Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pemerintah dan Parpol Penyumbang Iklan Terbesar

MERUJUK riset Nielsen Advertising Information Services yang dirilis Nielsen Indonesia pada 1 Februari 2017, total belanja iklan di televisi dan media cetak sepanjang 2016 mencapai Rp134,8 triliun. Jumlah ini naik 14 persen dari tahun sebelumnya. Riset Nielsen ini memantau iklan yang mencakup 15 stasiun televisi nasional, 99 surat kabar, serta 123 majalah dan tabloid.

Televisi masih jadi penyokong utama pertumbuhan belanja iklan, yakni Rp103,8 triliun atau 77 persen dari keseluruhan. Sementara belanja iklan di koran sebesar Rp29,4 triliun (22 persen) dan untuk majalah hanya Rp1,6triliun atau menyumbang 1 persen dari total belanja iklan. Belanja iklan di surat kabar, majalah, dan tabloid sedikit menurun dengan adanya penurunan jumlah media yang beroperasi, demikian Hellen Katherina, direktur eksekutif Nielsen Indonesia.

Pemerintahan dan organisasi partai politik masih menjadi pengiklan terbesar dengan nilai belanja iklan Rp8,1 triliun. Musim banjir iklan di media dari kategori nonswasta ini mencapai puncak ketika ada gelaran pemilu, selain untuk mempromosikan kebijakan atau ragam pencitraan lain. Pada tahun ini saja, misalnya, Indonesia menggelar pemilihan kepala daerah serentak gelombang kedua pada 15 Februari, yang diikuti oleh 101 daerah dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

Nasihin Masha mengatakan tren media justru tumbuh dari daerah, yang bikin pasar melebar. "Yang sebetulnya turun itu media nasional. Di masa Orde Baru, koran daerah itu hanya tingkat provinsi saja. Baru sekarang melebar sampai ke kabupaten," katanya. "Market itu justru di bawah yang tumbuh, di nasional yang turun."

Para manajer perusahaan pers di Jakarta dan Surabaya sudah lama menyadari ini. Jawa Pos, misalnya, telah lama bikin jaringan pers daerah, begitu pula Kompas Gramedia lewat jaringan Tribun. Bisnis Indonesia, tempat saya dulu bekerja, punya beberapa kantor perwakilan, dari Medan, Palembang, Pekanbaru, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Balikpapan, Manado, dan Bali.

Biro-biro ini sering menyuplai iklan advertorial di koran. Isinya, tentang kinerja perusahaan atau pemerintah di daerah. Menurut Rezza Aji Pratama, wartawan Bisnis yang pernah enam bulan di biro Balikpapan, beriklan advertorial di Bisnis adalah cara pemerintah daerah untuk menunjukkan muka ke pemerintah atau investor di Jakarta. "Sebab kalau mereka beriklan di media lokal, tentu tak akan sampai ke pusat," katanya.

Untuk mendapat perspektif tentang iklan, saya menemui Rininta Fitriana, direktur kreatif sekaligus manajer bisnis di PT Karya Kreatif Indonesia—perusahaan agensi yang lebih populer dengan nama Creative Center Indonesia.

Sepengalamannya, Ririn—sapaan akrab Rininta—melihat banyak sekali klien yang mengurangi porsi iklan di media cetak. “Gue pernah pegang beberapa bank, mereka masih beriklan di cetak, sih, tapi mereka sudah benar-benar berniat menggeluti digital,” ujarnya.

Ia menceritakan, pada 2009, perusahaan-perusahaan yang menjadi klien masih gencar beriklan di media cetak. Memasuki tahun 2011, iklan di cetak benar-benar dikurangi. Pada 2014-2015, salah satu perusahaan perbankan mengurangi porsi iklan di cetak sampai 70 persen. Porsi itu dialihkan ke radio dan digital.


Ririn menjelaskan, pengiklan itu sebenarnya mengikuti tren pembaca atau audiens. Kalau koran masih banyak yang baca, dan segmennya sesuai target pasar produk pengiklan, ya mereka akan tetap memasang iklan di koran. Kalau pembacanya sudah beralih ke digital, pengiklan tentu menyasar iklan digital.

“Jadi, katanya, “yang harus dipertimbangkan media cetak untuk beralih ke digital seharusnya adalah pembacanya, audiensnya, bukan pengiklan. Pengiklan tentu tak mau memasang iklan ke medium yang sedikit pembacanya, entah itu cetak atau digital.”

Oleh: Wan Ulfa Nur Zuhra - 8 Februari 2017 (tirto.id/bisnis)
Auto Europe Car Rental