Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

KKN di Desa Penari Versi Lain (18) : Misteri Sanggar di Tapak Tilas

HITAM bukan untuk yang hidup, melainkan untuk tanda bagi mereka yang sudah mati. MATI. Lalu, apa maksud penanda warna merah? Konon, dari seluruh tempat yang diberi penanda sebuah kain di desa ini, hanya gapura ini yang diberi kain warna merah. Apalagi bila bukan simbol petaka. Widya mulai melangkah naik. Kakinya tidak berhenti mencari pijakan antara akar dan batu, sembari tanganya mencari sesuatu yg bisa menahan berat tubuhnya.

Malam sangat dingin, dingin sekali. Kabut di tengah kegelapan yang bisa Widya lihat, butuh perjuangan keras untuk sampai. Ketika Widya sampai di puncak Tapak Tilas, Widya hanya melihat satu jalan setapak. Kelihatanya tidak terlalu curam, namun rupanya butuh ekstra perjuangan juga. Di sana, Widya merasakanya, perasaan yang tidak enak dari tempat ini, semakin kentara, hal itu, membuat Widya merinding.

Jalan setapak itu tidak terlalu besar, di kanan-kiri di tumbuhi rumput dan tumbuhan yang tingginya hampir sebahu Widya. Dari sela tumbuhan dan rumput, Widya bisa melihat hutan yang benar-benar hutan, pohon menjulang tinggi dengan tumbuh2an disekitarnya yang tidak tersentuh. Sangat mudah mengikuti Bima, karena hanya tinggal mengikuti jalan setapak. Namun, setiap kali Widya berjalan, selalu saja, dari balik semak atau rerumputan, seperti ada yang bergerak-gerak. Kadang ketika Widya mencoba memandangnya, suara itu lenyap begitu saja.

Tanahnya keras, dan lembab. Widya terus menembus jalanan itu, semakin lama semakin dingin, dan sudah beberapa kali Widya berhenti untuk menghela nafas panjang. Jalanan ini, sepeti tidak berujung, namun, bila kembali, Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima di situ. Hal yang cukup di sesali Widya hanya satu, ia hanya mengenakan sandal selop. Memang, apa yang Widya lakukan malam ini, spontan karena penasaran, tanpa persiapan, tanpa teman, dan sesal itu, kian bertambah saat Widya mulai mendengar gending.

Ya. Suara yang familiar. Nada yang dimainkan adalah kidung yang Widya dengar saat ia berada di bilik mandi, bersama Nur, sedangkan alunan gamelan yang dimainkan adalah alunan yang sama saat Widya mencuri pandang pada penari yang menari di malam dia bersama Wahyu. Bukanya lari, Widya semakin menjadi-jadi semakin jauh, suaranya semakin jelas, dan semakin jelas suaranya, semakin ramai bahwa di sana, Widya tidak sendirian.

Yang Widya temui, adalah ujung Tapak Tilas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak. Tumbuhan itu, adalah tumbuhan beluntas.
tumbuhanya kecil, tapi rimbun. Samping kiri kanan, sudah gak bisa dilewati, kecuali bila membawa parang, dan tentu saja butuh waktu yang lama untuk membabat semak belukar. Namun, wangi tumbuhan beluntas seharusnya langu, namun yang ini, wanginya seperti aroma melati.

Seperti tidak sadar, Widya sudah mengunyah daun itu, dan terus mengunyah, Widya baru sadar saat tenggorokanya tersayat batang beluntas yang tajam, dan di balik tumbuhan itu, Widya melihat jalan menurun. Pantas saja, ia hanya bisa melihat ujung jalan setapak berhenti di sini. Jadi, jalan menurunya ditutup oleh banyak sekali tumbuhan beluntas. Saat Widya menuruninya, ia sampai harus berdarah-darah meraih tanaman beluntas yang di lilit tali puteri.

Di bawahnya, dia melihat Sanggar yang diceritakan Ayu dulu, dan sanggarnya benar-benar berantakan. Ada 4 pilar kayu jati yang dipangkas segi 4, memanjang ke atas dengan atap mengerucut, dari jauh terlihat seperti bangunan balai desa, namun lebih besar dengan lantai panggung. Di sana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu ada di bangunan ini. Saat Widya mendekatinya, meski ragu, ia merasa kehadiranya tidak sendirian, ramai, seperti tempat ini penuh sesak, padahal tidak ada siapapun di sana, hanya dia sendiri, yang berjalan mendekati.



Tepat ketika Widya menginjak anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap hening sekali. Keheningan itu benar-benar menganggu Widya, kehadiranya seperti tidak di terima disini. Widya memaksa untuk tetap melihat, dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang ia kenal. Itu suara Ayu. Widya baru mengingat sesuatu yang paling ganjil selama KKN di sini, Ayu.

Ayu tidak pernah sekalipun cerita apapun tentang desa ini, sesuatu yang ganjil yang menganggunya. Sebaliknya, Ayu menentang semua yang tidak masuk akal di desa ini, namun di malam ketika mereka berdebat mendengar suara gamelan, Ayu pasti berbohong, Ayu sebenarnya juga tahu dan mendengarnya secara langsung. Ayu lebih tahu tentang semua ini, jauh di atas yang lain, termasuk, apa yang Bima lakukan selama ini. (*)
Auto Europe Car Rental