Ketidakadilan Belajar Online
Pasalnya, dia tidak tahu bahwa sekolah sudah dimulai esok hari. Begitu juga dengan ibunya, yang bertugas menjadi ART di rumah tersebut. Gelap rasanya, tidak mendapatkan informasi apapun tentang sekolahnya. Dia membayangkan teman-temannya riang bersekolah setelah libur lama, sementara dia, buku dan seragam sekolah pun belum dia miliki. Menangislah Bunga.
Usut demi usut, ternyata sang ibu tidak mengikuti informasi di grup whatsapp sekolah anaknya. Bukan karena tidak peduli, tapi karena memang ibunya tidak mengerti menggunakan teknologi canggih bernama “WhatApp” di ponsel jadulnya.
Kisah Bunga bukan satu-satunya. Dia hanya salah satu dari siswa di DKI Jakarta yang merasakan semakin “gelap”-nya dunia pendidikan di era pandemic Covid-19, dengan status ekonomi yang disandangnya.
Tadi pagi saya juga menonton televisi, ada seorang nenek di daerah Tebet yang pagi-pagi mengantar kedua cucunya mengenakan seragam sekolah merah putih lengkap, tapi bukan pergi ke sekolah.
Dia mengantar cucunya ke rumah tetangga, hanya untuk “menyewa” ponsel agar kedua cucunya bisa mengikuti sekolah secara daring. Dia membayar sejumlah uang sebagai pengganti pulsa untuk pemilik handphone.
Ada lagi cerita sekolah ibu penjual gorengan, yang terpaksa membeli lebih banyak kuota data agar anaknya bisa bersekolah daring. Itu pun, dia tidak mengerti menjalankan teknologi sekolah daring tersebut.
Tak hanya orangtua, siswa sekolah daring yang harus membaca dan memahami pelajaran-pelajaran baru tanpa ada guru di sampingnya, juga menjadi derita tersendiri. Beruntung jika orangtua murid mengerti atau minimal mau belajar memahami, bagaimana jika orangtuanya tak tamat sekolah SD?.
Cerita lain, dari seorang guru berusia di atas 45 tahun yang menggunakan zoom saat sekolah daring tapi tidak mengerti fitur mute, agar murid-muridnya mendengarkan saat dia berbicara.
Alhasil, sekolah daring menjadi ‘ramai’ karena semua suara anak-anak terdengar di dalam zoom. Guru tersebut juga terpaksa menambah belanja kuota bulanannya, karena hanya mendapat insentif Rp50 ribu dari sekolah.
Ini semua cerita dari Jakarta, yang saat ini masih menjadi Ibu Kota, pusat pemerintahan, pusat ekonomi, dan bisnis. Entah bagaimana cerita pilu lainnya di luar Jakarta atau daerah terpencil yang harus naik ke atas pohon untuk sekedar mendapatkan sinyal yang baik.
Semua cerita ini menggambarkan bahwa sekolah online bukanlah hal yang tepat untuk dijalankan di dalam dunia pendidikan. Ada dua masalah besar dalam sekolah online. Pertama, SDM atau penguasaan teknologi yang sangat tidak merata baik dari orangtua murid hingga guru di sekolah.
Mungkin ada yang bicara “sekarang saatnya dipaksa berteknologi, adaptasi dengan teknologi,”. Silakan anda bicara dengan seorang Nenek di Tebet tadi, yang mengasuh dua cucu tanpa orangtua.
Di satu sisi dia harus mencari uang untuk menghidupi dirinya dan kedua cucunya, di sisi lain dia harus belajar teknologi, seperti dalam angan-angan anda.
Coba juga Anda harus bicara dengan ibunya Bunga, seorang asisten rumah tangga (ART) yang setiap harinya berjibaku dengan pekerjaan rumah majikannya, dari membersihkan rumah, mencuci, menyetrika, memasak dan lainnya.
Masalah kedua adalah masalah ekonomi. Mungkin Anda adalah pelanggan Internet unlimited di rumah, data mobile ponsel anda Rp 100.000 hingga Rp 200.000 per bulan. Tapi, pernah gak saat mampir ke counter pulsa, Anda melihat masih ada yang beli pulsa Rp 5.000 atau Rp 10.000, hanya agar nomor ponselnya tidak hangus.
Kini mereka harus mengocek kantong lebih dalam agar anaknya bisa mengikuti sekolah daring. Bagaimana kalau anaknya yang sekolah lebih dari satu atau dua orang?.
Sekali lagi, sekolah daring saat ini hanya menjadi solusi untuk orang-orang yang berkecukupan secara ekonomi. Bukan mereka yang tengah berjuang untuk sesuap nasi untuk keluarganya setiap hari.
UUD 1945 pasal 31 ayat 1: menyebutkan bahwa Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan, dan pasal 2: Setiap Warga Wajib Mengikuti Pendidikan Dasar dan Pemerintah Wajib Membiayainya.
Jika benar kementerian pendidikan masih mengikuti amanah UUD 1945, seyogyanya ada sebuah terobosan yang solutif bagi seluruh masyarakat dalam mendapatkan pendidikan yang layak di tengah Covid-19.
Pada 26 Mei 2020, saya menulis di timeline FB ini; "we are not in the same boat but we are in the same storm. Do not curse them, but do more simpathyze" (Kita tidak berada di perahu yang sama, tapi kita menghadapi badai yang sama. Jangan mengutuk atau mencela, tapi bersimpatilah kepada mereka).
Saya bilang kepada teman, kenapa tidak sekolah tatap muka tetap dilakukan tapi dengan memenuhi standar protocol Covid-19? Sekolah secara bergiliran, tidak harus masuk tiap hari, tapi memperbanyak pekerjaan rumah untuk mengeksplore pelajaran dari sekolah. Jumlah kurikulum disesuaikan dengan kondisi pandemi Covid-19, tidak disamakan dengan situasi normal. Entah lah.
Sudah cukuplah ketidakadilan dalam pendidikan hanya ada di era penjajahan Belanda. Sejatinya tujuan pendidikan adalah untuk membebaskan & membahagiakan, dan itu hanya bisa diraih dengan menciptakan keadilan dalam mendapatkan pendidikan. Hidup Rakyat!
Syukri Rahmatullah
Kebon Sirih, Jakarta, 15 Juli 2020.