Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Cara Menuliskan Pengalaman Ikut Imersi atau Live In


BEBERAPA kali ada permintaan kepada saya untuk mengoreksi laporan kegiatan imersi atau live-in. Dua istilah berbeda tapi sebetulnya merujuk pada aktivitas yang sama. Kegiatan itu biasanya diselenggarakan oleh beberapa sekolah swasta (embuh nek sing negeri yo) di Surabaya. Intinya, baik imersi atau  live-ini adalah tinggal bersama dan merasakan benar, bagaimana keseharian orang tua angkat mereka.

Nah, imersi atau live in ini merupakan kegiatan wajib yang dibuat oleh sekolah itu dan bagi   siswa kelas tertentu. Biasanya sih yang sudah Kelas XI (SMA). Para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk tinggal di rumah penduduk selama hitungan hari (Ada yang 4 hari dan 3 malam). Lokasinya berbeda-beda setiap tahun. Biasanya di di beberapa pedesaan di
Jawa Timur.

Para siswa terlibat dalam kehidupan sehari-hari warga dan mengakrabkan diri, mendekatkan diri, karena warga itu merupakan keluarga mereka. Para siswa membantu dengan cara yang berbeda-beda, mulai dari berjualan di warung, memperbaiki rumah yang rusak, sampai menjadi guru pengganti di beberapa sekolah.

Selama hitungan hari itu, siswa tidak diperbolehkan membawa barang elektronik dalam bentuk apapun. Sekolah membatasi barang yang boleh dibawa dengan memberikan tas yang hanya akan diisi dengan pakaian dan peralatan mandi. Dari sini, mereka sudah belajar tentang kesederhanaan.

Semoga yang ini konsisten ya, karena ada sekolah yang seenaknya tabrak kesepakatan di antara mereka sendiri. Lha terus gimana menulis laporannya setelah kegiatan selesai? Saya biasanya menyarankan cara sederhana. Menulis saja apa yang kamu rasakan, yang kamu lihat, yang kamu perbincangkan dengan di sana. Tentu saja yang berbeda adalah cara
mengemasnya.

Tentu tidak harus bercerita secara kronologis dari hari pertama datang, sampai hari terakhir hendak pulang. Mulailah bercerita dari momen yang paling menarik, adegan yang paling mengesankan yang kamu rasakan, yang kamu tangkap. Momen atau adegan itu tidak hilang ketika kamu kembali pulang, selalu teringat. Mulailah dari situ. Baru cerita yang lain
mengikutinya.

Beberkan faktanya ya. Bukan beberkan apa yang kamu pikirkan. Saya ada contoh satu cerita tentang imersi atau live ini yang menarik. Silakan dibaca. Mungkin tidak lengkap ya, karen belum ada judulnya. Satu catatan, menulis imersi atau live in, lebih kental suasana subjektifnya, dan tentu lebih mengarah atau menonjolkan pesan refleksi kepada pembacanya.
Simak contohnya di bawah ini, tulisan Catherine Adjie Kasih, siswa
SMAK St Louis 1 Surabaya, sekarang mahasiswa International Business
Management ITB Bandung.
RUMPUT di tegalan atau di sawah di hampir semua tempat di Desa Tugurejo, Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar, tempat saya melakukan imersi, bukan sekadar pajangan. Rumput bermakna ganda bagi warga setempat : sebagai pakan ternak dan dijual untuk mendapatkan beberapa lembar rupiah.

Berapa harganya? Hanya Rp 3.000 per ikat. Murah sekali, dan itu butuh beberapa lama untuk mencabutinya. Kebetulan, keluarga Pak Suharno, yang menjadi bapak angkat saya, memiliki ladang seluas 1.000 m2.

Hari-hari saya tinggal di rumah itu, salah satunya membantu mencabut rumput. Jalan menuju ladang sejauh 2 km. Kami (saya dan Pak Suharno) menempuh dengan berjalan kaki. Jalanan sempit dan cukup rumit. Belum lagi apabila ada bagian yang rusak, atau berlubang.

Untungnya, saya tinggal 4 hari di saat musim kemarau. Tanah begitu kering dan terlihat retak-retak. Saya membayangkan, andai hujan, pasti jalanan ke arah ladang itu sangat becek dan licin. Desa Tugurejo yang berada di lereng perbukitan kapur, melintang dari barat ke timur menuju laut selatan Jawa, mengalami musim kering lebih awal setiap tahun.

Curah hujannya sangat rendah. Tidak hanya berjalan kaki. Pak Suharno membawa beban berat yang harus dipikul. Dia biasa membawa sebuah jeriken biru berisi kurang lebih 30 liter air bersih untuk minum 2 ekor sapi potong miliknya.

Selain itu, harus kembali lagi ke rumah untuk mengambil karung berisi pakan sapi dan arit babatan, alat pertanian berbentuk melengkung yang membantu membabat rumput. Tidak heran bila tubuh Pak Suharno terdapat goresan–goresan bekas luka akibat memikul beratnya jeriken itu. Saya tidak dapat membayangkan betapa beratnya pekerjaannya dalam keseharian.

Tapi, tidak keluhan dari beliau setiap membawa beban kurang dari 7 kg. Dia juga tidak mengeluh membawa jeriken air bersih, lantas harus kembali lagi mengambil geledekan dan arit. Suatu kali, saya bertanya kepada Pak Suharno,"Pak gak capek ta bawa barang segini banyaknya, apalagi harus bolak balik gak mending satu satu aja. Hari ini makani sapi besok cabut rumput.”
Pria setengah baya dengan sebagian rambut yang sudah memutih itu
berhenti, terdiam sesaat sebelum menjawab. "Ga papa, mending langsung
karena besok masih banyak yang harus dikerjakan lagi. Mending gak usah
nunda-nunda.“ Duh, sakitnya itu ada di sini.
Jawaban itu bagaikan permainan catur. Skak mat, buat saya. Bener sekali, saya langsung termenung, terdiam. Sepertinya, Pak Suharno tahu sekali dengan kebiasaan saya. Saya sering menunda-nunda tugas karena malas dan mudah kelelahan karena hal-hal kecil.

Saya tidak bersemangat seperti halnya Pak Suharno, yang antusias setiap hari, yang mungkin boleh dibilang, hanya mengerjakan hal-hal sederhana untuk ukuran warga kota besar seperti Surabaya. Pak Suharno pantang menyerah, langsung menyelesaikan tugasnya tanpa banyak bicara. Tiba di ladang, saya sempat dilarang ikut mencabut rumput bersamanya.

Beliau meminta saya duduk. “Sudah duduk aja, gak usah bantu–bantu. Nanti kakinya gatal–gatal,“ ujarnya. Saya tidak peduli dan langsung terjun ke ladang, nekat bergabung dengan Pak Suharno. Biar saja, hanya menggunakan sandal jepit favorit dan celana olahraga sekolah. Saya mengambil arit di geledekan warna hijau milik Beliau.

Baru satu babatan, saya melirik ke arah Pak Suharno. Wah, begitu cekatan. Saya membutuhkan waktu 2 menit untuk mengambil rerumputan. Melihat saya memncabut rumput, Beliau menegur. "Kalau cabut rumput, batangnya aja. Jangan akarnya, nanti tidak bisa tumbuh lagi. Repot nanti bapak."

Lagi-lagi, saya terdiam. Teringat kembali semasa kecil, yang suka bermain di tanah lapang berisi banyak rerumputan. Saya mencabut–cabut dan menghambur–hamburkan rumput itu. Ada yang dibuang ke got dan ada yang saya buat bermain masak–masakan, yang akhirnya dibuang ke tempat sampah.
Tidak saya sangka, seikat rumput dapat menjadi barang yang berharga
bagi orang–orang di Desa Tugurejo, bahkan menjadi sumber mata
pencaharian sehari–hari. Itulah arti penting untuk tidak mencabut
akarnya. Mencabut akar berarti mematikan penghidupan warga desa. Salah
satunya Pak Suharno.
"Pak, abis gini (rumputnya) diapain akhirnya." "Ya, dijual. Jadi pakan ternak sama, dipakai buat makani kambing dan sapi. "Kalau dijual harganya berapa Pak.“ "Ya sekitar 3.000 an dek.“ Tentu saja, saya terkejut, kaget. Ternyata apa yang selama ini saya buang–buang bisa
menjadi uang bagi mereka.

Sama saja, saya membuang uang ke dalam got. Langsung, saya mencabut rumput dengan cekatan tanpa banyak bicara. Benar kata Pak Suharno. Selagi mencabuti rumput, lama-lama telapak kaki terasa gatal. Telapak yang awalnya berwarna sawo matang perlahatn berubah menjadi merah, dengan bintil–bintil di pinggirnya.

Gatal sekali rasanya. Namun, saya berusaha menahan hingga Pak Suharno mengajak pulang. Saya tidak ingin Beliau buru-buru pulang dan meninggalkan pekerjaannya, hanya karena kaki anak kota yang gatal–gatal. Akhirnya, kami meninggalkan ladang dan beralih ke peternakan sapi miliknya. Senang rasanya mendengar kata peternakan sapi.

Bayangkan saya, tempatnya luas penuh dengan sapi yang besar, lucu dengan kulit cokelat mulus. Sampai di sana, dari jarak 5 meter, saya sudah bisa mencium bau busuk, yakni berasal dari kotoran (tai) sapi. Saya yakin itu. Saya tidak berani bertanya kepada Pak Suharno, hanya sedikit menahan nafas saat perjalanan.

Saya membantu Beliau membawa geledekan hijau menyusuri jalan yang diselimuti bebatuan yang tidak teratur susunannya. Setengah jalan sudah dan saya sudah merasa lelah. Tak bisa saya bayangkan bagaimana perasaan Beliau setiap hari harus menyusuri jalan yang rusak ini. Bandingkan dengan diri saya, yang semua serba naik mobil.

Tinggal buka pintu, duduk di dalam ruang AC, menyusuri padatnya jalanan di Surabaya. Tapi, semua itu selalu saya jalani dengan omelan sedangkan dengan Beliau, dia tetap mendorong gerobaknya dengan suka cita. Lagi-lagi, satu pemahaman hidup di desa yang membuat saya tertegun dan sadar akan kebiasan saya yang kurang baik.
Peternakan sapi Pak Suharno membuat saya takjub. Haya berisi 2 ekor
sapi potong betina berwarna cokelat. Sapi bertanduk itu memiliki mata
besar dengan bola mata berwarna putih, yang menandakan sangat sehat.
Sekujur tubuhnya terdapat luka kecil dan kotoran yang menempel, tanda
jarang dimandikan.
Wajar saja. Desa Tugurejo sedang dilanda kekeringan. Sebagian sumur mengering. Untuk mendapatkan air bersih, warga desa harus membeli seharga Rp 60.000 per jeriken. Jarang sekali warga desa yang bisa mandi secara teratur. Jijik rasanya melihat kotoran sapi yang menempel. Pertama kali, saya mengira itu jamur.

Jadi penasaran melihat sampai Pak Suharno menegur. "Kenapa kok diliatin terus. Sapi di kota kayak gini gak ada ya.“ Saya menjawab,"Iya pak, baru pertama kali lihat sapi secara dekat, sering lihat sih pak tapi di TV." Saya melanjutkna."Memang, ini pertama kalinya aku melihat seekor sapi dengan detail. Apalagi, apa yang saya liat ga sesuai dengan perkiraan.

Awalnya, saya kira, sapi milik bapak jenis sapi yang berwarna putih, ada bercak hitam di tubuhnya." Pak Suharno tidak membalas. Dia menuangkan jeriken biru yang berisi air bersih ke bak besar berwarna hitam. Lalu, diletakanlah bak itu ke kandang sapi. Air yang tadinya memenuhi semua permukaan bak langsung hilang seketika.

Saya menebak, dua ekor sapi itu sangat kehausan. Sebagian rerumputan hijau yang tadi saya cabut saya berikana kepada si cokelat. Dengan lahap, hewan itu menarik seikat rumput yang saya pegang dengan erat lewat lidah lebarnya yang berwarna merah pucat. Saya tidak berani
mendekat. Lidah sapi yang lebar itu membuat saya takut.

Belum lagi, bau tak sedap yang menusuk hidung. Sepertinya Pak Suharno cuek saja. Beliau mengusap-usap kepala sapi itu dengan penuh kasih sayang. Saya sempat diajak mencoba mengusap kepala sapi itu tetapi menolak. Pak Suharno tertawa melihat sikap dan polahku yang terlihat agak jijik berada di lingkungan itu.

Akhirnya, bapak mengajak untuk kembali ke rumah. Perjalanan pulang terasa lebih cepat karena jalanan berupa bukit yang menurun. Beban tetap tidak ringan karena saya membawakan gledekan yang berisi 4 karung rumput. Saya membawa geledekan dengan hati-hati agar karung tak jatuh ke tanah. Pak Suharno sering menawari saya untuk ganti membawa geledekan. Kadang saya menolak tawaran itu.
Saya ingin belajar hidup menjadi orang kota yang tangguh. Empat hari
yang melelahkan tapi indah. Desa yang saya tempati merupakan desa yang
guyub antarwarganya. Tidak kaget jika saya melihat Pak Suharno menyapa
hampir semua tetangganya di jalanan. Tak peduli siapapun mereka,
bagaimana penampilan mereka.
Berbeda 180 derajat dengan di kota. Bila di kota, saya tak kenal dengan tetangga. Apabila berpapasan dengan orang yang tinggal di dekat rumah saja, saya hanya terdiam dan menganggapnya masa bodoh. Perjalanan yang tadinya jauh dan memberatkan, tak terasa singkat. Banyak sekali perbincangan mengasyikan antara saya dan Pak Suharno.


Di rumah, Ibu Soinem, istri Pak Suharno, langsung menyambut kami dengan menyuguhkan emping khas desa. Rasanya cukup pahit tapi cocok disantap dengan teh manis. Langsung, saya bercerita dengan ibu tentang apa yang saya lakukan bersama Bapak di ladang. Ibu Soinem tertawa melihat tingkah seorang anak kota di desa.

"Untung ya, kegiatan ini selalu ada tiap tahun. Jadi, senang ibu selalu dapat anak yang lucu–lucu," ujar Ibu menimpali cerita saya.
Jam sudah menunjukkan pukul 14.30. Badan saya sangat gerah. Keringat
menghujani badan. Saya bergegas ke kamar mandi yang berdinding triplek.
Bak mandi berwarna abu–abu, hanya disemen dan berisi air dan pasir di
atasnya. Airnya bisa dibilang kotor tapi apa boleh buat saya tak
memperdulikannya.
Bersiap–siaplah, saya ke gereja yang jaraknya 2 km dari rumah yang saya tinggali itu untuk latihan Misa. Sepanjang perjalana, saya berpikir, kegiatan–kegiatan kecil di desa yang saya dapatkan dari kegiatan imersi ini, punya makna yang dalam, indah, dan membuat saya sadar akan apa yang sudah saya dapatkan di kota.

Saya tidak belajar untuk hidup susah tapi belajar untuk bersyukur akan kehidupan saya yang sekarang. Saya belajar untuk menjadi seorang pejuang muda yang tangguh dan berani. Begitulah kira-kira contohnya. Ada yang masih bingung? (*)
Auto Europe Car Rental