Cara Memaknai Jurnalisme Era Kekinian
Kalau dari Teori Hierarki Pengaruh Media yang dirumuskan Shoemaker and Reese (2014), amat jelas pengaruh pemilik media seperti Harry Tanoesudibyo terhadap framing dan agenda setting berita seperti di okezone.com di bawah ini: "meminjam mulut" pengamat politik untuk menyudutkan Paslon Gubernur/Wakil Gubernur Jakarta yang tidak dia dukung.
Kiranya Dewan Pers tidak berpangku tangan melihat berita-berita sampah seperti ini. Untuk perhatian Stanley Adi Prasetyo, Nezar Patria, dll.
Senin, 6 Maret 2017 - 06:20 wib
Sadar Akan Kalah di Pilgub, Ahok Dinilai Sengaja Ngambek untuk Jatuhkan KPU DKI
JAKARTA - Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta nomor urut 2, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat meninggalkan acara rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta dengan alasan acara tak kunjung dimulai.
Pengamat politik Network for South East Asian Studies (NSEAS) Muchtar Effendi menilai, sikap walk out Ahok-Djarot Hidayat tersebut direncanakan dengan tujuan menurunkan kepercayaan publik dan meninggalkan kesan KPU DKI Jakarta tidak profesional.
"Pandangan kritis sikap Ahok ini direncanakan untuk menurunkan kepercayaan atau persepsi positif publik terhadap KPUD, dibangun opini publik bahwa KPUD tidak profesional," kata Muchtar kepada Okezone, Senin (06/3/2017).
Alumnus UGM itu menambahkan, Ahok bersama timnya sudah menyadari akan keok di putaran kedua, sehingga menggunakan cara tersebut untuk mendapatkan simpati publik dan medelegitimasi kemenangan pasangan Anies-Sandi saat menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Hal ini dilakukan karena tim Ahok sudah paham, paslon Ahok akan kalah dalam putaran kedua. Mereka akan medelegitimasi kemenangan paslon pesaing melalui Mahkamah Konstitusi. Adanya kesadaran kalah putaran kedua menyebabkan sikap Ahok seperti ini," pungkasnya. (kha)
Penilaian terhadap pemberitaan okezone, yang dianggap sebagai jurnalisme sampah di atas ditulis oleh Irwan Julianto, mantan wartawan Kompas ini dan sekarang dosen di Universitas Multimedia Nusantara. Memang Irwan tidak mengada-ngada. Saat ini, ada perubahan media terhadap pemberitaan yang dilakukannya.
Praktisi seperti HR Farug juga mengungkapkan, dari sekian tahun yang saya perhatikan, 'wajah' jurnalistik sudah berbeda, sekarang, banyak perorangan/penulis/wartawan yang menulis bukan berangkat dari 'hati', tapi ada 'niat lain' yang menyertainya.
'Niat lain' itu bisa saja, menulis untuk mencari uang, menulis untuk dipuji, menulis untuk mencari popularitas, menulis untuk menjatuhkan orang lain, menulis untuk sensasi belaka, dan tulisan-tulisan lain yang sebenarnya masuk dalam ranah 'niat negatif'. Kalau Anda penulis/wartawan yang demikian, semoga tidak banyak di tempat lain, karena Anda akan merusak tatanan dan kesejahteraan masyarakat, daerah, hingga bangsa ini.
Pun, melihat media-media yang tumbuh seperti jamur seperti zaman sekarang, rasanya sangat disayangkan sekali bila berbuat demikian, bahwa media dijadikan "lumbung" bagi tindak negatif, "sarana" keburukan. Saya sudah biasa mendapat "serangan" negatif lewat media, saya acuhkan, saya tidak akan meladeninya karena ia bukan seorang penulis sejati, kebetulan saja bisa menulis dan memakai "topeng" jurnalistik.
Mengutip Harja Saputra dalam tulisannya di Kompasiana, dikatakan, jurnalisme, baik reportase maupun opini, bukan penilaian sepihak apalagi bermaksud menyebarkan kebencian. Jurnalisme itu harus sesuai dengan konsep dasar 5W + 1H.
1. Harus dilihat apa yang terjadi. Dalam mendeskripsikan apa yang terjadi, harus dilihat secara berimbang, istilahnya cover both side. Hal ini untuk menghindari bias subyektivitas dari pewarta berita.
2. Siapa pelakunya: ketika menyoroti pelaku maka kaidahnya tidak boleh menggeneralisasi karena fokusnya pada apa yang ditulis, logika generalisasi sangat berbahaya. Karena jurnalisme tidak mengenal generalisasi. Jurnalisme adalah menyajikan suatu fakta atau kejadian yang jelas tidak semua terwakili oleh kejadian itu. Karena suatu kejadian sifatnya induktif (kasus khusus).
Generalisasi bisa dilakukan kalau ia melakukan penelitian terhadap seluruh obyek yang ditulis. Misal, penilaian tentang “Semua DPR atau anggota parpol adalah Koruptor”. Dari mana bisa menyimpulkan bahwa semua anggota DPR atau anggota parpol adalah koruptor? Kalau jawabannya: “Ya karena dari berita-berita yang ada”. Pertanyaan selanjutnya, “Apakah semua (semua itu seluruh alias all alias kabeh) seperti itu? Apakah Anda telah melakukan penelitian terhadap seluruhnya?”
3. Di mana itu terjadi: kata di mana menunjukkan tempat. Artinya ada batasan wilayah, apa yang terjadi di sini belum tentu terjadi di tempat lain. Tempat dibatasi oleh ruang. Ketika ruang berbeda maka bisa jadi kasusnya akan berbeda. Tidak bisa digeneralisasikan semuanya ketika tempatnya berbeda.
4. Kapan itu terjadi: kapan menunjukkan waktu. Dengan kata lain ada batasan timeline, tidak bisa digeneralisasi apa yang terjadi hari ini akan terjadi juga besok atau nanti.
5. Kenapa itu terjadi: analisis penyebab harus lebih obyektif bukan dari pendapat pribadi yang absurd apalagi dengan kata-kata provokatif, seperti: “Andai Wakil Rakyat dikubur hidup-hidup, DPR lebih bodoh daripada sapi, dan ungkapan lain”. Ini bukan jurnalisme, tapi umpatan preman.
6. Bagaimana itu terjadi atau bagaimana menyikapi dan solusi: Di sini yang sering meluas kemana-mana. Penilaian terhadap satu kasus dikaitkan dengan “bagaimana” selalu subyektif. Untuk itu diperlukan kearifan dalam menilai. Karena umumnya ketika jurnalis sudah sampai ke tahap “bagaimana” maka pendapat-pendapat pribadi muncul. Bias subyektivitas tidak bisa dihindari.
Ketika 5W + 1 H sebagai konsep dasar jurnalisme di atas tidak menjadi patokan oleh Kompasianer, malah yang terjadi adalah umpatan-umpatan kalimat kotor dari penulisnya, maka jurnalismenya berarti “jurnalisme sampah” karena yang keluar hanya ucapan kotor.
Istilah “Jurnalisme Sampah” mengacu ke istilah yang digunakan oleh Harold Evans, Mantan Editor Senior Majalah Time, ketika ia mengungkapkan arogansi dalam tulisan. Evans, menyebutnya dengan istilah “Junk Journalism” atau di tempat lain ia menyebutnya dengan istilah “Trash Journalism”, yaitu ketika arogansi muncul dalam tulisan dengan menggunakan kata-kata kotor.
Semua tulisan adalah menyampaikan pesan kepada orang lain, baik opini maupun reportase pasti mengandung 5W1H, tetapi jangan ada generalisasi apalagi dengan perkataan kotor. Sampah adalah kotor, maka tulisan yang mencaci-maki, menghujat, over generalisasi, tulisan tersebut adalah tulisan Jurnalisme Sampah.
Sampah dalam tulisan ini bukan berarti suatu tulisan bermanfaat atau tidak bermanfaat itu sampah atau bukan, tetapi lebih pada bahasa yang digunakan, karena bahasa adalah nyawa dari tulisan. Kalau manfaat, setiap orang pasti berbeda dalam menilai tulisan bermanfaat atau tidaknya.
Banyak cara lain untuk mengungkapkan protes dengan tetap santun. Misal sindiran, karena kalau menggunakan bahasa kekerasan yang kotor, berarti mentolerir untuk membiasakan arogan. Anarkhisme dalam tulisan adalah penggunaan cacian dsb. Bahkan jika yang dituju tidak bisa terima dengan umpatan itu bisa kena pasal hukum, yaitu penghinaan atau pencemaran nama baik.
Kalaupun hendak menulis yang sifatnya unek-unek pribadi, maka bukan di Kompasiana tempatnya, karena Kompasiana masih terikat oleh kaidah-kaidah Jurnalisme. Menulislah di Blog pribadi, atau layangkan Surat Pembaca ke media-media cetak. Silahkan keluarkan kata-kata kotor semaunya (itu pun jika tidak diedit oleh editornya, karena koran pasti memuat berdasarkan etika jurnalistik juga).
"Saya berharap, pelaku media (penulis-wartawan-dll) bisa menjadi motor penggerak kebaikan, memuat tulisan-tulisan yang menginspirasi masyarakat untuk maju, bukan memajang tulisan-tulisan yang membuat orang berburuk sangka, mengganggu ketenangan masyarakat, dan "akibat buruk" lainnya.
Mari kita berdoa, semoga para jurnalis bangsa ini setiap hari memamerkan tulisan "mutiara" yang indah dan membahagiakan, bukan tulisan "sampah" yang gaduh dan meresahkan," tukas HR Faruq. (*)