Cinta Versus Realita: Kandasnya Impian Jadi Jurnalis
mendapatkan informasi untuk dirancang menjadi sebuah berita.
Pelosok-pelosok daerah sekalipun akan kudatangi. Tak takut aku baik fisik maupun mental. Aku tak gentar akan gangguan-gangguan fisik yang akan menyerang, seperti serangga-serangga kecil yang siap menggerayangi tubuhku, ataupun serangan mental, seperti tolakan dari narasumber. Ya, aku ingin jadi jurnalis.
Ayah sering berkata, ‘Kamu tidak akan sanggup jadi jurnalis, itu pekerjaan berat.’ Ibu selalu mengutarakan kekhawatirannya, ‘Ibu tidak sanggup bila harus melihat kamu hidup menderita karena tuntutan pekerjaan.’ Kata-kata mereka tak lantas membuatku goyah untuk mencapai cita-citaku. Selama aku suka dan itu tidak buruk untuk diriku, mengapa tidak?
“Dan juara pertama diraih oleh …. Vindy Marcia dari SMA Santa Maria!” Aku menjadi pemenang dari kompetisi jurnalis yang diadakan oleh media cetak ternama di Surabaya. Bakat menulisku memang sepertinya sudah terlihat dari sekarang, saat aku remaja. Hal ini yang semakin mengokohkan aku untuk menjadi jurnalis. Apalagi banyak pihak yang siap
mengajariku tentang bagaimana menjadi jurnalis yang baik, mereka kusebut sebagai guru.
Salah satu guru yang kukenal baik adalah Pak Hariyanto (nick namenya Hari Satiman, yang punya blog ini). Beliau tahu benar bagaimana harus membinaku dalam menggali sebuah pokok permasalahan, bagaimana aku harus sangat rinci dalam mengemukakan
sebuah informasi, bagaimana aku harus pandai-pandai menyusun sebuah kalimat dalam berita, dan masih banyak lagi. Beliau adalah guru jurnalis semasa SMP-ku dulu.
“Ayah, Vindy ingin melamar kerja di Java Pos, jadi reporter,” pamitku pada Ayah. “Jadi reporter? Mau kamu apakan masa depanmu, Nak? Kamu sudah berumur 24 tahun. Harusnya kamu tahu, bahwa Ayah sampai kapanpun tidak akan mengijinkan kamu jadi reporter!” tegas Ayah.
“Tapi Yah, hidupku adalah menjadi jurnalis. Ini hobiku. Selama kuliah di jurusan komunikasi, aku sudah meyakinkan diriku secara betul, Yah, aku mau jadi apa. Tolong izinkan aku, Ayah,” aku memohon penuh belas kasihan.
“Tidak!
Ayah tidak mengizinkan kamu!” Rintangan demi rintangan datang. Ya, hidup memang penuh rintangan. Sempat aku mengeluh kepada Tuhan, mengapa rintangan begitu banyak menerpa. Tapi seiring waktu berjalan, Tuhan seolah-olah menyadarkanku bahwa bila hidup tanpa rintangan dan masalah, maka tidak akan ada pelajaran yang bisa diambil.
atau pekerjaan yang kusenangi? Sekali lagi aku ingin mengeluh kepada Tuhan. Tuhan, tidakkan ada rintangan lain yang bisa Kau berikan, yang lebih mudah dari ini?
Tapi, kurasa Tuhan tidak akan menjawab. Sebab, nuraniku-lah yang sebenarnya harus menjawab. Aku kemudian teringat kata orang : Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang melampaui batas kemampuan umatnya.
Aku pun mencoba mencari jalan keluar: Ibu. Kudatangi Ibu dengan segenap keberanian, dengan harapan Ibu dapat membantu. Kemudian ragu rasanya aku, karena seketika mengingat Ibu juga tidak setuju dengan cita-citaku untuk menjadi jurnalis. Namun, nekat
saja lah.
“Ibu,” panggilku. “Ya, Nak? Ada apa?” tanya Ibu dengan penuh kelembutan khas seorang bunda. “Vindy mau minta izin, Bu,” aku memulai permohonan lisanku. Ibu hanya melirikku sekilas sebagai tanda bahwa ia sudah mempersilahkan aku bicara.
![]() |
foto : flickr |
“Vindy
mau pamit melamar kerja di Java Pos, Bu, jadi reporter.” “Masih kuat juga kemauanmu dari kecil, Nak,” ucap Ibu seraya tersenyum. “Hehe, iya, Bu. Ibu kasih izin tidak?” Pembicaraanku dengan Ibu tentang keinginanku kali ini tergolong santai.
Ibu biasanya sudah tidak menampakkan senyum manisnya bila aku mulai membicarakan tentang hal ini. Namun, kali ini agak berbeda. “Tekad anak Ibu satu ini kuat sekali ya. Ya sudah, Ibu bisa apa kalau kamu mau. Sudah tidak bisa Ibu melarang. Kamu sudah besar, kamu sudah tahu mana yang baik untukmu, Nak,” tutur Ibu seraya tersenyum lembut sekali.
Ibu akhirnya menyerah. Dari sekian lama aku memohon, baru kali ini Ibu mengizinkan. Mungkin memang benar pernyataan bahwa tekad yang kuat pasti membuahkan sesuatu yang bermakna. Aku sangat berterima kasih pada Ibu. Kupeluk ia sambil terus mengatakan, ‘Terima kasih, Ibu!’.
Tapi masih ada satu masalah, Ayah. Aku tidak mungkin bisa beranjak ke Java Pos tanpa persetujuan darinya. “Ibu, Ayah belum mengizinkan,” laporku lunglai. “Biar Ibu yang rayu Ayah, sekarang kamu pergi dulu saja. Tenang, Ayah pasti setuju kok, asalkan kamu sungguh-sungguh dalam melakoni-nya dan apa yang kamu lakukan bisa membanggakan Ayah dan Ibu,” ujar Ibu menenangkan aku.
Ibu memang selalu bisa menenangkan aku. Sosok tegasnya namun lembut selalu menentramkan hati anak-anaknya. Aku dan kakakku, Marcel Nugra, selalu berlabuh padanya bila kami butuh ‘tempat’ yang menenangkan. Kalimat-kalimat sahutan darinya bagaikan angin sejuk di padang rumput yang hijau, menenangkan.
Berakhirlah aku pada sebuah kepergian ke Java Pos dengan perasaan lega, tanpa halangan yang mengganggu. Sekali lagi aku menyadari, rintangan ini sudah kulalui. Dan sekali lagi pula aku tahu, bahwa tekad yang kuat dapat membawaku melewati rintangan demi
rintangan dan setiap rintangan pasti ada jalan keluarnya, ada cara untuk menyelesaikannya. (jessica claudia)