Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cara Membuat Outline untuk Penulisan Feature


PADA suatu hari Anda mendapat giliran yang sering membikin seorang wartawan gugup: menulis laporan utama. Artinya, Anda harus menulis sebuah cerita (feature) yang panjangnya minimal delapan halaman majalah. Umumnya laporan semacam ini dilahirkan dari sejumlah besar bahan.

Berpuluh halaman hasil wawancara, reportase, dan kliping dari bagian dokumentasi telah dikumpulkan, untuk Anda baca dan Anda sunting menjadi satu cerita yang utuh dan menarik.

Mengerikan? Tenang sajalah. Yang harus dipikirkan kini ialah: apa yang pertama-tama harus dilakukan? Penulis yang kurang berpengalaman, atau agak gegabah, biasanya langsung membuka komputer untuk “menukilkan” satu lead yang hebat.

Tak ayal lagi, beberapa alinea kemudian ia akan tertumbuk pada sebuah soal: Apa yang akan saya tulis sesudah ini? Di situlah kesalahannya. Ia menyangka suatu cerita telah terjadi di kepalanya, hanya karena ia sudah mengerti tema serta angle-nya.

Ia tidak sadar bahwa ada perbedaan besar antara menulis sebuah cerita tiga halaman dan sebuah cerita 18 halaman. Menulis sebuah laporan pendek ibarat melukis seraut wajah di atas sebuah kartu pos.

Kita bisa langsung menggoreskan pena, dan perbandingan bagian-bagian wajah itu bisa langsung kita kontrol. Kita langsung bisa mengetahui, misalnya, bila mata yang kiri miring letaknya ketimbang mata yang kanan.

Tapi bayangkanlah bila Anda harus membuat gambar besar seorang gadis cantik di atas sebidang papan reklame raksasa ukuran 10 m x 15 m. Bagaimana Anda langsung bisa tahu, hanya dengan mengikuti gerak goresan kuas Anda, bahwa mata yang sebelah kiri nanti akan serasi dengan mata sebelah kanan?

Padahal, lebih dari lima meter jarak antara posisi mata yang satu dan posisi mata yang lain di papan besar itu. Untuk menghindari kesalahan, seorang pelukis profesional lebih dulu akan membuat skala.

Demikianlah, seperti halnya pelukis yang tengah mempersiapkan gambar besar membutuhkan skala, seorang penulis untuk membuat sebuah cerita panjang membutuhkan outline. Ia harus punya satu kerangka cerita sebelum ia mulai bekerja.

Outline ini memang sering disepelekan. Atau seorang penulis salah mengartikannya. Atau ia sebenarnya tidak bisa membuatnya. Akibatnya berabe: penulis sering tergelincir dari fokus. Ia melantur di bagian tengah, dengan bercerita panjang lebar tentang persoalan yang sebenarnya cukup disinggung sedikit saja.

Pernah ada seorang penulis yang bercerita cukup panjang tentang sumur beracun di sebuah desa, padahal yang sedang ditulisnya adalah sebuah cerita tentang transportasi...

Akibat lain tidak adanya outline ialah kacaunya urutan cerita. Suatu bagian cerita yang belum selesai menguraikan soal A, tiba-tiba disusul dengan bagian cerita yang menguraikan soal S, misalnya. Aklibatnya, pembaca ikut bingung dan kacau.

Pengulangan yang tak perlu juga bisa terjadi karena kita menulis tanpa outline. Misalnya, di bagian awal naskah kita sudah menguraikan soal X, tetapi setelah beberapa alinea berikutnya kita —karena lupa— menguraikan hal yang sama.

A. Memilih Awal Cerita
Sekarang kita tahu manfaat outline. Mari kita coba membuatnya, setelah membaca semua bahan yang terhimpun di depan kita. Ada pepatah kuno yang mengatakan, “Mengaji dari alif....”

Artinya, mengerjakan sesuatu harus dimulai dari bagian awal. Nah, dalam suatu outline-lah ditentukan mana yang “alif ”. Dengan kata lain, di situlah kita tentukan mana yang wajar menjadi bagian pertama cerita.

Sekaligus ditentukan apa yang secara logis merupakan bagian berikutnya. Begitu seterusnya, sampai dengan bagian penutup. Outline, dengan demikian, merupakan pengorganisasian langkah-langkah kita menjelang berangkat menulis.

Kita harus menguasai bahan. Kita harus mempunyai gambaran lebih dulu, yang agak cukup gamblang, meskipun masih secara kira-kira, bentuk keseluruhan cerita panjang yang akan kita susun.

Kita harus punya disiplin untuk tidak melantur dari angle –dan fokus— cerita yang sudah kita tentukan sendiri. Dan akhirnya, kita harus mampu berpikir dan bercerita urut.

B. Urut
Apakah yang dimaksudkan dengan berpikir dan bercerita secara urut? Anda ingin menulis riwayat hidup seorang musikus wanita yang cukup lama kariernya. Atau Anda ingin menulis reportase panjang tentang penyanderaan oleh gerilyawan Palestina di Olimpiade Munchen.

Anda di sini dapat dengan segera menemukan cara yang terbagus untuk bercerita, yaitu mengikuti urutan kronologis, yakni menurut waktu kejadiannya.

Dalam contoh riwayat hidup musikus wanita itu, Anda mulai Bagian I dengan dunia masa kecilnya. Bagian II dengan dunia masa remajanya. Bagian III dengan masa ketika ia bergulat menempuh awal kariernya, sampai sukes. Pada Bagian IV Anda ceritakan prestasi puncaknya, dan cerita ditutup dengan keadaannya kini. Itulah urutan kronologis cerita Anda.

Dalam contoh penyanderaan dan tembak-menembak di Olimpiade Munchen, Anda mulai Bagian I dengan reportase suasana pagi sebelum terjadi apa-apa. Lalu disusul dengan bagian ketika para gerilyawan Palestina masuk ke perkampungan atlet.

Bagian berikutnya bercerita tentang suasana tegang yang terjadi. Bagian akhirnya suatu klimaks: tembak-menembak, dan jatuhnya korban-korban. Reportase panjang ini juga diceritakan dengan urutan kronologis.

Urutan seperti ini mudah dibuat dan menarik. Sayang, tidak semua bahan dapat diurutkan secara demikian. Urutan itu terutama hanya cocok untuk reportase kejadian yang cukup panjang dan punya “suspens” atau ketegangan.

Selain urutan kronologis, ada juga urutan ruang. Cara ini bagus untuk melukiskan, misalnya, sebuah museum besar yang baru dibuka. Anda mulai dengan deskripsi tentang halamannya. Lalu suatu uraian yang melukiskan berandanya. Kemudian ruang dalamnya, tempat benda-benda bersejarah dipamerkan secara apik.

Menurut pengalaman selama ini, laporan utama TEMPO hampir tidak ada yang seluruhnya menggunakan urutan ruang dalam memaparkan cerita. Mungkin karena belum ada suatu bangunan, ataupun wilayah, yang layak diceritakan secara spesial dalam sebuah laporan utama yang sepanjang lima sampai enam halaman majalah.

Tetapi, mungkin ada bagian-bagian tertentu dalam laporan-laporan utama kita yang menggunakan urutan ruang, dari satu alinea ke satu alinea yang lain. Yang terbanyak dipergunakan ialah urutan logis.

Dalam urutan ini penulis tidak hanya “mengikuti” bahan ceritanya, melainkan lebih aktif: ia membentangkan suatu masalah. Demikianlah cerita kita tidak hanya “mengikuti” kejadian di Siria-ria, Jenggawah, ketika para petani protes untuk mempertahankan tanah garapan.

Kita tidak menceritakannya secara kronologis. Kita mempersoalkan sebab-sebabnya. Dengan kata lain, kita menyajikannya sebagai suatu masalah. Untuk itu kita mempergunakan urutan logis.

Ada beberapa macam urutan logis:

1. Urutan sebab-akibat: Ketua Mao meninggal. Apa akibatnya bagi RRC? Yang pertama-tama, jelas di bidang politik: persoalan tentang penggantinya. Apa pula akibatnya penggantian ini? Mao “orang kuat”.

Tentu wafatnya punya efek di bidang hubungan inter-nasional, di bidang sosial dan ekonomi, di bidang kebudayaan dan ide-ide. Itulah urutan sebab-akibat. Kita melihat terjadinya sesuatu dan kita mencoba membicarakan akibat-akibatnya, baik yang sudah maupun yang akan terjadi.

2. Urutan akibat-sebab: terjadi protes petani di Siria-ria dan Jenggawah.
Terlihat rombongan demi rombongan dari pedalaman mengadu ke DPR. Kita pun mempertanyakan mengapa semua ini terjadi.

Mengapa petani protes? Karena soal sengketa tanah. Kenapa sengketa yang begini terjadi? Singkatnya, kita menyoroti sebab-musabab terjadinya suatu peristiwa. Itulah urutan akibat-sebab.

3. Urutan khusus-umum: televisi masuk desa di Kalimantan, tetapi di sana hanya merupakan alat hiasan, karena belum ada listrik. Televisi masuk desa di Bali, dan di sana terjadi perubahan kegiatan berkelompok kalau malam hari, hingga orang tidak lagi aktif dalam kesenian.

Televisi masuk desa di ranah Minang, dan anak daro pada menjadi wangi oleh parfum multinasional dari iklan. Kejadian-kejadian khusus itu dapat diangkat ke dalam suatu kesimpulan tentang suatu pola umum: TV masuk desa, dan ia mengubah peri hidup pedesaan di Indonesia.

Itulah urutan dari “khusus” ke “umum”. Dalam praktik penulisan cerita, lazimnya itu berarti kita mulai melukiskan kejadian-kejadian individual, untuk kemudian kita teruskan dengan suatu pembicaraan tentang pola umum yang tampil dari kejadian-kejadian individual itu.

4. Urutan umum-khusus: Kita berbicara mula-mula tentang sebuah kesan umum. Atau suatu pola umum. Mula-mula kita paparkan bahwa terasa keinginan orang kembali ke gaya “feodal”, terutama di kalangan atas.

Setelah itu, kita rinci satu demi satu contoh yang khusus, untuk menunjukkan bukti kesan umum tadi. Kita ceritakan bagaimana orang makin banyak mencari surat bukti keningratan diri, yakni serat kekancingan.

Kita ceritakan bagaimana orang membeli barang-barang antik dari keraton. Kita lukiskan bagaimana orang menyelenggarakan secara megah upacara pernikahan anaknya.

Kita gambarkan bagaimana orang membeli keris-keris kuno. Cara mengurutkan cerita seperti ini sebenarnya hanya merupakan kebalikan dari cara urutan khusus umum di atas.

5. Urutan pemecahan masalah: dimulai dengan suatu problem. Misalnya, mengalirnya pengungsi Vietnam secara deras ke negara-negara Asia Tenggara. Tapi, terlepas dari apa pun sebabnya, banjir pengungsi itu menimbulkan masalah.

Beban ekonomis terlalu berat bagi negeri seperti Indonesia, untuk menampung para pengungsi itu. Beban sosial-politik juga terlalu berat bagi Malaysia. Filipina dan Singapura pun ogah. Thailand sudah terengah-engah. Apa yang harus dilakukan?

Setelah pemaparan masalah, kita pun mencoba menulis tentang bagaimana kira-kira cara pemecahannya. Haruskah mereka diterima? Atau diusir begitu saja?

Puncak cerita kita barangkali dapat menguraikan, atau menyarankan, suatu cara pemecahan lain: para pengungsi itu ditampung sementara, untuk kemudian dikirim ke negeri-negeri kaya yang bersedia menerima mereka. Itulah penulisan dengan urutan pemecahan masalah.

C. Tentang Boks
Dengan kerangka juga kita dapat memikirkan lebih dulu perlu tidaknya sebuah cerita diletakkan khusus dalam sebuah Boks. Dalam tradisi Tempo, Boks kurang-lebih berfungsi memberi tempat bagi cerita-cerita yang punya hubungan dengan pokok cerita, tetapi akan mengganggu arus cerita bila diletakkan di batang tubuh tulisan.

Misalnya, wawancara dengan Prof. Sartono Kartodirdjo, ahli sejarah yang menulis tentang protes di pedesaan. Wawancara itu diletakkan dalam Boks, ketika kita membuat laporan utama tentang gejolak protes petani selama
Agustus 1979.

Bila tak diletakkan terpisah, ia akan merusakkan keserasian tubuh cerita, ibarat orang yang memakai dasi terlalu besar. Tapi, untuk dipotong atau diringkas, juga sayang.

Boks juga sering jadi tempat kita menyoroti secara istimewa suatu hal yang bisa jadi contoh (ilustrasi) yang menarik tentang suatu masalah. Misalnya, kita menulis laporan panjang tentang perlakuan terhadap para tahanan di kantor polisi. Keadaan mereka rata-rata menyedihkan.

Itu sudah kita uraikan dengan angka-angka, serta kutipan sejumlah pendapat. Tapi untuk menonjolkan masalahnya, kita taruh dalam Boks sebuah reportase dan wawancara dengan seorang tahanan. Ia kita pilih karena nasibnya “mewakili” keadaan umum, di samping juga unik.

Sumber: Seandainya Saya Wartawan Tempo, Institut Tempo, 2007.

Auto Europe Car Rental