Cerita Horor Santet Sewu Dino (5) : Bunga Tujuh Rupa untuk Dela
"Mboten Mbah, mbenjeng kulo kedah ngantar ibuk" (Tidak Mbah, besok saya harus mengantar ibu). "Yo wes, ati-ati, ojok langsung muleh, wedine onok iku" (ya sudah, hati hati, takutnya ada itu). "Iku," batin Sri, apa maksud kalimat itu. Apa yang mengikuti sebenarnya, dan ada apa semua ini. Banyak pertanyaan muncul dalam kepala Sri, sebelum, si mbah tiba-tiba bicara. "Metuo ndok, aku roh awakmu nang kunu" (keluar saja nak, saya tau kamu ada di situ).
Sri melangkah keluar, melihat cahaya mobil menjauh, pudar, lalu menghilang. "Celuk'en kancamu, ben ngerti, alasan kenek opo kabeh onok nang kene." (Panggil temanmu, biar mengerti, kenapa kalian ada di sini). Sri memanggil yang lain. Mbah Tamin duduk di sebuah kursi panjang. Matanaya menerawang jauh di teras rumah gubuk sementara Sri dan yang lain berdiri, siap dengan penjelasan tentang semua ini.
Suasana hutan kian mencekam. Setiap sudut pohon seakan hidup dan mengamati mereka, Sri merasa kecil di tempat ini. "Aku isih eling, cah cilik ayu, ceria, ra nduwe duso" (Aku masih ingat, anak kecil, cantik, ceria, belum punya dosa). "Koyok jek wingi yo, tapi, cah cilik iku, sak iki, nang ambang nyowo, perkoro santet menungso laknat!" (seperti baru kemarin rasanya, tapi sekarang, anak kecil itu terbaring sakit, melawan kodrat nyawanya, hanya karena santet dari manusia biadab!!).
Wajah Mbah Tamin menegang, kosa kata kalimatnya seperti penuh amarah, membuat Sri dan yang lain begidik ngeri. "Cah cilik iku, Dela, yo iku, sing nang kamar." (Anak kecil itu Dela, dia yang di kamar). "Santet," ucap Sri dan yang lain bersamaan. Wajah Sri dan yang lain semakin menegang. "Iyo, mangkane, cah iku, digowo nang kene, disingitno, ben isok tahan, sampe ketemu awulurane" (iya, karena itu dia di smebunyikan disini, biar bisa bertahan, sampai ketemu cara memasang santetnya).
"Disingitno saking sinten Mbah" (Disembunyikan dari siapa Mbah?), tanya Sri, yang semakin tertarik. Seakan semua yang ada di tempat itu, membuatnya penasaran. Mbah Tamin menatap Sri. Matanya menyiratkan rasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu. "Akeh sing rung mok erohi, luweh apik gak roh ae" (Banyak yang tidak kamu ketahui, lebih baik tidak tahu saja).
Suasana menjadi hening sesaat. Mbah Tamin mengambil sebuah kotak, mengambil sejumput daun kering dari dalam kotak itu, memelintirnya dengan kertas. Sebelum menyesapnya kuat-kuat, asap mengepul dari mulutnya. "Sak iki, tak uruki tugas'e sampean kabeh yo" (sekarang waktunya saya memberitahu tugas kalian di sini). Mbah Tamin berdiri, ia seakan memberi tanda agar Sri dan yang lain mengikuti.
Ia berjalan di samping rumah. Banyak sekali potongan kayu yang disusun. Memang, rumah ini terlihat mengerikan, dengan pencahayaan yang hanya dari lampu petromaks. Selain itu, kegelapan, ada di mana-mana. Mbah Tamin berhenti tepat di belakang rumah. Ada sebuah pagar bambu, di dalamnya, sebuah sumur. Di sana, tempat untuk mandi, dan tempat mengambil air untuk kebutuhan hidup selama tinggal, termasuk untuk basuh sudo (tubuh mati) Dela yang terbaring tak bergerak.
Hanya Sri yang berinisiatif bertanya, terutama ketika soal memandikan itu. Entah apa dan kenapa, Sri seakan tahu, cara memandikanya pasti tidak sama seperti cara memandikan orang biasa. Hal itu membuat mbah Tamin tersenyum, mempersingkat penjelasan beliau tentang ini semua. "Iyo, cara ngedusine, pancen onok tata carane, salah sijine, kembang pitung rupo" (Iya, cara memandikanya, memang berbeda, ada tata caranya, salah satunya, bunga 7 rupa).
Mbah Tamin menunjuk sebuah tempat khusus. Ada bunga dengan rupa berbeda, di letakkan di atas tempeh. Dengan cekatan, Mbah Tamin mengisi baskom dengan air, mencampurinya dengan bebungaan itu, membawanya ke kamar tempat Dela tertidur. Ia melihat Sri, memanggilnya, Dini dan Erna hanya mengamati saja. Ia diminta mengikat tangan dan kaki Dela. (*)