Belajar dari Lahir dan Tutupnya Tabloid Bola
Isinya, sesuai namanya, informasi seputar sepakbola. Ia lantas terbit dua kali selama sepekan sejak 1997, dengan oplah yang bisa mencapai 500 ribu eksemplar. Pada 7 Juni 2013, di tengah kepungan informasi bebas baca via internet, manajemen Bola justru menerbitkan Harian Bola. Tak kurang dari tiga tahun, persisnya akhir Oktober 2015, Harian Bola gulung tikar. Tabloidnya tetap terbit, seminggu dua kali.
Apa yang keliru dan bisa dipelajari dari manajemen Bola? Isu sepakbola, olahraga paling digemari tak hanya di dunia tapi juga di Indonesia, berseliweran ketika akses internet semakin mudah, dan orang mulai membaca dari sumber terdekat. Kita bisa membaca artikel Sid Lowe dari The Guardian (Inggris) yang sangat prosais tentang sepakbola di Liga Spanyol; sebaliknya bisa mengikuti pendekatan taktikal Jonathan Wilson, editor The Blizzard, jurnal triwulan yang menulis sepakbola lewat naskah-naskah panjang.
Pendekatan manajemen Bola yang kurang responsif terhadap internet, sekaligus kontennya yang masih bergaya tebak-tebakan skor, tidak lagi diminati oleh para pembaca yang dibesarkan olehnya. Pendeknya, baik tabloid maupun hariannya hanya menyodorkan pintu masuk bagi pembaca mengenal informasi sepakbola. Ketika generasi ini sudah besar, peka terhadap perkembangan internet, mereka lebih memilih bacaan lain yang jauh lebih kaya ketimbang gaya berita sepakbola ala Bola.
“Para wartawan media cetak masih saja menulis sepakbola seperti di zaman monopoli TVRI. Mereka tidak menyadari bahwa pembaca yang tumbuh dan lahir bersamanya telah jauh mengerti tentang sepakbola, dan dunia yang membentuk olahraga yang digemari sejagat ini, daripada mereka sendiri,” tulis Darmanto Simaepa dalam Tamasya Bola (2016) yang berkenalan dengan Tabloid Bola pada 90-an
Ketika Harian Bola terbit perdana, di tahun yang sama, para penulis di balik Pandit Football merilis situswebnya secara mandiri setelah sebelumnya, tulisan-tulisan perdana mereka, dirilis oleh Detiksport sejak 2011. “Itu adalah kegagalan membaca zaman yang paripurna,” kata Wisnu Prasetya Utomo, yang tumbuh remaja lebih belakangan dari Darmanto bersama tabloid dan harian Bola, peneliti media dari Remotivi.
Kegagalan manajemen sebuah media merespons perubahan cara khalayak mendapatkan infomasi, dan kadang-kadang mengabaikan internet sebagai pemicu sekaligus penggilas, tak cuma dialami oleh Bola. Sinar Harapan, harian yang hadir sejak 1961, juga menerbitkan edisi terakhirnya pada 1 Januari 2016. Belum lagi majalah seperti Fortune, Kawanku, hingga Horison.
Tanda itu sudah jelas: membaca tak melulu lewat media cetak. Berita bisa didapat lewat internet. Dan di Indonesia, berbeda dari iklim media massa yang jauh lebih berkembang seperti di Amerika Serikat dan daratan Eropa, mayoritas informasi dari media online ini gratis.
Oleh: Wan Ulfa Nur Zuhra - 8 Februari 2017 (tirto.id/bisnis)