Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cerita Horor Santet Sewu Dino (8) : Ketukan di Pintu Rumah

SEJAHAT itukah keluarga ini? Untuk harga nyawa mereka semua. Terdengar suara orang mengetuk pintu. Erna pun sama, ia langsung berdiri. "Mbah Tamin muleh Sri, ayo takon mbah asu iku, pokoke kudu di jelasno onok opo ambeh cah gendeng iki" (Mbah Tamin pulang Sri, ayo kita tanya orang tua anj*ng itu, dia harus menjelaskan semuanya, ada apa sama anak gila ini." Erna pergi.

Sri baru ingat pesan Mbah Tamin, langsung bergegas bersiap menghentikan Erna. Sri lari mengejar Erna, untungnya,  masih sempat mencengkeram lengan Erna. Mereka terdiam di depan pintu rumah. Suara ketukan itu, terdengar lagi. Setiap ketukan, terdiri dari 3 ketukan. Semakin lama, ketukanya semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat. Sampai, tidak ada ketukan lagi.

Erna dan Sri saling berpandangan, bingung. Keheningan menenggelamkan mereka di dalam rumah itu, sebelum, sesuatu, menggebrak pintu dengan keras, hingga membuat mereka tersentak. Mereka hanya diam, berusaha tidak bersuara, lalu, dari belakang, seseorang melangkah masuk.

Dini, melihat 2 temanya, terlihat kacau balau. Ia bingung, kemudian berujar, "Gak krungu Mbah Tamin nyelok ta, ndang dibukak lawange" (kalian gak denger mbah tamin manggil, buka pintunya). "He, ojok ngawor koen" (jangan ngawur kamu) celoteh Erna. Tapi, Dini memaksa, bahkan Sri yang memegang tangannya, Dini pelototi, sampai akhirnya mereka mengalah.

Dini membuka pintu. Di sana, Mbah Tamin berdiri, ia hanya diam, menatap mereka semua, sebelum melangkah masuk rumah. Anehnya. malam itu, wajah Mbah Tamin tampak merah padam. Ia tidak berbicara kepada mereka, tidak membahas kenapa pintunya tidak langsung dibuka, padahal sudah memanggil-manggil. Sri merasa, Mbah Tamin tahu, ia baru saja lalai terhadap Dela.

Sri dan yang lain, mengikuti Mbah Tamin, beliau, masuk kamar Dela, lalu perlahan, membuka keranda bambu kuning. Ia membukanya, kali ini, tanpa mengikat Dela terlebih dahulu, seakan ingin mengulang kesalahan Sri. Hanya Sri dan Erna, yang memandang hal itu dengan ngeri. Sri mendekat perlahan, ingin melihat lebih dekat apa yang orang tua itu lakukan. Tiba-tiba, mata Dela terbuka, melihat mbah Tamin, menatapnya cukup lama, sebelum menangis meraung layaknya gadis kecil.

"Loro ki, loro" (sakit ki, sakit sekali). Dela hanya menangis. Mbah Tamin hanya bisa membelai rambut Dela, berusaha menenangkanya. Pemandangan itu seperti melihat seorang ayah dan anak yang saling mengasihi. Namun, Sri masih belum mengerti, kenapa, seakan Dela yang ini berbeda dengan Dela yang Sri dan Erna temui tadi.



Apa yang terjadi sebenarnya? "Sing sabar yo nduk, mari iki puncak loromu" (Sabar ya nak, sebentar lagi adalah puncak rasa sakitmu), ucap Mbah Tamin yang terus mengelus rambut Dela. Lalu, Dela melirik, Sri dan yang lain, yang hanya diam mematung. Tatapanya, seakan mengucapkan "terimakasih sudah mau merawat saya."

Mbah Tamin lalu mengikat tangan dan kaki Dela, tergambar wajah sedih di sana. Ia masuk dapur, mengambil sebuah kain putih besar. Saat Mbah Tamin kembali ke kamar Dela, Dela menangis semakin keras. Ia berulang kali mengatkan. "Ojok ki, ojok balekno aku nang kono" (jangan ki, jangan kembalikan saya ke sana). (*)
Auto Europe Car Rental