Apa Piramida Terbalik Itu, Apa Manfaat Praktisnya?
MISALKAN Anda sudah punya lead yang hidup dan menarik. Problem Anda berikutnya, yang kadang-kadang paling sulit, adalah menyusun materinya sehingga bisa memikat pembaca untuk mengikuti cerita dari awal sampai akhir.
Dalam penulisan berita, hal itu lebih gampang, karena setiap cerita ditulis dalam bentuk yang sama: piramida terbalik. Banyak feature yang menganut bentuk ini.
Tapi, sebetulnya, tidak ada patokan bentuk feature yang tegas. Ini membuat penulisan feature lebih sulit dalam beberapa hal. Tapi juga memungkinkan kreativitas dan kecakapan. Apakah “piramida terbalik” itu, dan apa manfaat praktisnya?
Dalam “piramida terbalik”, tulisan (informasi) disusun sedemikian rupa sehingga pembaca memperoleh bagian terpentingnya segera pada awal tulisan.
Materi disusun sesuai dengan urutan pentingnya: makin ke bawah makin kurang penting, lebih banyak detail.
Dalam dunia pers yang terburu-buru, “piramida terbalik” mempunyai dua fungsi. Pertama, memungkinkan editor memotong naskah dari bawah.
Berita disusun sesuai dengan nilai pentingnya, editor bisa dengan cepat memotong dari belakang sesuai dengan ruang (halaman) yang tersedia.
Ini sangat menolong, terutama bila naskah diserahkan menjelang deadline. Editor tidak perlu membaca terlalu teliti.
Kedua, memungkinkan kecepatan mengetahui, apakah berita itu layak dimuat atau tidak: editor cukup membaca lead-nya saja. Editor tahu bahwa unsur terpenting cerita itu mesti ada pada lead.
Apa hubungan hal ini dengan feature?
Dalam banyak hal, bentuk paling umum suatu feature juga “piramida terbalik”, tapi ada satu tambahan: ending, atau penutup tulisan. Feature memerlukan, bahkan mungkin secara mutlak, ending karena dua hal:
1. Menghadapi feature, hampir tak ada alasan untuk terburu-buru dari segi proses redaksionalnya. Editor tidak lagi harus asal memotong dari bawah. Ia punya waktu cukup waktu untuk membaca naskah seca ra cermat, dan meringkasnya sesuai dengan ruangan yang tersedia.
Baca yang Ini Bos
2. Ending bukan muncul tiba-tiba, tapi lazimnya merupakan hasil proses penuturan yang mengalir sebelumnya. Ingat: seorang penulis feature pada prinsipnya adalah tukang cerita, penutur.
Ia dengan hati-hati mengatur kata-katanya secara efektif untuk mengomunikasikan ceritanya. Umumnya, sebuah cerita mendorong terciptanya suatu “penyelesaian”, atau klimaks.
Penutup tidak sekadar layak, tapi mutlak perlu bagi banyak feature. Karena itu memotong bagian akhir sebuah feature, akan membuat tulisan terasa belum selesai. Beberapa jenis penutup:
1. Penutup ringkasan
Penutup ini bersifat ikhtisar, hanya mengikat ujungujung bagian cerita yang lepas-lepas, dan menunjuk kembali ke lead.
2. Penyengat
Penutup yang mengagetkan bisa membuat pembaca seolah-olah terlonjak. Penulis hanya menggunakan tubuh cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak terduga-duga. Penutup seperti ini mirip dengan kecenderungan film modern yang menutup cerita dengan mengalahkan orang “yang baik-baik” oleh “orang jahat”.
3. Klimaks
Penutup ini sering ditemukan pada cerita yang ditulis secara kronologis. Ini seperti sastra tradisional. Hanya saja dalam feature, penulis berhenti bila penyelesaian cerita sudah jelas, dan tidak menambah bagian setelah klimaks seperti cerita tradisional.
4. Tak ada penyelesaian
Penulis sengaja mengakhiri cerita dengan memberi tekanan pada sebuah pertanyaan pokok yang tidak terjawab. Selesai membaca, pembaca tetap tidak jelas apakah tokoh cerita menang atau kalah.
Ia menyelesaikan cerita sebelum mencapai klimaks, karena penyelesaiannya memang belum diketahui, atau karena penulisannya sengaja ingin membuat pembaca tergantung-gantung.
Seorang penulis harus hati-hati menilai ending-nya, menimbang-nimbangnya apakah penutup itu merupakan akhir yang logis bagi cerita. Bila merasakan bahwa endingnya lemah atau tidak wajar, ia cukup melihat beberapa paragrap sebelumnya, untuk mendapat penutup yang sempurna dan masuk akal.
Menulis penutup feature sebenarnya termasuk gampang. Kembalilah kepada peranan “tukang cerita”, dan biarkanlah cerita mengakhiri dirinya sendiri, secara wajar. Seorang wartawan profesional selalu berusaha bercerita dengan lancar, masuk akal, dan tidak dibikin-bikin.
Sumber: Seandainya Saya Wartawan Tempo, Institut Tempo, 2007.