Ini Cara Baru 'Menjebak' setelah Bermain ‘Kuda-kudaan’
Kira-kira waktu itu, masuk abad 25 sebelum Masehi. “Saya mau menginap di sini dua hari,” kata si Hulubalang kerajaan ini kepada penerima tamu. “Saya pesan dua kamar ya, satu buat saya, satu buat pembantu saya ini.”
Si penerima tamu mengiyakan sambil menyampaikan permintaan maaf, karena tidak ada kamar yang terhubung (connecting room). Sang Hulubalang tidak mempersoalkan. Jadilah, dia mendapatkan Kamar No 18 dan si pembantu No 16.
Berada di kamar sendirian, malam pertama, terasa sepi. Hanya bantal dan selimut yang menemani. Satu-satunya teman hanya kentongan kecil, sebagai alat komunikasi untuk memanggil sang pembantu. Maklum, di abad itu teknolagi belum semaju sekarang, ketika setiap orang punya ponsel.
Malam kedua, si Hulubalang mulai iseng. Dia tak ingin sekadar bersama bantal dan selimut kami. Dia mencari ‘selimut kulit’ yang hangat membara, apalagi sedang musim hujan di kampung halaman. Dia mendatangi penerima tamu.
“Adakah burung merpati yang dapat mengirim surat kepada seseorang,” tanya si Hulubalang. “Untuk keperluan apakah Tuan Hulubalang,” tukas si penerima tamu. Hulubalang lantas memberika kode ‘jempol kecepit’. Si penerima tamu manggut-manggut.
“Kalau yang seperti itu saya ada stok, Tuan,” kata si penerima tamu. “Soal tarif, bisa ditawar. Kasih saja 750 keping perak saja, dia sudah senang sekali. Dia hanya rakyat biasa di sini, jadi nggak akan nuntut tarif banyak-banyak, asal bisa menghidupi anak satu-satunya.”
Si Hulubalang Kerajaan Rendang Negari tersenyum. “Eh, tapi gimana caranya, biar tidak ketahuan rakyat jelata yang lain. Kalau ketahuan saya melakukan ‘jempol kecepit’ kan berabe, saya bisa didemo berjilid-jilid.”
Tiba-tiba muncullah sang pembantu Hulubalang. “Begini Tuan, biar tidak ketahuan rakyat jelata, Tuan bisa pakai kamar saya. Kalau ada rakyat yang ronda keliling, kan mereka tahunya itu kamar saya. Saya jamin, aksi Tuan tidak ada yang tahu.”
Sang Hulubalang tersenyum. Dia lantas memberikan kode kepada si penerima tamu untuk berangkat memanggil ‘selimut kulit’ dari warga biasa itu. Sang Hulubalang sendiri lantas masuk kamar sang pembantu, dan si pembantu, duduk di teras depan rumah, mencegah siapapun agar tidak masuk.
Ringkas cerita, si penerima tamu sudah datang membawa ‘selimut kulit’ warna kuning langsat. Tidak terlalu tua dengan tampilan oke, yang pasti bagian depan ‘nyengkir gading’. Mantap pokoknya. Entah apa yang terjadi, sang pembantu setia menunggu di teras.
Tapi, baru satu tegukan kopi tubruk. Warga yang biasa ronda keliling datang. Mereka naik kuda. Suara lari kuda terdengar dari teras membuat si pembantu Hulubalang, panik. Dia lantas berjalan cepat menuju Kamar 16 dan berharap ‘permainan kuda-kudaan’ di kamarnya sudah selesai.
Si pembantu mengetuk pintu. Setengah berteriak dia memanggil sang Hulubalang. “Tuan, Tuan, ada warga yang ronda keliling, datang.” Dari dalam terdengar balasan. “Udah selesai ini ‘kuda-kudaannya’, baru saja.”
Sang Hulubalang keluar Kamar No 16, hanya mengenakan gombal untuk mengelap sekujur tubuh seusai mandi. Sang pembantu membawakan celana dan pakaian kerajaan. Keduanya lantas masuk ke Kamar No 18, meninggalkan ‘selimut kulit’ yang kuning langsat termangu-mangu di Kamar No 16.
Si penerima tamu bersama warga yang ronda keliling mendatangi Kamar No 16. Terjadi keributan. ‘Selimut Kulit’ berteriak-teriak, tidak terima dengan perlakuan yang diterima. “Saya sudah rela ditawar untuk bermain kuda-kudaan. Begitu selesai bermain kok malah menghilang, saya dibiarkan sendiri di sini.”
Gaya sang Hulubalang Kerajaan Rendang Negari muncul. Sambil mengenakan baju kerajaan dia mendatangi biang keributan di Kamar No 16. “Ada apa ini, ada apa Pak Ronda. Saya Hulubalang Raja. Memang ini kamar saya yang pesan tapi saya sedang bertugas dalam misi kerajaan. Mencari para ‘selimut kulit’.”
“Maaf, Tuan, maaf, Tuan. Kami tidak tahu kalau Tuan sedang menyamar. Tuan luar biasa sekali, sampai turun langsung ke lapangan. Padahal, ini kan tugas kami sebagai Peronda Keliling. Lain kali, biarlah Tuan urus kerajaan, biar yang seperti ini jadi urusan kami saja,” papar si Peronda.
Dari belakang meja, si penerima tamu melihat dengan sedih si “Selimut Kulit” yang digiring Peronda Keliling keluar rumah sewa itu. Dia menatap dengan sedih karena tahu si ‘Selimut Kulit’ rumahnya tak jauh dari tempatnya tinggal. Kehidupannya di bawah warga jelata lainnya.
Seperti tahu tatapan si penerima tamu, si ‘Selimut Kulit’ berhenti di pintu masuk rumah sewa itu. Dia menoleh kepada si penerima tamu. “Abang, sang Hulubalang itu belum memberi saya 750 keping perak. Tolong tagihkan ya, dan berikan pada anakku di rumah.” (*)
Disclaimer : Cerita ini hanya fiksi belaka, kalau ada kesamaan tokoh, tempat, dan alur cerita, itu hanya kebetulan saja. Foto hanya untuk ilustrasi.