Racun Tercanggih
ENTAH bagaimana, aku bisa berada di dalam kotak sialan ini. Sempit. Panas. Gelap. Kata temanku, dikelilingi oleh empat persegi panjang seperti ini—ditambah satu di atas dan satu di bawah—adalah suatu kebanggaan. Kau bisa merasa bahwa dirimu masih baru dan tanpa cacat. Namun, semua itu terasa seperti omong kosong bagiku.
Aku. Benci. Jadi. Seperti. Ini. Lamunanku terhapus. Seseorang—yang entah siapa—mengangkat diriku. “Ini handphone keluaran terbaru, Mas. Silakan dicek dulu kondisi dan kelengkapannya,” ujar salah satu suara sembari membuka kotak yang menutupiku selama ini.
Normalnya, orang akan menjejalkan udara dalam-dalam ke hidung mereka segera setelah keluar, tapi tidak bisa untuk diriku. Awalnya terlihat aneh, memang. Namun, aku baru ingat kalau aku sendiri tidak punya hidung. Hanya kebebasan pikiran dan kehendak yang pantas kubanggakan. Selain itu, aku juga mengerti bahasa manusia. Canggih, kan?
Kemudian, tangan lain sibuk membolak-balik tubuhku yang baru saja dikeluarkan dari kotak. Agak pusing rasanya waktu dia melihat punggungku, lalu tubuh depan, lalu ke
punggung lagi, dan seterusnya. Berputar-putar. Suara tawa mendadak terburai dari dalam mulut si pemilik tangan.
“Tahan banting, nggak? Gue coba banting, ya?” “Tahan banting. Coba saja.” Kurasakan
punggungku menghantam permukaan kaca tebal dengan cukup keras. Rasanya seperti dipukuli. Ini salah satu alasan mengapa aku benci diriku sendiri, bisa diperlakukan semena-mena begitu saja. Salah satu. Awalnya, aku hendak mengumpat, namun rasanya itu tidak akan terdengar. Jadi, niat tersebut kuurungkan saja.
Setelah itu, aku menumpulkan pendengaran sebisa mungkin—yah, meski aku tidak punya telinga dan hanya mengandalkan mikrofon untuk mendengar. Semua perbincangan—harga,
negosiasi dari pembeli yang mungkin sedikit culas, dan lain-lain—benar-benar bukan urusanku. Terpaksa, aku harus pasrah.
Aku. Benci. Jadi. Seperti. Ini. Lamunanku terhapus. Seseorang—yang entah siapa—mengangkat diriku. “Ini handphone keluaran terbaru, Mas. Silakan dicek dulu kondisi dan kelengkapannya,” ujar salah satu suara sembari membuka kotak yang menutupiku selama ini.
Normalnya, orang akan menjejalkan udara dalam-dalam ke hidung mereka segera setelah keluar, tapi tidak bisa untuk diriku. Awalnya terlihat aneh, memang. Namun, aku baru ingat kalau aku sendiri tidak punya hidung. Hanya kebebasan pikiran dan kehendak yang pantas kubanggakan. Selain itu, aku juga mengerti bahasa manusia. Canggih, kan?
Kemudian, tangan lain sibuk membolak-balik tubuhku yang baru saja dikeluarkan dari kotak. Agak pusing rasanya waktu dia melihat punggungku, lalu tubuh depan, lalu ke
punggung lagi, dan seterusnya. Berputar-putar. Suara tawa mendadak terburai dari dalam mulut si pemilik tangan.
“Tahan banting, nggak? Gue coba banting, ya?” “Tahan banting. Coba saja.” Kurasakan
punggungku menghantam permukaan kaca tebal dengan cukup keras. Rasanya seperti dipukuli. Ini salah satu alasan mengapa aku benci diriku sendiri, bisa diperlakukan semena-mena begitu saja. Salah satu. Awalnya, aku hendak mengumpat, namun rasanya itu tidak akan terdengar. Jadi, niat tersebut kuurungkan saja.
Setelah itu, aku menumpulkan pendengaran sebisa mungkin—yah, meski aku tidak punya telinga dan hanya mengandalkan mikrofon untuk mendengar. Semua perbincangan—harga,
negosiasi dari pembeli yang mungkin sedikit culas, dan lain-lain—benar-benar bukan urusanku. Terpaksa, aku harus pasrah.
**
INI suasana asing yang terasa aneh. Pemilik baruku—yang tidak pantas jadi pemilik, menurutku—memboyongku masuk ke kamar setelah menancapkan pantatku ke sebuah sumber listrik. Pendingin ruangan langsung berembus begitu saja. Lantas, badanku tidak luput dari tarian jemarinya. Sebelum aku sadar, ternyata dia sudah membaringkan diri di atas ranjang. Mataku—yang orang-orang bilang kamera depan—bisa menangkap wajah yang
berseri-seri menempel di kepalanya yang ditumpu oleh bantal.
Aku lupa apa saja yang terjadi selama dua jam selanjutnya. Yang jelas, rasanya dia memainkan permainan yang ada dalam diriku. Lama kelamaan, panas merasuki punggungku, dan kemudian menjalar ke dada sampai perut. Aku capek! Istirahatkan aku!
“Doni, ayo ke ruang tamu! Ayah sama Ibu mau bicara!” Suara itu begitu menggelegar sampai pemilikku yang ternyata namanya Doni itu merutuk pelan, “Ah, ganggu gue lagi main!” Aku merasakan dia beranjak dan berseru, “Sebentar, Doni ke sana!”
Tangan Doni melingkari tubuhku. Dia seperti cincin dan aku seperti jari manis. Tidak lama, sampailah kami di ruang tamu. Saat Doni—yang kutaksir umurnya sekitar dua puluh tahun—mendudukkanku di atas meja, barulah aku bisa menyaksikan wajah manusia-manusia itu melalui ekor mataku yang melirik nakal.
Seorang pria berambut salju—dan tipis—mulai angkat suara, “Don, gimana kuliahmu?” Pemilikku yang duduk di seberang pria itu tidak luput dari terjangan mataku selanjutnya. Dia terlihat menelan ludah. “Doni harus nambah jam kuliah.”
Ah, terkadang manusia bisa lebih bodoh dari benda sebangsaku. Lebih tolol dari kami yang menyandang julukan smartphone. Atau, bisa saja kedunguan itu muncul karena kehadiran kami. Mungkin. Badanku terangkat. Doni menyentuhkan jari-jari panjangnya di atas dada dan perutku. Tidak sopan sekali! Itu orangtuamu, Don!
Kurasakan suara dentingan pedang yang khas dalam game mengalun dari dalam tubuhku, dari sesuatu yang orang-orang sering sebut speaker. Ah, sekarang ingatan yang mengangkut
alasan mengapa kami—termasuk diriku—kerap menjadi racun dunia dan masyarakat mulai berkelabat lagi. Rasa bersalah mulai menjalari setiap inci keping-keping besi terkecil dalam tubuhku.
“Doni, Ayah mau bica—“. Pemilikku memotong dengan omelannya yang menurutku sedikit
menusuk telinga, “Nanti saja! Sebentar, perangnya belum selesai!” Bahkan, mata Doni tidak beranjak dari tubuhku sedikit pun! Aku bisa melihat matanya yang miskin jumlah kedipan dari jarak kurang dari tiga puluh sentimeter.
Si perempuan memukul meja ruang tamu. “Doni! Jarang-jarang kita bisa ngobrol seperti ini! Hargai orangtuamu ini, sedikit saja!” “Dulu, kau tidak seperti ini. Kurasa ponsel yang kaupegang sekarang meracuni pikiranmu,” timpal ayah lelaki itu, lirih. Aktivitasnya masih belum terputus. Hebat sekali, kurasa dia memiliki konsentrasi setinggi para manusia yang menciptakanku. Sekali lagi, rasa bersalah menjeratku karena berhasil menulikan pendengarannya.
Ingin sekali berusaha mematikan seluruh sistem yang ibarat pembuluh darahku, namun pasti hasilnya hanya nihil. Ini alasan kedua mengapa aku benci diri sendiri. Benarkah aku sukses meracuni otak manusia? Mendadak, tubuhku lunglai. Sesuatu yang kusebut pembuluh darah ini serasa berhenti mengalirkan kekuatan selama sesaat. Karena itu, untuk sekadar mengangkat kelopak mata saja susahnya setengah mati. Panas yang menumpuk menjadi alasan mengapa diriku seperti ini, menurutku.
Terdengar Doni yang dengan bisik-bisik mengumpat sesaat kemudian, “Aduh, bangsat! Nge¬-lag handphone gue! Jadi kalah war, nih!” Wah, wah, wah, Nak, apa mulutmu jadi rusak karenaku? Kemudian, tekanan jari berulang kali menumbuk tubuhku. Tidak ada lagi suara dentingan pedang. Senyap. Energiku pulih secepat hilangnya tadi.
“Sudah selesai mainnya, Don?” tanya si ayah. Doni menggeleng. “Sebentar, Yah, ada pesan masuk di Facebook. Doni balas dulu. Penting banget. Sebentar lagi juga mau telepon sama teman. Kalau kita ngobrol kan bisa kapan-kapan.” Maka, angkat kakilah kami berdua dari ruang tamu. Andai aku tidak ada, mungkin mereka bertiga sudah bercanda tawa.
**
SETIAP hari berlangsung seperti biasa. Membosankan. Kering. Memuakkan. Dia seharusnya keluar dan bertukar sapa dengan teman-temannya. Namun, yang pemilikku lakukan hanya memanfaatkan sumber daya energiku setiap saat. Tuhan, bunuh aku sekarang. Bunuh saja.
Aku sempat mendengar orangtua Doni berpamitan hari ini. Manusia yang tersisa di rumah
hanyalah pemilikku ini. Dia sedang menekan-nekan tubuhku seperti biasa saat ada suara ketukan pintu. Doni pun beranjak dari sofa dan membuka pintu. “Hei, Don. Gimana hutangmu ke gue, yang katanya lu pakai buat beli ponsel? Yang katanya lu ngutang demi ngerasain gimana main ponsel?”
Meski aku sedang di atas sofa, pemandangan itu tidak luput dari mataku, begitu juga dengan suara. “Hmm, gue masih nggak ada uang. Kapan-kapan aja.” “Lu bohong! Kalau nggak ada uang sama sekali, kenapa bisa beli pulsa buat main game online di handphone sama update status di Facebook?! Pokoknya, bayar sebagian atau gue obrak-abrik rumah lu!”Diriku makin beracun saja. (christopher salim)
berseri-seri menempel di kepalanya yang ditumpu oleh bantal.
![]() |
foto : flickr |
Aku lupa apa saja yang terjadi selama dua jam selanjutnya. Yang jelas, rasanya dia memainkan permainan yang ada dalam diriku. Lama kelamaan, panas merasuki punggungku, dan kemudian menjalar ke dada sampai perut. Aku capek! Istirahatkan aku!
“Doni, ayo ke ruang tamu! Ayah sama Ibu mau bicara!” Suara itu begitu menggelegar sampai pemilikku yang ternyata namanya Doni itu merutuk pelan, “Ah, ganggu gue lagi main!” Aku merasakan dia beranjak dan berseru, “Sebentar, Doni ke sana!”
Tangan Doni melingkari tubuhku. Dia seperti cincin dan aku seperti jari manis. Tidak lama, sampailah kami di ruang tamu. Saat Doni—yang kutaksir umurnya sekitar dua puluh tahun—mendudukkanku di atas meja, barulah aku bisa menyaksikan wajah manusia-manusia itu melalui ekor mataku yang melirik nakal.
Seorang pria berambut salju—dan tipis—mulai angkat suara, “Don, gimana kuliahmu?” Pemilikku yang duduk di seberang pria itu tidak luput dari terjangan mataku selanjutnya. Dia terlihat menelan ludah. “Doni harus nambah jam kuliah.”
Kugulirkan lagi pandangan mataku ke sebelah ayah Doni. Terlihat jelas seorang perempuan yang sedang membentuk seulas senyuman sedang berujar, “Wah, rajin sekali!” Mengulang mata kuliah, Nyonya, mengulang. Masa gitu saja tidak tahu? batinku dengan desahan yang tidak seorang pun bisa mendengar.
Ah, terkadang manusia bisa lebih bodoh dari benda sebangsaku. Lebih tolol dari kami yang menyandang julukan smartphone. Atau, bisa saja kedunguan itu muncul karena kehadiran kami. Mungkin. Badanku terangkat. Doni menyentuhkan jari-jari panjangnya di atas dada dan perutku. Tidak sopan sekali! Itu orangtuamu, Don!
Kurasakan suara dentingan pedang yang khas dalam game mengalun dari dalam tubuhku, dari sesuatu yang orang-orang sering sebut speaker. Ah, sekarang ingatan yang mengangkut
alasan mengapa kami—termasuk diriku—kerap menjadi racun dunia dan masyarakat mulai berkelabat lagi. Rasa bersalah mulai menjalari setiap inci keping-keping besi terkecil dalam tubuhku.
“Doni, Ayah mau bica—“. Pemilikku memotong dengan omelannya yang menurutku sedikit
menusuk telinga, “Nanti saja! Sebentar, perangnya belum selesai!” Bahkan, mata Doni tidak beranjak dari tubuhku sedikit pun! Aku bisa melihat matanya yang miskin jumlah kedipan dari jarak kurang dari tiga puluh sentimeter.
Si perempuan memukul meja ruang tamu. “Doni! Jarang-jarang kita bisa ngobrol seperti ini! Hargai orangtuamu ini, sedikit saja!” “Dulu, kau tidak seperti ini. Kurasa ponsel yang kaupegang sekarang meracuni pikiranmu,” timpal ayah lelaki itu, lirih. Aktivitasnya masih belum terputus. Hebat sekali, kurasa dia memiliki konsentrasi setinggi para manusia yang menciptakanku. Sekali lagi, rasa bersalah menjeratku karena berhasil menulikan pendengarannya.
Ingin sekali berusaha mematikan seluruh sistem yang ibarat pembuluh darahku, namun pasti hasilnya hanya nihil. Ini alasan kedua mengapa aku benci diri sendiri. Benarkah aku sukses meracuni otak manusia? Mendadak, tubuhku lunglai. Sesuatu yang kusebut pembuluh darah ini serasa berhenti mengalirkan kekuatan selama sesaat. Karena itu, untuk sekadar mengangkat kelopak mata saja susahnya setengah mati. Panas yang menumpuk menjadi alasan mengapa diriku seperti ini, menurutku.
Terdengar Doni yang dengan bisik-bisik mengumpat sesaat kemudian, “Aduh, bangsat! Nge¬-lag handphone gue! Jadi kalah war, nih!” Wah, wah, wah, Nak, apa mulutmu jadi rusak karenaku? Kemudian, tekanan jari berulang kali menumbuk tubuhku. Tidak ada lagi suara dentingan pedang. Senyap. Energiku pulih secepat hilangnya tadi.
“Sudah selesai mainnya, Don?” tanya si ayah. Doni menggeleng. “Sebentar, Yah, ada pesan masuk di Facebook. Doni balas dulu. Penting banget. Sebentar lagi juga mau telepon sama teman. Kalau kita ngobrol kan bisa kapan-kapan.” Maka, angkat kakilah kami berdua dari ruang tamu. Andai aku tidak ada, mungkin mereka bertiga sudah bercanda tawa.
**
SETIAP hari berlangsung seperti biasa. Membosankan. Kering. Memuakkan. Dia seharusnya keluar dan bertukar sapa dengan teman-temannya. Namun, yang pemilikku lakukan hanya memanfaatkan sumber daya energiku setiap saat. Tuhan, bunuh aku sekarang. Bunuh saja.
Aku sempat mendengar orangtua Doni berpamitan hari ini. Manusia yang tersisa di rumah
hanyalah pemilikku ini. Dia sedang menekan-nekan tubuhku seperti biasa saat ada suara ketukan pintu. Doni pun beranjak dari sofa dan membuka pintu. “Hei, Don. Gimana hutangmu ke gue, yang katanya lu pakai buat beli ponsel? Yang katanya lu ngutang demi ngerasain gimana main ponsel?”
Meski aku sedang di atas sofa, pemandangan itu tidak luput dari mataku, begitu juga dengan suara. “Hmm, gue masih nggak ada uang. Kapan-kapan aja.” “Lu bohong! Kalau nggak ada uang sama sekali, kenapa bisa beli pulsa buat main game online di handphone sama update status di Facebook?! Pokoknya, bayar sebagian atau gue obrak-abrik rumah lu!”Diriku makin beracun saja. (christopher salim)