Kisah Altar Kaki Semar Ismoyo di Kelenteng Dharma Bumi Semarang
INI altar Kaki Semar Ismoyo di kelenteng Dharma Bumi, Semarang. Menurut cerita penjaganya, pendiri kelenteng bermimpi disuruh ke daerah Pantai Selatan. Di sanalah, dia mendapatkan batu kaki semar itu. Pesannya, Kaki Semar Ismoyo itu harus diletakkan di kelenteng yang dibangun.
Vihara Avalokitesvara Banten, seberang Benteng Speelwijk. Di antara banyak patung dewa dewi Tiongkok, ada satu altar untuk Empe Banten. Tulisan bahasa Mandarin (China) di salah satu area itu, dibaca wán dān bó. Siapa Empe Banten ini?
"Jawaban itu kemudian dapat saya temukan di Tanjung Kait," kata Ninik Setiawan (@ninik_setiawan) dalam utasnya, Rabu (27/1/2021).
Kelenteng unik di Tanjung Kait ini, bernama Vihara Tri Dharma Cariya. Punya altar untuk Ema Dato Kosambi. Konon katanya, Ema Dato Kosambi ini adalah seorang tabib termasyur dari Bali.
Konon makamnya selamat, tidak tersentuh tsunami Krakatau tahun 1883 saking saktinya. Petilasan untuk Ema Dato Kosambi dan dayangnya, masih eksis, ada bukti-buktinya, termasuk perlengkapan wanita di dalamnya, seperti kasur berkelambu.
Di area kelenteng ini, ada pusara Ema Dato Kosambi yang dimakamkan tahun 1748, beserta dua makam lain milik. Diduga kuat, Empe Banten dan Nyai Banten. Yak, mereka berdua juga tabib dari Bali, yang konon katanya datang bersama Ema Dato Kosambi.
Altar untuk Empe Banten ini sendiri ada di kelenteng-kelenteng daerah Jakarta dan Jawa Barat. Ninik tidak menduga bakal bertemu kuburan dan ceritanya di Tanjung Kait, setelah sekian lama cuman penasaran, siapa sih sebenarnya, Empe Banten ini.
Altar untuk dayang setempat, Neng Dewi, terletak di Bio Kanti Sara, Setu, Tangerang. Neng Dewi ini konon asli Jawa dan berasal dari Tanjung Kait. Ada yang bilang Neng adalah putri dari Tjo Soe Kong, seorang tabib Dinasti Song, dengan perempuan asli Tanjung Kait.
Makam batu ini berada di Kelenteng Pan Kho, Bogor. Selain ruangan ini, ada pula ruangan salat. Dipercaya sebagai petilasan Eyang Jayaningrat dan Eyang Sakee. Ada pula sajadah dan dua kitab suci Alquran di ruangan itu.
Mbah Sakee ini konon katanya adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Area kelenteng dulunya dipercaya sebagai tempat Prabu Siliwangi pernah bertapa, sehingga dikeramatkan dan dibangunkan kelenteng di atas itu oleh orang Tionghoa setempat.
Makam ini konon Mbah Imam, penyebar Islam tersohor di masa Pajajaran. Petilasan di sebelahnya adalah tempat dulu Prabu Surya Kencana pernah bertapa. Tandanya, sebuah macan hitam dan macan putih yang identik dengan keluarga kerajaan Pajajaran.
Sebelum menjadi kelenteng, tempat ini konon sebagai peristirahatan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Karena itu, tempat ini dianggap sakral oleh orang Tionghoa setempat, sehingga dibangunkan kelenteng untuk menyembahyangi tokoh-tokoh itu.
Bagi orang Tionghoa, kelenteng bukan tempat khusus menyembah dewa dewi. Kebanyakan kelenteng dibangun untuk menghormati tokoh tertentu, yang akhirnya dianggap sebagai patron profesi atau kaum tertentu, seperti Guan Gong yang terkenal karena keberanian dan kesetiaannya.
Guan Gong, dulunya hanya seorang panglima ternama dari zaman Tiga Kerajaan, atau Guan Yin, yang dulunya merupakan wanita biasa bernama Miao Shan, yang menolak menikah dan mewarisi tahta kerajaan. Dia memilih menjadi biksuni.
Maka, banyak tempat keramat dibangunkan kelenteng di sini, dan dayang setempat ikut disembahyangi. Kalau suka ke kelenteng, nyaris semuanya punya altar khusus untuk dayang lokal daerah mereka, seperti Empe Banten, Empe Dato, Neng Dewi, dan lainnya.
Menurut Ninik, bagi yang di daerahnya ada kelenteng tua atau unik seperti itu, boleh share info donk kepada dirinya. "Ini goal pribadi, ingin mendata kelenteng dan vihara yang ada di Indonesia beserta dewa dan danyang (dayang_ yang disembahyangi di sana," katanya. (*)