KKN di Desa Penari Versi Lain (9) : Pak Prabu Ajak Widya ke Rumah Mbah Buyut
Saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan. Sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya. Kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkanya sembari memanggil namanya : Wahyu. Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.
"Bengi bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene!!" (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian-di sini seorang diri). Jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah. Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.
"Onok opo to ndok?" (ada apa sih nak?). Kalimat itu yang pertama kali Widya dengar. Si pemilik rumah tampak khawatir, namun Widya lebih tertuju pada Nur. Ia juga memandang dirinya. Mereka sama-sama termangu memandang satu sama lain. Kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu. Ia menceritakan semuanya. Awalnya, ia hanya ingin mengisap rokok sembari duduk di teras posyandu, kemudian tidak sengaja melihat seseorang. Sendirian, menari-nari di tanah lapang.
Karena penasaran, Wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya. Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar. Tidak ada yang berkomentar, si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk rumah lagi. Hari semakin larut. Si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada Pak Prabu. Namun ada satu hal, yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya.
Malam itu, benar-benar malam yang gila. Seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN ke dalam situasi yang paling serius. Semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan Pak Prabu. Beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian, Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia mengejar Nur yang pergi keluar rumah. Tapi, Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.
Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali. Tampak dari raut muka Pak Prabu lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya. Hari itu, Pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya. Nur pergi, ia masih harus mengerjakan proker individualnya. Dengan berbekal motor butut yang tempo hari untuk mengantar mereka masuk ke desa ini. Kali ini digunakan mengantar mereka ke rumah seseorang.
Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu. Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari. Anehnya, kali ini Widya merasakan sendiri untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit. Bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang-orang desa menjemput. Rumah yang Pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang.
Perjalanan melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan. Rumahnya bagus, malah bisa dibilang paling bagus dibandingkan rumah orang-orang desa. Hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain. Berpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, tapi masih enak dipandang mata.
Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tahu bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung. Tidak ada yang tahu nama kakek itu. Pak Prabu memanggilnya Mbah Buyut. Setelah Pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah Mbah Buyut tampak biasa saja. Tidak tertarik sama sekali dengan cerita Pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir. (*)