Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cerita Kaca Buram Istana (2)

PERTEMUAN kedua terjadi tak lama kemudian, beberapa ajakan makan siang di suatu weekend di rumah dinasnya. Bu Ani menata meja dan makanan serta melayani dengan ramah. Di pertemuan ke-2 ini pula saya berkenalan untuk pertama kali dengan Agus Harimurti dan Edi Baskoro (Ibas) yang tentu saja masih ‘kecil’.

Saya diajak SBY masuk ke perpustakaan pribadinya, di sebelah kanan ruang makan. Ada sekitar  500-an judul buku di ruang sempit agak memanjang itu.Koleksi buku SBY lumayan beragam. Yang terekam dalam ingatan saya: kemiliteran, politik, sejarah, agama, sosiologi, ekonomi dan bisnis, serta filsafat.

Kesan saya dari dua pertemuan itu, yaitu, SBY meman membaca buku, bukan sekedar mengoleksinya. Minat bacanya berspektrum luas. Ia juga senang mendiskusikan yang sudah dibacanya. Di atas meja kerja SBY terbuka-telungkup (mungkin sedang dibaca) buku Ernest Gellner, 'Menolak Posmodernisme' (terjemahan Postmodernism, Reason and Religion) .

Dalam pertemuan ke-2 ini saya juga seperti mendapat durian runtuh. SBY memperlihatkan tulisan tangannya di bagian dalam cover (belakang diary Kodam Jaya)-nya. Seingat saya, judulnya 'Catatan untuk Kepemimpinan Nasional Saat Ini.' Terdiri dari 5 catatan yang ditulis dengan bahasa terjaga. Di perjalanan pulang, saya segera catat kelima butir itu mumpung masih segar dalam ingatan.

Mencatat seperti ini jadi kebiasaan saya sejak lama, hingga sekarang. Tapi, saya tak punya waktu untuk bongkar-bongkar timbunan catatan-catatan itu sekarang. Kurang lebih, kelima hal tersebut adalah:

1. Berhasil memimpin dalam rentang waktu panjang tanpa mengagendakan regenerasi secara layak.
2. Berhasil menjadi pemimpin yang kuat namun kurang senang mendengar kritik.
3. Tegas mengendalikan pemerintahan namun cenderung membiarkan pelanggaran dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.
4. Berhasil membangun dengan tumpuan stabilitas politik tapi kurang memberi ruang bagi dinamika politik.
5. Sangat kuat berhadapan dengan oposisi tapi sangat lemah menghadapi keluarganya.


Dalam pertemuan pertama saya dibuat terkesan oleh minat kuat SBY terhadap diskusi. Yang mengesankan dari pertemuan kedua adalah keluasan spektrum bacaannya dan kelima catatan itu! Catatan SBY ini mengejutkan. Karena tak punya pergaulan dengan tentara, saya tak pernah bayangkan ada perwira AD mengkritik Presiden.

Jangan lupa! Itu 1994, ketika kekuasaan Soeharto sedang ‘lucu-lucunya’-nya dan tak ada seorangpun pengamat secara meyakinkan meramalkan kejatuhannya. Selanjutnya, saya akan bercerita tentang SBY di Awal Reformasi, Pilpres 2004, SBY sebagai Presiden, Kekuatan-kekuatan SBY, Klemahan-kelemahan SBY, dan Saran-saran Saya untuk SBY. (24082010/Eep S Fatah)