidak karena minim akses gawai dan internet.

Boleh dibilang pendidikan di Indonesia ini berhenti. Sebelum musim ‘hujan’, seharusnya Indonesia membenahi sistem pendidikan dengan menggarap secara serius bahan belajar visual dan nirguru, mempersiapkan infrastruktur internet hingga ke pelosok, mempermudah akses guru dan siswa terhadap gawai.

Selain itu, kebijakan belajar segera diubah. Sebelum masa pandemi, UN menjadi salah satu cambuk bagi siswa Indonesia untuk belajar,   kini tak ada lagi. Anak-anak Indonesia ‘lumpuh’ seketika tanpa kehadiran UN dan tanpa kehadiran guru.

Tentu bukan situasi seperti ini yang diinginkan Indonesia di masa depan. Kasmaran belajar bisa disemai sejak kini. Karakter anak yang merasa ingin selalu belajar dan tenggelam dalam keasyikan belajar menjadi kecakapan tersendiri yang harus dimiliki anak-anak Indonesia di masa depan.

Situasi ini menantang jutaan guru untuk mengubah haluan mengajar dan beranjak dari zona nyaman yang melenakan selama ini. Membentuk anak-anak yang bisa merasa kasmaran belajar dapat dimulai dari memberikan kesempatan anak-anak untuk belajar di mana saja, dari mana saja dan membiarkan dirinya sendiri menjadi guru utama.

Memberikan kesempatan belajar kepada anak sebagai suatu kesempatan yang penuh kenikmatan dan makna bagi mereka yang utama, bukan bagi guru. Mengganti kerahasiaan dan kecurigaan dalam belajar dengan keterbukaan dan kepercayaan.

Menganggap semua unsur dalam pendidikan adalah subyek, bukan objek. Siapa yang bisa berkontribusi untuk membentuk anak-anak yang kasmaran belajar? Saya sebagai guru bisa, Anda sebagai orang tua bisa, Anda sebagai siswa juga bisa.

Semua yang berada di dunia pendidikan dapat menjadi agen perubahan. Seperti disampaikan Prof Iwan Syahril, narasumber lain, sekolah harus menjadi unit yang inovatif. Tapi inovasi tidak bisa terjadi pada ekosistem yang mengekang.

Ketika saat ini sekolah ‘berpindah’ ke rumah, ini menjadi refleksi bagi setiap guru dan orang tua, apakah ekosistem tempat anak-anak kita belajar sudah memberikan kenyamanan belajar?

Atau sekolah, guru dan orang tua masih menjadi ekosistem yang mengekang bagi inovasi-inovasi yang mungkin muncul di masa pembelajaran jarak jauh ini.

Interaksi secara nyata yang hilang saat masa pandemik ini pada akhirnya dapat membawa dampak positif di sisi lain. Interaksi secara maya membuat guru dapat mengamati keaktifan setiap siswanya, dan guru bisa semakin personal mengenal siswanya.

Prinsip kerahasiaan dan batasan waktu dalam assesmen tak lagi relevan, yang justru semakin diutamakan adalah prinsip kepercayaan dan kebaikan.

Ketika situasi ini terbentuk dalam waktu yang lama, maka guru harus benar-benar mempersiapkan pembelajaran yang dapat memnyemai anak-anak dengan perasaan selalu kasmaran pada belajar.

Dalam masa pandemi Covid-19, guru dan orang tua dapat semakin menjadi partner yang berjalan bersama untuk menemani dan mendampingi anak-anak belajar dengan rasa kasmarannya. Ini menjadi warisan terbaik bagi anak-anak karena sesungguhnya manusia adalah makhluk pembelajar sepanjang hayat.

Tulisan ini saya sadur dari “Webinar Arah Pendidikan Indonesia Pasca Pandemi Covid-19” yang digelar oleh Universitas Sanata Dharma, 21 Mei 2020, di kanal youtube : Humas USD.

Webinar dimoderatori Prof Anita Lie (Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya) dan menghadirkan pembicara :
1. Iwan Syahril PhD (Dirjen GTK Kemendikbud RI)
2. Iwan Pranoto PhD (Guru besar FMIPA ITB)
3. Johanes Eka PhD (Rektor Universitas Sanata Dharma)

Secara keseluruhan ketiga narasumber menyampaikan pemikirannya masing-masing yang beragam, saling melengkapi untuk memberikan pandangan kepada saya dan Anda tentang  arah pendidikan Indonesia setelah masa pandemik ini berlalu.

Pada akhirnya, kita dapat bersama-sama berada dalam satu perahu pendidikan Indonesia yang sudah direncanakan untuk melaju lebih cepat oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim. (*)

Oleh : MM Verawati
Guru Biologi SMP Katolik Santa Clara
vivamariavera@gmail.com


Naskah ini sudah tayang di Majalah DIAN TARA Edisi 16 Tahun 2020.
Auto Europe Car Rental