My Secret Boy
Tanpa banyak bicara, aku mengangguk pelan. Wajah Bu Nana menunjukan sebuah kelegaan menerima persetujuanku. “Baiklah, tolong ya.” Kemudian beliau menghilang di balik pintu perpustakaan. Kini hanya tersisa aku dan buku-buku tua yang tertata rapi di rak-rak itu.
Aku mengeluarkan buku sketsa, dan tepak pensil, tempat alat-alat menggambarku. Ketika aku menoleh ke luar jendela, sosok itu tak ada di sana.
Akhir-akhir ini, aku mendapati wajahku berpaling dari buku yang kubaca ke arah jendela. Tanganku bergerak untuk mencetak sosok wajah itu pada buku sketsaku. Sosok itu begitu indah. Seorang pemuda tinggi dengan wajah yang unik dan mata sewarna emerald yang menawan. Tanpa kusadari, aku tertarik pada sosok itu.
Aku mulai mengikutinya. Setiap hari aku ada di perpustakaan untuk menatapnya dan
melanjutkan menggambar wajahnya. Haha, kalian pasti berpikir aku ini stalker kelas teri, ‘kan? Terserah, yang kutahu, tiba-tiba saja buku sketsaku sudah dipenuhi oleh wajahnya. Hampir tiap halaman itu.“Apa itu aku?” Suara itu membuyarkan lamunanku. Ketika aku mengangkat kepala, sosok itu berada di hadapanku, menatapku lekat-lekat, dengan kedua iris hijaunya yang seakan menghisap.
Aku yakin benar sekarang warna wajahku adalah merah. Dengan gerakan refleks, aku berdiri dan menarik buku gambarku dari hadapannya. Nampaknya perlakuanku itu cukup
membuatnya bingung setengah mati. Bagaimana tidak? Selama ini, aku mengawasi dan melukis wajahnya diam-diam! Di luar dugaan, pemuda itu tersenyum padaku. Ah, senyumnya yang menawan itu. “Namaku Rick, kau?” Ia menanyakan namaku, aku menjawab dengan suara pelan. “Renee.”
![]() |
foto : flickr |
“Oh, Renee! Nama yang bagus. Apa kau menggambarku?” Pertanyaan itu menusuk sekali ke hatiku, dan berhasil membuatku panik sehingga langsung meminta maaf padanya “Ma-maaf, aku bukannya mau menstalkingmu atau apapun!” Aku panik,“A-aku..” Tampaknya seluruh kalimatku tercekat pada tenggorokan, tapi Rick tak kelihatan marah “Aku suka, kok.” Dia tersenyum.
“Kenapa kamu di sini sendirian?” Sekali lagi pertanyaan itu bagaikan peluru yang telak mengenai jantungku. “A-aku nggak punya teman. “Eh? Kenapa?” Duh, orang ini nggak peka atau apaan, sih? Hal seperti itu hal pribadi! Kenapa aku harus menceritakannya pada orang asing macam dirimu?
Tanpa kusadari, butiran air hangat mengalir turun dari pelupuk mataku dan membasahi pipiku. Ah, aku bodoh sekali, menangis seperti orang cengeng begini di hadapannya, malu banget! Di luar dugaanku, Rick mengulurkan tangannya dan meraih kepalaku, kemudian menempelkan dahinya dengan dahiku.
Wajah kami begitu dekat, membuatku bahkan tak berani menatapnya. Aku yakin wajahku memerah sekarang. Suaranya yang lembut mengalir di telingaku. “Tenang saja, aku akan menjadi temanmu. Ah, saatnya aku pergi!” Dia melirik jam yang telah menunjukan pukul 3 sore, kemudian melambaikan tangannya padaku. “Bye, Renee.”
***
HARI itu, semua terasa begitu berbeda. Aku mengikuti nasihat Rick, dan kau tahu? Teman-temanku mulai bicara padaku. Mereka bahkan meminjamiku beberapa komik dan bahkan minta aku menggambar wajah mereka. Kini, buku gambarku telah penuh, dan berangsur-angsur wajah itu menghilang dari buku sketsaku. Aku mulai jarang mengunjungi perpustakaan. Aku jarang menemuinya. Aneh juga kalau dipikir. Aku satu sekolah dengannya, tapi aku tak pernah menemuinya di luar perpustakaan sejak hari itu. Penasaran, aku mengunjungi perpustakaan hari itu. Jam demi jam berlalu,
aku bernostalgia ketika aku dulu masih di sini sendirian, tak memiliki teman dan hanya memandangnya dari kejauhan. Lucu, bagaimana aku bisa berubah dalam beberapa hari karena orang yang baru kukenal sehari saja.
Aku terus menunggu, hingga akhirnya jam 3 sore berlalu. Ke mana dia? Aku tak melihatnya. “Apa dia tak datang, ya?” Aku mendesah, dan Bu Nana si penjaga perpustakaan mendengarku. “Kau menunggu siapa?” “Ah? Teman, namanya Rick” “Rick? Aku tidak pernah mendengarnya.”
Aku tersenyum “Dia sering bermain di halaman, aku melihatnya dari jendela perpustakaan, ini ada gambar wajahnya.” Aku membuka buku sketsaku, dan betapa terkejutnya aku menemukan bahwa buku itu telah kosong, dan gambar-gambar wajah Rick menghilang dari sana. “Ti-tidak mungkin!” aku melangkah ke belakang hingga menabrak lemari buku, dan buku-buku di belakangku berjatuhan.
Salah satu buku yang cukup tebal jatuh dan terbuka di sampingku, di sana ada sebuah foto. Orang dalam foto itu tak asing bagiku. Aku langsung mengambil buku itu dan memperlihatkannya pada Bu Nana. “Ini, Bu! Ini Rick! “ wajahku nampak girang, tapi anehnya, wajah Bu Nana nampak sedih.
Aku memasang raut kebingungan, kenapa dia sedih? Bu Nana memegang pundakku. Air mata mengalir melalui pipinya yang telah dipenuhi kerutan. “Rick itu alumnus sekolah tiga tahun yang lalu. Dia meninggal tiga tahun yang lalu, karena kecelakan jam tiga sore..” Iris mataku melebar. Aku tak percaya apa yang dikatakan Bu Nana. “Bohong!” pekiku. “Aku kemarin berbicara padanya! Dia ada!” Aku memegangi dahiku. Kemarin dahinya menempel di sini.” Air mataku menetes, aku tak percaya.
Aku berlari ke luar dari perpustakaan, menuju halaman di mana Rick biasanya berada, dan menemukan sosok itu, beridiri di samping sepetak tanah dengan banyak bunga tulip bermekaran di sana. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum, “Hei, Renee.” “Rick.. Kamu..”. Dia langsung menukas, “Iya, aku sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Aku selalu di sini, menanti seseorang melihatku dan menyapaku, dan kau ada di sana.”
Dia memetik salah satu tulip, dan memberikannya padaku. “Kau tahu arti bunga tulip?” Aku menggeleng pelan. Dia mendekatkan wajahnya padaku, kemudian berbisik di telingaku, “Artinya, aku mencintaimu.” Sedetik setelah mengucapkan kalimat itu, Rick menghilang,
menguap, entah ke mana.. Menyisakanku beridiri sendirian di sana, menggenggam bunga tulip yang ia berikan. (regina nathalia dan maria felicia limanjaya)